Harta dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Harta adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia dengan nilai tertentu yang dapat dimanfaatkan. Harta bisa berupa uang, hewan ternak, hasil kebun, berbagai macam properti, dan lain sebagainya.

Nilai harta tentunya berbeda-beda sesuai dengan perkembangan ekonomi, perkembangan sosial, dan tentunya nilai guna atau manfaat yang dapat dihasilkan dari benda tersebut. Semakin besar nilai manfaat yang dapat diberikan oleh sesuatu, maka akan semakin mahal dan besarlah harganya. Berlaku sebaliknya terhadap benda atau sesuatu yang manfaatnya kecil, akan murah atau bahkan tidak bernilai.

Tentunya tidak semua orang bisa memiliki harta yang besar. Terkadang, bagi orang-orang yang tidak memiliki banyak harta, keberadaan keluarga, suami atau istri, dan anak-anak adalah kebahagiaan tersendiri yang dianggap sebagai harta berharga. Berikut adalah penjelasan harta dalam islam :

Kedudukan Harta dalam Islam

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS : Al Qashash : 77)

Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa dalam islam harta yang merupakan bagian dari kebahagiaan dunia bukanlah sebagai tujuan utama dalam hidup. Dia memiliki fungsi, namun bukan satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Untuk itu Allah memerintahkan sebagaimana ayat di atas.

  1. Mencari Harta yang Telah Dianugerahkan Allah di Dunia

Allah memerintahkan pada manusia untuk mencari harta, sebagaimana hal tersebut telah Allah anugerahkan kepada kita. Tentu saja, untuk mencari harta tersebut Allah memerintahkan untuk mencari harta yang halal dan tidak bertentangan dengan aturan atau jalan  hidup yang telah dijalankannya.

Mencari harta dalam islam bukanlah hendak menjadikan manusia bertambah kaya, memperbesar dirinya sendiri. Mencari harta yang diakaruniakan oleh Allah adalah hendak menjadikan manusia semakin bersyukur dan semakin tunduk kepada Allah SWT. Untuk itu adanya fungsi Agama adalah untuk menjaga agar penggunaan harta tidak melenceng hanya untuk bersenang-senang di dunia saja.

Mencari harta tentu perlu usaha dan keyakinan kuat bahwa Allah akan memberikan nikmat yang banyak pada hambanya. Untuk itu manusia dalam mencarinya harus diiringi oleh ikhtiar dan doa, bukan saja mengeluh dan berputus asa ketika menghadapi kesulitan-kesulitan dalam ikhtiar. Bahaya putus asa dalam islam sangat banyak, terutama dalam meyakini akan adanya kekuasaan Allah dalam memberi rezeki dan nikmat dalam hidup.

  1. Menjadikan Harta untuk Alat Kehidupan di Dunia

Dalam menjalankan kehidupan di dunia, manusia diberikan misi oleh Allah sebagai Khalifah fil Ard. Misi khalifah fil ard adalah manusia hidup untuk melakukan perbaikan, memberikan manfaat, menjalankan amanah-amanah yang diberikan Allah, seperti keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Tanpa adanya harta tentu hal tersebut sangat sulit untuk dijalankan.

Harta dalam hal ini adalah sebagai alat untuk melaksanakan kehidupan dunia, bukan justru menjadi tujuan utama. Tanpa harta manusia sulit untuk menjalankan kehidupan di dunia dan menjalankan misi membangun masyarakat. Tapi harta bukanlah satu-satunya hal yang terpenting. Ia hanya alat, bukan sebagai tujuan yang harus terus menerus dituju.

Menjadikan harta untuk kehidupan dunia yang baik contohnya adalah orang tua yang bekerja mencari harta. Orang tua berkewajiban untuk mencari harta yang halal untuk kehidupan anak-anak dan keluarganya agar bisa beraktivitas dan melaksanakan hidup dengan baik. Tanpa adanya harta yang cukup tentu dia tidak bisa membesarkan anak-anaknya, memberikan kehidupan yang layak hingga sehat dan bermoral baik. Harta adalah keberkahan yang ia berikan untuk memberikan kebaikan lainnya bagi anak-anak.

Jika orang yang mencari harta sebagai tujuan dalam hidupnya, bukan sebagai alat, maka ia akan mencari harta sebanyak-banyaknya agar menjadi orang yang kaya, terpandang, ataupun sekedar berbangga diri akan harta yang dimilikinya. Hal ini tentu bukanlah hal yang diharapkan oleh Allah SWT terhadap karunia yang telah diberikan pada hamba-Nya.

Harta yang banyak tidak menjamin kebahagiaan sejati pada diri seseorang. Harta yang banyak juga bisa menjadi ujian bagi hidupnya. Akankah ia menjadi sombong, menjadi kikir, menjadi terperdaya atau diperbudak oleh hartanya? Penyebab hati menjadi gelisah menurut islam salah satunya adalah tidak mampu menjadikan hartanya berkah untuk kemaslahatan dunia akhirat. Untuk itu perlu kiranya menyiapkan agar harta tidak menjadi boss kita.

Orang yang kekurangan harta untuk menjalankan kehidupannya tentu perlu dibantu. Berhutang dalam islam adalah sesuatu yang diperbolehkan. Berhutang tidak menjadi masalah asalkan ada akad atau kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak. Hal ini sebagai salah satu aturan dan nikmat islam dalam mempermudah kehidupan manusia.

  1. Mengorientasikan Harta Sebagai Bekal untuk Kehidupan Akhirat

Harta yang Allah berikan adalah sebagai karunia dan berkah yang besar untuk manusia. Karunia tersebut sengaja diberikan kepada manusia untuk modal hidup, bekerja, dan beribadah sebanyak-banyaknya kepada Allah.

Ukuran kesuksesan di sisi Allah bukanlah pada besarnya harta yang manusia miliki. Ukuran sukses di sisi Allah adalah pada bagaimana manusia mampu memberikan dan memanfaatkan apa yang dimilikinya (termasuk harta) untuk tujuan akhirat, yaitu pahala yang sebanyak-banyaknya.

Alangkah beruntung dan bersyukurnya jika manusia memiliki harta yang banyak dan dengan harta tersebut ia mampu memberikan manfaat yang besar untuk ummat, untuk manusia lainnnya. Dari hal tersebut, akan muncul kebaikan-kebaikan lain.

Membantu orang yang kesusahan, memberikan bantuan pada fakir miskin, mengeluarkan orang dari cobaan yang berat dengan hartanya tentunya adalah pahala tersendiri, wakaf dalam islam, apalagi jika hal tersebut dilakukan ikhlas kepada Allah semata. Lebih bermakna lagi jika harta tersebut bisa menjadi amal jariah, yang mampu menyelamatkan-nya karena pahala yang terus mengalir hingga waktu penghisaban tiba.

Tidak selamanya harta senantiasa membawa keberkahan, jika dicari dari jalan-jalan yang keliru. Jika hal seperti itu dilakukan maka harta bisa saja menjadi musibah bukan lagi keberkahan. Jika musibah datang, maka harus sabar, ikhlas, mengevaluasi diri, dan banyak bertaubat. Cara menghadapi musibah dalam islam adalah dengan cara tersebut, bukan mengutuk keadaan atau menyalahkan orang lain atas musibah yang terjadi.

Prinsip Penggunaan Harta menurut Al-Quran

Dalam Al-Quran dijelaskan beberapa kali tentang bagaimana prinsip-prinsip untuk menggunakan harta menurut Islam. Islam berada di keseimbangan antara menggunakan harta menurut islam.

  1. Melaksanakan Infaq dan Zakat

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. “ (QS Al-Baqarah (2) : 177)

Dalam islam Allah memerintahkan untuk melaksanakan infaq dan zakat, sebagaimana yang Allah perintahkan di dalam ayat di atas. Melaksanakan infaq dan zakat dalam islam, bukan serta merta sebagai bentuk perbuatan yang harus dibanggakan. Infaq dan zakat adalah kewajiban karena harta yang kita cari bukan milik manusia.

Harta yang Allah berikan adalah nikmat dan karunia bagi manusia. Infaq dan zakat adalah menyerahkan nikmat dan karunia tersebut untuk diberikan kepada manusia lain yang membutuhkan atau digunakan untuk berjuang di jalan Allah dan orang yang termasuk syarat penerima zakat lainnya atau penerima zakat.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al-Furqoan (25) : 67)

Dalam islam tidak ada aturan untuk berinfaq dan zakat dengan menyerahkan seluruh apa yang dimiliki hingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pribadi. Meskipun begitu, tentunya memenuhi kebutuhan pribadi tidak berarti dilakukan berlebihan, dengan membuang-buang harta yang dimiliki untuk sesuatu yang tidak bermanfaat baik di dunia dan akhirat.

Rasulullah dan Para Sahabat di zaman dulu senantiasa bersemangat untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah tanpa memikirkan terlalu besar atau tidak yang diberikan. Walaupun mereka berasal dari kaum bangsawan, kaya, dan memiliki harta yang lebih, mereka senantiasa hidup sederhanan dan memberikan sebanyak-banyaknya untuk jalan perjuangan islam.

  1. Tidak Berlaku Kikir

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS Ali-Imran (3) : 180

Dalam prinsip penggunaan harta, Allah melarang umat islam untuk memiliki sifat kikir atau bakhil. Bakhir atau kikir itu artinya menyembunyikan harta untuk diberikan di jalan kebaikan, tidak mau untuk menafkahkan hartanya selain untuk kepentingan dirinya sendiri. Sifat kikir atau bakhil ini sangat dibenci Allah bahkan diberikan siksaan di akhirat pada mereka dan termasuk pada golongan syetan. Sifat bakhil atau kikir ini juga merupakan ciri-ciri orang yang tidak ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT.

Tidak ada artinya memelihara sifat kikir apalagi untuk dinafkahkan dalam jalan yang baik, menolong ummat yang kesusahan, dan berbagai program untuk kemajuan islam. Kikir terhadap hal-hal tersebut, apalagi bagi mereka yang memiliki harta berlimpah dan lebih, menjadi dosa tentunya. Ada hak umat islam di dalamnya. Sejatinya hal tersebut bukanlah harta miliknya sendiri.

Hal ini sebagaimana disampaikan dalam QS Al Isra : 26, bahwa Allah melarang untuk memboroskan harta dan diperintahkan untuk memberikannya kepada orang-orang yang ber hak.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”.  QS Al-Isra (17) : 26

  1. Tidak Bermegah-Megahan

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 1-8).

Bermegah-megahan artinya menafkahkan atau membelanjakan harta secara berlebihan. Tujuan dari bermegah-megahan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, sebagaimana perintah Allah dalam menafkahkan harta. Bermegah-megahan sudah melewati batas untuk memenuhi kebutuhan, namun sudah masuk pada pencarian pengakuan orang lain, memamerkan hartanya.

Efek dari bermegah-megahan salah satunya adalah adanya ketimpangan sosial, adanya krisis sosial karena ketidakadilan sosial ekonomi tidak tercipta di masyarakat, terutama masyarakat yang masih banyak kemiskinan.

Memakai perhiasan dalam islam bukanlah suatu yang dilarang. Jika memakai perhiasan sudah berniat untuk sombong, menunjukkan kebangggan diri dan juga sudah berlebihan/bermegah-megahan, maka kita harus berhati-hati akan hal tersebut. Jangan-jangan yang kita cintai bukan lagi harta yang bernilai pahala, tapi kita sudah menjadikan harta sebagai segala-galanya, salah satunya dengan memakai perhiasan.

Untuk itu, dosa dari bermegah-megahan Allah ingatkan dalam QS Attkatsur. Bermegah-megahan dapat melalaikan kita dari Allah karena lebih banyak fokus pada kecintaan hidup di dunia bukan pada ibadah pada Allah.

Larangan Harta Riba

Riba adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah. Pengertian Riba  adalah penambahan-penambahan yang dibebankan kepada orang yang meminjam harta seseorang akibat dari pengunduran janji pembayaran daripada batas waktu yang telah ditetapkan. Menurut Ibnu Katsir, menolong seseorang dengan tujuan mendapat keuntungan bahkan sampai mencekik dan menghisap darah (mengeruk dan memanfaatkan sehabis-habisnya) orang yang ditolong juga disebut sebagai riba.

Cara menghindari riba salah satunya adalah senantiasa mengetahui perjanjian, dampak dari akad ekonomi, dan juga menghitung secara detail harta yang dipinjam atau dihutang. Selain itu, mengingat siksa akhirat salah satunya bisa menghindarkan diri dari riba.

Bahaya riba tentunya sangat banyak mulai dari dunia yang tidak akan mendapatkan keberkahan harta, mencekik ekonomi orang lain, dan siksaan neraka di akhirat. Orang-orang penegak riba akan mendapatkan balasan Allah di akhirat, sebagaimana diwahyukan di ayat berikut.

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah : 275)

Mengingat pertanggungjawaban kelak di akhirat cukuplah berat, untuk itu kita harus pandai-pandai mengelola harta, menafkahkannya di jalan Allah secara maksimal. Allah tidak menilai dari seberapa harta yang kita miliki, namun dari seberapa besar dan optimal yang sudah kita berikan untuk kebaikan-kebaikan. Agar hati tenang dalam islam, kita diperintahkan untuk senantiasa mengingat (berdzikir) kepada Allah atas segala apa yang kita miliki, hilang, atau kita usahakan agar keberkahan selalu datang.

fbWhatsappTwitterLinkedIn