Amalan Shaleh

Hukum Itikaf Selain Di Bulan Ramadhan

√ Islamic Base Pass quality & checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Selama bulan ramadhan, kita diberi kenikmatan oleh Allah dengan berbagai macam kemuliaan. Bahkan karena saking banyaknya, terdapat amalan-amalan yang mendapatkan ganjaran berkah yang sangat besar hanya dengan sesuatu yang kecil.

Apabila di bulan-bulan ramadhan, maka kita akan sering mengetahui bahwasanya seluruh umat muslim akan berbondong-bondong ke masjid, beribadah tatkala taraweh maupun tadarus dalam menjelang buka puasa. Hal tersebut merupakan hal yang baik dan memiliki keutamaan yang besar dikarenakan menghidupi Ramadhan dan Malam Ramadhan dengan beribadah dan melakukan sesuatu yang bermanfaat, dan pula merupakan sesuatu yang dianjurkan dan dicontohkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun I’tikaf atau berdiam diri di masjid pada bulan ramadhan pun dapat memberikan pahala bagi yang melakukannya. Namun tentu saja, pertanyaan yang akan diselesaikan adalah tentang bagaimana apabila i’tikaf dilakukan di luar bulan ramadhan. Berikut kita akan mengkaji seputar Hukum i’tikaf selain di bulan Ramadahan. Lantas apakah hukum itikaf selain di bulan ramadhan?

Hukum Kapan Diperbolehkannya I’tikaf

I’tikaf itu pada dasarya hukumnya Sunnah. Dapat dilakukan di setiap waktu, baik di bulan Ramadan maupun diluar bulan Ramadan (bulan-bulan yang lain). Akan tetapi lebih utama apabila dilakukan di bulan Ramadhan. Bahkan lebih ditekankan dilakukan pada sepuluh malam akhir Ramadan (Malam Lailatul Qadr). Jadi hukum itikaf selain di bulan ramadhan itu dibolehkan.

Baca juga :

I’tikaf di bulan ramadhan pun dijelaskan oleh hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhu :

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Biasanya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf sepuluh hari di setiap Ramadan. Di tahun kematiannya, beliau beri’tikaf dua puluh hari.”

(HR. Bukhari)

Memang bahwasannya i’tikaf itu hukumnya sunnah. Boleh dan dianjurkan dilakukan kapan saja, namun yang utama adalah di bulan Ramadhan.

Tentu saja, i’tikaf atau berdiam diri di masjid adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan barangsiapa dengan rela hati memiliki niat untuk berdiam diri di masjid, maka orang tersebut akan mendapat keutamaan sebagai orang yang Ahli Iman.

Allah SWT berfirman dalam QS, At-Taubah Ayat 18 yang berbunyi :

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ

Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”

Tentu saja memakmurkan yang dimaksud adalah menghidupinya dengan melakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat. Beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, dan mendirikan majelis-majelis ilmu yang baik.

Cara I’tikaf Yang Dilakukan Rasulullah

Tentu saja Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam memiliki cara tersendiri dalam melakukan I’tikaf di Masjid. Dan apabila mencari contoh, memang sejatinya hal-hal yang dilakukan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam lah yang paling benar digunakan sebagai panutan. Dalam perkara I’ftitah, terdapat beberapa Hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Radiyallahu’anhu.

Baca juga :

Dalam Hadist pertama, Aisyah radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwasanya,

“Apabila telah masuk hari kesepuluh, yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengencangkan kain sarungnya dan menghidupkan malam-malam tersebut serta membangunkan istri-istrinya.”

Di dalam hadits tersebut Aisyah menuturkan perihal Rasulullah yang mana beliau (Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam) melakuan beberapa hal berikut. :

  • Mengencangkan kain sarung, yang memiliki manka bahwasannya Rasulullah sangat tekun dalam beribadah, mencurahkan waktu setiap ibadah tersebut dan sangat bersungguh-sungguh atas apa yang dilakukan. Ada yang memiliki pendapat, bahwasannya  yang dimaksud dengan ‘mengencangkan kain sarung’ ialah menjauhi wanita untuk menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah
  • Menghidupkan malam, yang memilik makna bahwasanya Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam mengisi malam dengan begadang untuk melakukan ibadah salat dan selainnya.
  • Membangunkan istri-istrinya, yang dimaksud yakni membangunkan mereka dari tidur untuk bangun dan beribadah kemudian saalat.

Kemudian, Diriwayatkan kembali dari Aisyah radiyallahu ‘anhu, Bahwasannya Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam ber i’tikaf disetiap pagi hari. Dalam Riwayatnya, ‘Aisyah berkata,

”Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukan i’tikaf, beliau mengerjakan salat Subuh, baru kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.”

Pernyataan salat subuh yang diutarakan oleh Aisyah yaitu merujuk kepada pada pagi hari di hari ke 21 bulan Ramadan. Maksudnya adalah, Rasulullah salallu ‘alaihi wa sallam menyepi dan mengkhususkan i’tikaf beliau pada waktu-waktu tersebut tatkala bulan Ramadan.

Namun tentu saja, terlepas dari hadist yang diriwayatkan Aisyah radiyallahu ‘anhu, Sebenarnya tidak ada batasan atau syarat minimal kapan maupun seberapa panjang seseorang harus menghabiskan waktu di masjid untuk dihitung sebagai I’tikaf. Hal diatas merupakan cara pribadi Rasulullah saja dalam ber I’tikaf.

Imam Nawawi Menjelaskan perihal permasalahan berikut dengan penuturan yang berbunyi , “Waktu minimal i’tikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh diartikan sebagai waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.” Tidak ada ketentuan ataupun ketetapan yang didasari oleh firman Allah maupun Hadist Nabi yang lain. Sehingga, Sebentar maupun lama, sudah bisa dihitung sebagai I’tikaf.

Baca juga :

Adab Ketika Ber I’tikaf

Setelah kita paham arti umum dari I’tikaf yaitu berdiam diri di masjid. Tentu saja perlu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mendiami masjid. Hal hal terseut adalah

  • Niat yang bersih dari hati untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  • Suci dari hal hal yang membuat kita tidak diperbolehkan untuk masuk masjid
  • Mengisi waktu I’tikaf tersebut dengan diam (Berdzikir dalam Hati), Berdo’a, salat sunnah, membaca Al-Qur’an dan segala macam hal yang dapat menambah keimanan dan tidak menimbulkan kemudharatan.

Demkianlah penjelasan Hukum i’tikaf apabila dilakukan di bulan Ramadan dan hukum itikaf selain di bulan ramadhan upaya yang harus dipahami dan dilakukan agar I’tikaf menjadi sesuatu yang berkah. Semoga penjelasan diatas dapat menambah keilmuan kita, dan kita senantiasa diberikan petunjuk untuk tetap berada di jalan yang benar. InsyaAllah.

Hamsa,

Recent Posts

Sejarah Masuknya Islam Ke Aceh

Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Myanmar

Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Andalusia

Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Afrika

sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara

Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…

6 months ago

Sejarah Masuknya Islam ke Pulau Jawa

Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…

6 months ago