Beribadah ke tanah suci merupakan tujuan paling mulia yang dimiliki oleh setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia. Bukan hanya sebagai pemerkuat keimanan, namun Haji juga merupakan rukun islam terakhir yang wajib dilaksanakan apabila kita mampu. Itulah kenapa saat kita memenuhi panggilan Allah, maka besar kemungkinan Allah akan semakin menjadikan kita orang yang taat. Dalam Hadist dijelaskan,
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893)
Itulah sebabnya orang yang sudah melaksanakan Haji memiliki tempat yang lebih tinggi dimata Allah, bahkan di sebagian umat muslim yang lain. Lantas apakah setiap umat muslim yang sudah menunaikan ibadah Haji maka mereka bisa dikategorikan sebagai orang yang memiliki keimanan tinggi?
Tentu saja kita tidak bisa menyimpulkan semudah itu karena ada ciri-ciri haji yang mabrur. Karena seperti halnya Solat, mereka yang kusyu’ dan niat sepenuhnya karena Allah, maka mereka lah yang diterima. Hanya berangkat ke tanah suci saja tentu tidak bisa langsung diberi label orang beriman tinggi, Jika ibadah mereka tidak diniati Ikhlas karena Allah ta’ala.
Rasulullah memberikan beberapa ciri-ciri haji yang mabrur kepada umat muslim yang berhaji. Apa itu Haji Mabrur? Dalam Hadist telah disebutkan,
ImamAhmad dan Musnadnya meriwayatkan.
قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
“Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu Haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’”
Al-Hakim bertutur bahwa hadits ini sahih sanadnya meskipun tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Lantas, apa sebenarnya maksud dari Rasulullah dalam Hadist diatas? Apakah hanya dengan menghabiskan harta untuk berhaji tidak otomatis membuat kita menjadi ahli jannah? Untuk menjawab itu, kita harus menilik hadist Rasulullah yang lain. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan penjelasan terkait pahala atau balasan bagi jamaah haji yang mendapatkan predikat mabrur.
Baca juga :
- Ciri-ciri haji yang mabrur
- Hukum mendahulukan umroh daripada haji
- Hukum badal haji
- Hukum berhaji tanpa mahram
- Keutamaan haji
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga,” (HR Bukhari).
Tentu saja dalam setiap ibadah harus disusul oleh follow up yang baik pula. Kita beri contoh saat seorang pemuda muslim melewati satu bulan berpuasa ramadhan namun setelah idul fitri berakhir, maka dia tidak merasakan efek apa apa. Jelas saja pemuda tersebut sangat merugi.
Sama halnya dengan ibadah Haji. Apabila setelah melakukan serangkaian ibadah di tanah suci namun seorang muslim tidak berubah sifatnya menjadi lebih baik, maka ibadah nya pun tidak akan pernah lengkap. Jika diibaratkan perkuliahan, Haji adalah sarjana, dan Mabrur merupakan cumlaude.
Maka dari itu, kita harus memahami poin-poin berikut untuk lebih jelas dalam memahami kriteria Haji maburur. Berdasarkan pada Hadist diatas, ciri Haji seorang muslim mabrur dikategorikan menjadi tiga.
1. Thayyibul Kalam
Thayyibulkalam adalah santun dalam bertutur kata. Seorang muslim yang pernah melihatkemegahan tanah suci dan bersyiar kalimat talbiyahdi seiring ibadahnya tentu saja harus menjaga setiap perkataannya.
“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”
Tidak semua muslim di dunia bisa bersyiar kalimat talbiyah secara langsung di tanah suci. Dan karena seorang yang melaksanakan Haji merupakan orang-orang yang memenuhi panggilan Allah, jelas saja kita tidak bisa mengingkari apa yang kita lafazkan dalam ibadah kita dengan cara berucap sesuatu yang buruk.
2. Ifsya’us salam
Ifya’us salam adalah menyebar kedamaian. Yangmana seorang yang telah melaksakanakan Haji awalnya harus bersifat sebagai seorang yang menyebar kebaikan diantara orang lain. Dia sebagai contoh yang harus ditiru dan sebagai panutan kepada umat muslim yang lain.
Tidak boleh hukumnya seorang yang telah melaksanakan Haji kemudian dia menyebarkan fitnah maupun kebencian barang setitik. Karena pada dasarnya, dia seharusnya malu kepada Allah dan kepada orang lain.
3. Ith‘amut tha‘am
Ith’amut tha’am artinya adalah memiliki kepedulian sosial. Bahkan Rasulullah secara spesifik menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengenyangkan orang lapar. Tentu saja kita menjurus ke nilai-nilai dalam bersedekah kepada yang membutuhkan.
Baca juga :
- Hukum berhutang untuk naik haji
- Hukum naik haji dengan uang haram
- Amalan haji pada saat Idul Adha
- Keutamaan ibadah haji
- Syarat wajib haji
Syarat Haji adalah wajib bagi yang mampu. Tentu saja karena seorang muslim mampu secara harta, maka ia mampu melaksakanakan Haji. Itulah kenapa saat seorang mampu secara harta (dan telah berhaji), sudah sepantasnya orang tersebuh mensejahterakaan orang lain atas hartanya dengan diniati sodaqoh. Allah berfirman dalam QS, An-Nisa’ ayat 114 :
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali (bisik-bisikan) orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mendamaikan di antara manusia. Dan siapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari keridhoan Allah, tentulah Kami akan memberi kepadanya pahala yang amat besar.”
Mengetahui bahwasanya, semisal kita telah melaksanaan ibadah Haji, sudah sepantasnya kita bisa bersikap lebih dermawan dan saling berbagi. Semakin banyak kita berbagi, maka itu akan semakin melengkapi ibadah Haji kita.
Darikajian diatas, dapat kita pahami bahwa ibadah Haji merupakan tujuan palingmulia yang dimiliki umat muslim dalam hidupnya. Terlebih lagi bagi mereka yangtidak tinggal di tanah suci. Sehingga perlu perjuangan untuk melaksanakannya.
Namunkita juga harus membuka pikiran bahwasanya ibadah Haji bukan merupakan tujuankeimanan yang terakhir untuk umat muslim. Namun lebih ke jembatan diri agarmenjadi suri tauladan dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Demikianlah 3 ciri-ciri haji yang mabrur menurut Rasulullah SAW. Perlu digaris bawahi pula bahwa predikat mabrur adalah hak prerogratif milik Allah SWT, dan Allah berhak memberika predikat tersebut kepada setiap hamba yang dikehendakinya. Atas dasar tersebutlah kita harus mawas diri dalam segala perbuatan, baik itu sebelum kita berhaji maupun sesudah kita berhaji. Tidak ada yang tau tentang penilaian Allah dan tidak ada yang tau pula siapa-siapa saja yang ibadahnya diterima maupun ditolak. Wallahu a’lam bisshowab.
Hamsa,