Melakukan ibadah adalah kewajiban dari setiap muslim dan muslimah. Bagi muslimah dewasa atau yang sudah baligh, perihal ibadah tidak selalu bisa dilakukan karena adanya halangan yang disebabkan oleh kondisi biologis dalam tubuhnya, yaitu Menstruasi atau Haidh. Apa saja sebetulnya larangan yang ada bagi wanita muslimah ketika dalam masa kondisi haidh? Berikut penjelasan yang bisa diambil oleh para wanita muslimah.
Haid atau dalam istilah biologis adalah menstruasi, adalah suatu proses biologis yang terjadi pada wanita. Dalam bahasa Inggris, menstruasi berasal dari kata menses. Menses berarti suatu periode Haidh. Bagi wanita yang sudah berusia 12-13 tahun biasanya akan mendapatkan menstruasi, atau bisa jadi lebih cepat atau lebih lambat bergantung kepada mekanisme tubuh dan hormonalnya masing-masing. Proses ini akan berhenti sampai masa monopause yaitu usia 40 tahun ke atas.
Pada saat terjadi menstruasi pada wanita, maka ia akan mengelurakan darah dari alat kelaminnya (vagina). Proses ini terjadi secara rutin setiap bulannya. Bisa teratur atau tidak bergantung juga kepada kondisi tubuh masing-masing wanita. Proses ini terjadi akibat adanya sel telur yang berada dalam rahim telah matang. Biasanya periode waktunya 1 bulan terjadi 1 kali fase antara 5-10 hari.
Seharusnya, sel telur ini jika bertemu dengan sel sperma atau ada pembuat dalam sel telur wanita (ovum) maka akan terjadi pembuahan, yang nantinya mengakibatkan kehamilan. Namun, karena tidak adanya pembuahan akhirnya sel telur yang sudah matang tersebut meluruh pada dinding rahim dan keluar menjadi darah yang kotor (berwarna hitam kemerahan, kemerahan, coklat, hingga berhenti). Proses meluruhnya sel telur di dinding rahim itulah proses Haidh/menstruasi.
Saat proses ini biasanya berdampak pula pada psikologis wanita. Menjadi sedikit lebih sensitif perasaanya dan emosional. Hal ini karena adanya perubahan hormon pada wanita, yang mengakibatkan pula adanya perubahan kondisi psikologisnya. Penyebab hati gelisah menurut islam salah satunya adalah karena perubahan kondisi fisik saat wanita mengalami haidh. Terkadang muncul rasa emosional atau marah pada wanita haidh, padahal sifat marah dalam islam bukanlah suatu yang dianjurkan jika tanpa alasan rasional. Untuk itu di dalam haidh, wanita perlu mengetahui pula bagaimana cara menyelesaikan agar tidak berdampak pada aktivtias lain.
“Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS : Al-Baqarah : 222)
Dalam ayat di atas disampaikan bahwa Haidh (darah Haidh) adalah kotoran. Untuk itu dalam kondisi seperti itu wanita dianggap tidak suci. Bukan karena diri secara keseluruhan melainkan akibat darah Haidh yang dikeluarkan. Untuk itu, setiap darah yang keluar saat proses Haidh adalah suatu kotoran yang tidak suci.
Darah haidh yang keluar pada saat masanya, keluar dalam warna kehitaman, kemerahan, sampai coklat dan berbau tidak sedap. Darah ini keluar sebagaimana seseorang mengeluarkan urin saat buang air kecil. Perbedaanya, darah haidh keluar secara terus menerus walaupun dalam kondisi tidak sadar sekalipun.
Jika darah haidh ini keluar terus menerus saat prosesnya, maka dalam kondisi itu pula wanita dikatakan tidak dalam kondisi suci. Sebagaimana seseorang yang sedang mengeluarkan hadast kecil, maka ia pun dalam kondisi tidak suci, maka tidak diperkenankan melaksanakan ibadah seperti shalat atau mengotori tempat beribadah.
Untuk berakhirnya masa haid, pandangan ulama sering menyebutkan hingga berhentinya darah haid dan benar-benar dalam kondisi bersih. Sedangkan Aisyah dalam suatu periwayatan pernah mengatakan sebagaimana Hadist Bukhari,
“Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih”, yaitu cairan putih yang keluar saat habis masa haid” (HR Bukhari)
Persoalan mengenai haidh adalah masalah tersendiri yang harus dikaji dalam islam. Istri-istri nabi Muhammad pun tentunya pernah mengalami haidh. Untuk itu dalam beberapa hadist, nantinya kita bisa melihat apa-apa yang tidak dilakukan oleh istri-istri Muhammad, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Rasulullah. Berikut adalah hal-hal larangan haid dalam islam oleh ajaran islam, sebagaimana fungsi agama menunjukkan kebenaran dan menghindari dampak yang buruk.
“Dari Aisyah RA, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadist tersebut, para ulama bersepakat bahwa pada saat wanita mendapatkan haidh, maka wanita tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa. Disadari bahwa saat haidh yang mengeluarkan darah kotor secara terus menerus, sama seperti mengeluarkan najis secara terus menerus. Untuk itu tidak diperkenankan shalat.
“Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.” (HR. Bukhari)
Dari penjelasan hadist tersebut bisa kita mengetahui bahwa ketika wanita mengalami haidh, maka ia tidak boleh shalat sampai masa haidhnya berhenti, dan shalat yang ditinggalkan semasa haidh tidak perlu diganti atau diqodo oleh wanita muslimah. Wanita muslimah masih bisa mengingat Allah dan melaksanakan ibadah dengan melakukan dzikir pada Allah, karena ada banyak keutamaan berdzikir pada Allah.
“Hadist Muadzah bertanya kepada Aisyah RA, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’” (HR. Muslim)
Dari hadist diatas bisa kita ketahui bahwa saat haidh maka wanita muslimah yang berhalangan untuk puasa, maka wajib untuk mengqodo atau menggantinya di lain waktu selain dari waktu puasa wajib ramadhan. Dalam rukun puasa ramadhan, haidh dan nifas adalah salah satu yang bisa membatalkan puasa, dan merubah kewajiban puasa menjadi suatu yang haram dilaksanakan oleh wanita yang mengalaminya. Jika shalat tidak wajib untuk diganti, berbeda dengan puasa maka wajib untuk diqodo di lain waktu. Untuk itu perlu wanita muslimah adanya niat puasa ganti ramadhan setelah berlalunya ramadhan.
Bukan hanya diharamkan untuk berpuasa ramadhan, puasa-puasa sunnah pun dilarang tentunya ketika wanita dalam masa haidh dan nifas. Ada macam-macam puasa sunnah, seluruhnya diharamkan untuk dilaksanakan bagi yang sedang mengalami haidh.Meskipun diharamkannya puasa saat ramadhan, wanita muslimah tetap bisa menggantinya dengan doa puasa ramadhan yang diucapkan dalam hati. Sehingga ibadah tetap bisa dilakukan.
Berdasarkan QS Al Baqarah : 222, yang telah diulas diatas, saat wanita muslimah mendapatkan haidh/menstruasi, maka ia diharamkan oleh Syariat Islam untuk melakukan hubungan suami istri atau berjima dengan suaminya. Dalam sebuah hadist pun disampaikan bahwa,
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ “(HR. Muslim)
Dalam hadits disebutkann bahwa bercumbu dengan wanita haidh tidak masalah selagi tidak terjadi proses di kemaluan.
Selain karena alasan agama, dalam ilmu kesehatan pun hal ini menjadi suatu yang dilarang. Sel telur yang meluruh dalam dinding rahim harus keluar terlebih dahulu dan tidak boleh dibuahi. Jika terjadi pembuahan, padahal sel telur tersebut sudah mengalami peluruhan maka akan terjadi penyakit pada wanita tersebut. Sel telur yang sudah meluruh sudah berbeda kondisinya dengan yang belum meluruh.
Berikut Pendapat para Ulama mengenai larangan berhubungan sexual/suami istri saat wanita mengalami haidh :
Banyak ulama yang bersepakat terhadap pemahaman syariat islam bahwa saat wanita mendapatkan haidh, maka dilarang melakukan hubungan suami istri (berjima) hingga proses terjadinya pembuahan. Dalam kondisi seperti ini tentunya suami harus bisa memahami dan menahan hasrat/nafsunya. Jika tidak bisa menahannya, maka bisasaja terjadi potensi berzina dengan wanita lain yang bukan istrinya. Sedangkan, zina dalam islam adalah suatu dosa yang sangat besar dan dibenci Allah.
Rasulullah menyampaikan kepada Aisyah, “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tawaf dalam berhaji juga adalah hal yang dilarang untuk dilaksanakan ketika wanita mengalami haidh. Untuk itu, aktivitas tawaf dilewatkan bagi wanita yang mengalami haidh.
Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh”
Masuk ke masjid dalam hal ini beberapa ulama mengalami perbedaan pendapat. Beberapa menyatakan tidak boleh atas dasar hadist tersebut, namun beberapa pula mengatakan bahwa tidak masalah selagi tidak melakukan shalat dan berpotensi mengeluarkan najis kotoran haidh yang bisa mengotori kesucian tempat ibadah.
Untuk kehati-hatian, maka wanita muslimah yang sedang mengalami haidh tidaklah boleh untuk masuk ke masjid. Beberapa pendapat ulama memperbolehkan selagi hanya di pelatarannya saja dan tidak sampai masuk pada area shalat yang berpotensi mengotori kesuciannya.
Fungsi Al-Quran bagi umat manusia tentunya ada banyak. Namun, membacanya ketika dalam kondisi haidh tentu menjadi persoalan. Dari pendapat 4 ulama mahdzab ke-empatnya sepakat bahwa wanita muslimah yang sedang dalam kondisi haidh, tidak suci dilarang untuk menyentuh mushaf Al-Quran yang suci. Sebagaimana diambil dalam QS Al-Waqi’ah : 79 “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
Terkait membaca Al-Quran selagi tidak dalam kondisi memegang para ulama menyatakan tidak masalah. Dalam konteks belajar atau studi, hal ini juga diperbolehkan. Persoalan ini terdapat perbedaan pendapat, wanita muslimah bisa mengambil pendapat dan periwayatan yang mampu dipertanggungjawabkan saja menurut keyakinan. Hal ini dikarenakan ada banyak manfaat membaca al-quran yang didapatkan, apalagi Al Quran adalah petunjuk dasar bagi kehidupan umat islam.
Hal-hal tersebut adalah aktivitas yang dilarang oleh Islam untuk dilakukan ketika wanita muslimah dalam kondisi haidh. Tidak perlu khawatir jika wanita sedang mengalami haidh, meskipun dalam kondisi tidak suci aktivitas ibadah dan amalan shalih masih banyak yang bisa dilakukan. Sehingga, tidak ada alasan walaupun sedang haidh tidak melakukan amal shalih. Misalnya saja membaca dan mengingat asmaul husna, karena ada banyak manfaat asmaul husna jika dipahami oleh muslim.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…