Dalam suatu pernikahan timbul beberapa hubungan baru dan meluasnya kekerabatan. Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan dalam islam yakni memperkuat tali persaudaraan dan memperluas silaturahmi. Dengan menikah seseorang bisa memiliki keluarga dan lingkungan baru yang tinggal berdekatan dengan dirinya dan pasangannya. Jika seseorang menikah dengan janda atau duda yang telah memiliki anak maka ia akan disebut sebagai orangtua tiri dan anaknya disebut dengan sebutan anak tiri.
Berdasarkan fiqih pernikahan, perkawinan antara seseorang yang pernah bercerai atau janda maupun duda hukumnya sah apabila memenuhi rukun nikah dan syarat sah akad nikah termasuk adanya wali nikah yang memenuhi syarat-syarat wali nikah dan urutan wali nikah yang sesuai syariat islam.. Hubungan antara orangtua tiri dan anak tiri bisa berlangsung harmonis maupun tidak tergantung pada perangai masing-masing. Dalam islam seorang anak tiri sebenarnya memiliki perbedaan dengan anak kandung dan perbedaan tersebut perlu diperhatikan terutama dalam hal mawaris atau hukum warisan. Untuk lebih jelasnya dapat disimak dalam uraian berikut ini mengenai hak waris anak tiri :
Pengertian Anak dan Anak Tiri
Di dalam agama islam, anak adalah hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang penting kedudukannya dalam keluarga. Anak adalah amanah dari Allah SWT dan orangtua dari si anak wajib mengasuh, membesarkan dan mendidik anak tersebut. Disebutkan dalam pasal 45 dan 46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan membawa hukum antara orangtua dengan anak yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya, dan disebutkan bawa sudah merupakan kewajiban bagi orang tua untuk mendidik dan mengasuh anaknya serta mengetahui cara mendidik anak menurut islam..
Demikian juga sang anak, ia wajib memenuhi hak dan kewajibannya sebagai anak dan mematuhi orangtuanya. Sehingga dari hal tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa pernikahan tidak hanya menimbulkan kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya kewajiban isteri terhadap suami saja melainkan keduanya memiliki kewajiban terhadap anak.
Anak didalam suatu pernikahan dibagi menjadi beberapa golongan yakni anak kandung, anak tiri serta ada juga yang menyebutkan anak di luar kawin atau di luar nikah. Anak tiri adalah anak yang didapat dari pernikahan seseorang dengan pasangannya yang telah memiliki anak di masa lalu atau anak yang diperoleh dari pernikahannya terdahulu. Anak tiri ini bisa merupakan anak dari sang wanita ataupun anak dari sang pria. Biasanya pernikahan yang menimbulkan anak tiri adalah pernikahan dengan janda atau duda yang sudah memiliki anak. Anak tiri juga merupakan hasil dari perceraian orangtua terdahulunya karena ayahnya menjatuhkan talak (baca hukum talak dalam pernikahan dan perbedaan talak satu,dua dan tiga) pada ibunya atau salah satu dari keduanya meninggal.
Hukum Waris
Disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 menyebutkan bahwa hukum mawaris itu sendiri adalah hukum yang mengatur pasal pemindahan harta dari seseorang terhadap ahli warisnya dan hukum tersebut memnentukan siapa saja yang berhak menerima warisan serta berapa banyak warisan yang diterima. Harta waris itu sendiri adalah seluruh harta yang dimiliki seseorang yang akan dilimpahkan kepada ahli waris setelah orang tersebut meninggal dan harta yang nantinya akan diwariskan haruslah sudah digunakan untuk biaya pengurusan, pemakaman dan membayar hutang yang dimiliki oleh jenazah apabila ia berhutang.
Menurut hukum islam anak adalah salah satu ahli waris yang berhak menerima warisan dari orangtuanya. Anak yang dilahirkan dari hubungan pernikahan baik anak laki-laki maupun perempuan memiliki hak atas harta orangtuanya. Anak kandung tersebut bahkan merupakan ahli waris yang sah dari kedua orangtuanya tersebut. Hukum waris dalam islam biasanya menyatakan bahwa ahli waris terdekat dari seseorang adalah anaknya hal ini disebabkan karena adanya ikatan darah anak tersebut dengan orangtuanya. Ikatan tersebut disebut nasab atau keturunan. Sebagaimana kita ketahui anak adalah darah daging seseorang yang lahir akibat hubungan biologis antara kedua orangtuanya setelah pernikahan. Meskipun demikian jika anak tiri seorang wanita maka ia juga menjadi muhrim (baca muhrim dalam islam) yang berarti wanita yang haram dinikahi oleh orangtua tirinya selamanya (baca juga pengertian mahram ).
Hak Waris Anak Tiri
Anak tiri atau anak yang didapatkan dari pasangan dan dari pernikahan terdahulunya, tidaklah disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al qur’an dan Hadits. Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya. Sebab mendapatkan warisan atau yang disebut dengan asbabul mirats hanya terdiri dari tiga hal saja, yaitu
- Hubungan kekerabatan atau qarabah, hal ini menyangkut anak kandung atau orang yang terkait nasab dengan sang pemilik harta atau disebut juga sebagai sebab garis keturunan atau yang lebih dikenal dengan garis nasab
- Hubungan perkawinan (mushaharah), yaitu adanya hubunganantara orang yang mewarisi tersebut dengan seseorang akibat adanya hubungan pernikahan. Dalam hal ini haruslah nikah secara resmi bukanlah nikah siri, pernikahan sedarah, atau pernikahan lainnya yang hukumnya tidak sah secara agama. Jika telah bercerai maka bekas pasangannya tersebut tidaklah berhak mendapatkan harta warisan.
- Dikarenakan memerdekakan budak atau yang disebut dengan hak wala. Orang yang memerdekakan budak lalu suatu hari budaknya tersebut memiliki harta dan meninggal maka orang yang memerdekakan tersebut berhak mendapatkan harta warisan dari budak yang telah dimerdekakannya tersebut.
Dengan melihat ketiga sebab waris diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa anak tiri tidak berhak atau tidak dapat mewarisi harta orangtua tirinya tersebut, ia hanya bisa mendapatkan waris dari orangtua yang sedarah dengannya baik ibu maupun ayah, Adapun anak tiri tidak berhak mendapatkan harta warisan adalah berdasarkan dalil dalam Alqur’an yang menjadi dasar hukum waris berikut ini
- An Nisa ayat 7
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
- Surat An-Nisa’ ayat 11
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
- Surat An-Nisa’ ayat 12
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudahnya.
Demikian penjelasan dan dalil hukum Waris yang terkait dengan hak waris anak tiri atas harta orangtua tirinya. Dari pernyataan dan uraian diatas maka jelaslah bahwa anak tiri tidaklah memiliki hak waris atas harta orangtua tirinya dan ia hanya berhak terhapa hak waris orangtua kandungnya saja sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat di atas. Hal ini perlu diketahui agar tidak terjadi konflik dalam keluarga yang disebabkan oleh harta warisan