Bagi sebagian orang mungkin mendengar kata tasawuf, mungkin sedikit asing. Tapi ketika mendengar pembahasan tentang bagaimana caranya menjaga hati dari iri dan dengki, mungkin sudah biasa.
Dari sini kita sudah paham, bahwa sebenarnya kita sudah terbiasa dengan tasawuf. Hanya saja mungkin dalam pembahasan sehari-hari yang terpisah dari kebiasaan hidup kita. Padahal kalau dipelajari lebih dalam soal tasawuf ini, ternyata memang salah satu bidang ilmu Islam yang praktis dalam kehidupan.
Sebagai contoh, ketika sedang dirundung masalah, sabar adalah motivasi yang paling sering kita dengar. Hanya saja, maksud dari sabar itu seperti apa, mungkin sampai saat ini kita masih belum bisa mempraktikkannya.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tasawuf adalah bidang ilmu yang praktis. Tasawuf sebetulnya tidak perlu terlalu banyak teori, karena memang tergantung pada pengalaman spiritual pribadi.
Banyaknya kitab tasawuf yang ada, sebenarnya adalah gambaran dari pengalaman spiritual para ulama ketika mengarangnya. Disusun menjadi suatu kitab, karena para ulama merasa perlu dan bertanggung jawab untuk membawa umat Islam agar bisa menikmati cita rasa ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita coba ambil sebagai contoh, ketika kita menghadapi masalah tertentu, kebanyakan orang terdekat kita akan mengatakan bahwa hidup manusia sudah diatur sejak pertama kali Allah meniupkan ruh kita di dalam rahim ibu kita. Di sana sudah dirinci tentang rezeki kita, jodoh, ajal, musibah, dan segala macam jalan tempuh yang kita pilih. Apa yang sudah terjadi hari ini, kita hanya perlu ridha menerima ketentuan Allah saja.
Nasehat itu benar adanya. Tapi karena yang menerima nasehat belum mengalami pengalaman spiritual yang sedemikian kadarnya, bisa jadi ia merasa gundah gulana seperti orang yang paling menderita di muka bumi.
Maka, penting bagi kita untuk mulai melakukan pelatihan diri secara lahir batin untuk kebaikan hidup kita sendiri.
Kadangkala karena keterbatasan ilmu yang kita miliki, kita hanya menganggap bahwa ibadah itu yang nampak saja, seperti shalat, zakat, haji, bersedekah, berbakti pada orang tua, berbuat baik pada tetangga, berdzikir mengingat Allah, dan sebagainya. Yang disebutkan barusan sebenarnya adalah ibadah fisik, yakni ibadah yang kita lakukan dengan anggota tubuh kita.
Lalu ibadah hati itu yang mana?
Ibadah hati itu diantaranya adalah senantiasa menggantungkan segala urusan kepada Allah saja. Ketika kita ditimpa musibah, lepaskan hati kita dari perasaan beban, dan yakini dalam hati bahwa Allah menyayangi kita.
Kalau diumpamakan dengan orang tua kepada anaknya, mungkin seperti ini: seorang anak di usia 10 tahun tidak mau shalat, maka dipukullah anak itu. Dipukulnya anak itu bukan karena benci, tapi karena sayang, sebab untuk apa lagi hidup kita kalau bukan untuk Allah saja?
Demikian halnya ketika ada sesuatu yang tidak menyenangkan datang kepada kita. Mungkin kita tak senang, seperti anak dipukul bapaknya. Tapi Allah Maha Tahu mengapa sesuatu yang tidak menyenangkan itu harus datang kepada kita, sebagaimana alasan bapak memukul anaknya.
Contoh lain yang lebih terasa mungkin adalah shalat fardhu 5 waktu. Shalatnya kita berupa ucapan lisan dan gerakan fisik. Inilah amalan fisik atau amalan lahir. Sedangkan hadir dan sadarnya hati ketika shalat, memahami betul ucapan kita saat shalat, itulah amalan hatinya.
Kalau kita shalat berjamaah di masjid misalnya, berangkatnya kita dari rumah adalah amalan fisik. Tapi hati kita yang terpanggil dan bergegas memenuhi panggilan Allah dan tidak mengharapkan perkataan manusia sedikit pun—entah baik ataupun buruk—adalah amalan hati.
Kita sedekah sampai 1 juta rupiah kepada tunawisma yang berada di pasar. Di sana ada orang banyak tentunya. Sedekah itu amalan fisiknya. Mau disembunyikan atau tidak ada keutamaannya masing-masing. Tapi hati kita yang hanya mengharap ridha Allah adalah amalan bagi hati kita.
Karena sudah mengetahui hakikat dari tasawuf itu untuk apa, segeralah beramal dengan cita rasa hati yang berharap pada Allah. Tinggalkan juga segala macam keharaman karena takut pada-Nya. Dengan begitu, harapannya hati kita menjadi hati yang tenang, ridha pada Allah dan diridhai Allah. Sebagaimana firman Allah:
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
“Wahai jiwa yang tenang!” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 27)
ارْجِعِىٓ إِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 28)
فَادْخُلِى فِى عِبٰدِى
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 29)
وَادْخُلِى جَنَّتِى
“dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr 89: Ayat 30)