Generasi muda zaman ini merasa aktif berorganisasi itu lebih bergengsi dan lebih keren daripada belajar agama secara serius (yang dikenal dengan istilah tafaqquh fid-diin). Masa-masa mudanya dipenuhi dengan keywords: ketua, rapat, organisasi, event, program, pencalonan, proposal. Tanpa sama sekali mengenal keywords: menghafal Qur’an, belajar bahasa Arab, ngaji tauhid, ngaji akidah, ngaji fikih, ngaji akhlak.
Bahkan jika yang dipimpinnya adalah organisasi Islami sekalipun, jika dia tidak semangat untuk tafaqquh fid-diin, maka pada hakikatnya dia tidak paham prioritas dan tidak paham mana yang jauh lebih bermanfaat untuk dirinya dan untuk umat.
(Dikutip dari Ustadz Andy Octavian Latief)
Yang menjadi tantangan bagi pengemban amanah (sebut saja ketua/aktivis organisasi) adalah bagaimana ia mampu menempatkan prioritas menimba ilmu syar’i (dalam konteks ia adalah muslim) di tempat teratas dari kesibukannya. Ini bukan perkara mudah, tetapi ini sangat esensial.
Menimba ilmu agama Islam, mengamalkannya serta mengajarkannya akan mendapatkan jaminan pahala yang besar dari Allah dan sebagai kunci bekal akhirat kelak. Di sisi lain, ia juga dihadapkan untuk melaksanakan roda organisasi dengan baik, bermuamalah dengan baik.
Karena sejatinya harta, tahta, jabatan yang dimiliki tidak akan menjadi penyelamat di akhirat kelak. Amal shalih yang berawal dari belajar agama itulah yang insyaAllah menjadi penyelamat di yaumul hisab.
Belajar Ilmu Agama
Tidak ada kata terlambat untuk belajar agama Islam serta mengimaninya. Hendaklah kita menjadi orang yang sabar dalam thalabul’ilmi. Jangan sampai jenuh dan bosan karena inilah salah satu adab dalam menuntut ilmu agama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaklah penuntut ilmu bersabar ketika menuntut ilmu dan jangan sampai bosan. Karena jika manusia sudah tertimpa rasa bosan, maka dia akan merasa letih dan kemudian meninggalkannya. Akan tetapi, jika dia tetap istiqamah dalam belajar, maka sesungguhnya ia akan meraih pahala orang yang bersabar, pada satu sisi, dan dia akan meraih hasilnya pada sisi yang lain (Kitaabul ‘Ilmi, hal 41).
Sehingga, ada baiknya kita kembali menempatkan thalabul’ilmi di skala paling atas. Agar hidup menjadi lebih terarah, supaya hari-hari kita lebih berkah. Seseorang yang terlahir di dunia dalam kondisi bodoh. Menuntut ilmu agama adalah mengangkat kebodohan itu.
Ilmu Didapat Secara Bertahap
Ketika niat sudah bulat, bersegeralah mendatangi majelis ilmu syar’i. Belajar ilmu agama adalah secara bertahap (ta’shili) yaitu bertahap dari kaidah dasar. Tidak perlu malu atau gengsi untuk belajar. Lebih baik belajar sejak sekarang dari pada hilang arah kemudian. Kalau dapat mengajak orang-orang di sekitar, pahala kebaikan sudah didapat. Semakin berlipat ketika ilmu itu akhirnya tertanam ke generasi berikutnya.
Jadi untuk para aktivis ataupun penulis pada khususnya, mari lebih bersemangat untuk ngaji, menimba ilmu syar’i. Rujukan utamanya Alqur’an dan Sunnah, tidak ada yang lebih penting dari pada keduanya. Ketika ilmu sudah syar’i, amalan yang dikerjakan punya dasar, tidak asal ikut-ikutan atau taklid buta.
Allah berfirman dalam QS. Al Mulk: 2 yang artinya, “Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna ayat di atas: “Yang dimaksud ‘siapa di antara kalian yang terbaik amalnya’ adalah amalan yang paling ikhlas dan benar”.
Ketika amalan sudah sesuai syariat, meski itu sedikit, maka pahalanya lebih besar dari yang tanpa mutaba’ah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga kita dan generasi muda lainnya termasuk umat yang istiqamah dalam berilmu dan beramal sebagai bekal akhir hayat nanti. Kalau masih ada kesempatan sekarang, tidak perlu ditunda lagi.
InsyaAllah, barakallahu fiikum.