Apakah Boleh Pacaran dalam Islam?

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Menjalin hubungan dengan sesama manusia tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sebab, secara kodrat manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Banyak jenis hubungan yang dapat dijalin oleh manusia, misal hubungan sesama profesi, hubungan keluarga, hubungan lawan jenis, dan lain sebagainya.

Hubungan lawan jenis atau hubungan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram (ajnabiyah), selain melalui jalur menikah sudah menjadi hal lumrah ditemui di sekitar kita.

Pacaran menjadi pilihan istilah yang sering dipakai di kalangan masyarakat untuk menyebut jenis hubungan ini. Miris sekali, ketika kita melihat pemuda dan pemudi muslim yang tidak canggung mengumbar hubungan pacaran mereka. Bahkan pacaran menjadi sebuah tren yang digandrungi oleh kalangan remaja.

Skinship, ciuman, dan berduaan di tempat sepi menjadi bumbu-bumbu maksiat dalam pacaran. Candu aktivitas maksiat tersebut kemudian menjadi bumerang bagi pelakunya dengan risiko terjerumus ke dalam perbuatan zina. Akibat yang sangat berbahaya tersebut sering diabaikan demi mengejar kesenangan nafsu.

Sebenarnya, syari’at telah mengatur segala aspek kehidupan muslim, tidak terkecuali dalam hal hubungan lawan jenis. Aturan syari’at dibuat untuk menjamin kemaslahatan si muslim itu sendiri. Jika kita menghendaki kebaikan dalam kehidupan ini, maka patuhi aturan tersebut.

Lalu, apakah Islam melarang pacaran? Tergantung konteks bagaimana istilah pacaran tersebut dipakai.

Jika melihat pacaran sebagai hubungan lawan jenis selain melalui pernikahan dan dalam hubungan tersebut terdapat unsur hal yang mendekati zina, maka hukumnya tidak boleh. Dengan jelas dalam Surah al-Isra’ ayat 32, bahwa kita dilarang untuk mendekati zina:

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Lalu, pacaran mana yang diperbolehkan dalam Islam? Dalam Islam yang tertuang dalam syari’at telah mengatur hubungan lawan jenis yang suci dan bermartabat, yakni melalui pernikahan.

Aktivitas seperti skinship, ciuman, dan berduaan di tempat sepi diperbolehkan untuk dilakukan dalam hubungan pernikahan. Bahkan, ketika aktivitas tersebut dapat menyenangkan pasangan dan mempererat hubungan kasih-sayang dalam mahligai pernikahan justru dapat memanen pundi-pundi pahala.

Dapat diartikan bahwa pacaran yang dalam hubungan pernikahan justru sangat dianjurkan, karena di dalamnya terdapat kebaikan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Rasulullah SAW menunjukkan kasih-sayang beliau terhadap istri-istri beliau.

Kemesraaan ditunjukkan oleh beliau untuk menyenangkan hati istri. Diriwayatkan dari Urwah Bin Zubair RA, ia meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah RA, ia berkata:

 قلما كان يوم – أو قالت قل يوم – إلا كان رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يدخل على نسائه فيدنو من كل امرأة منهن فى مجلسه فيقبل ويمس من غير مسيس ولا مباشرة » قالت « ثم يبيت عند التى هو يومها

Hampir setiap hari Rasulullah SAW mengunjungi semua istrinya, lantas mendekatinya satu per satu di tempatnya (rumah). Kemudian Rasulullah SAW mencium dan membelainya tanpa bersetubuh atau berpelukan.” Aisyah berkata, “Lantas beliau menginap di (rumah) istri yang mendapat gilirannya.” (HR Daruquthni [nomor 3781]).

Keharmonisan dalam hubungan pernikahan memang perlu dijaga, bisa dengan melalui menunjukkan perhatian dan kemesraan terhadap pasangan. Hal demikian justru akan membawa kebaikan dalam kehidupan suami-istri dan juga pahala bagi masing-masing.

Jadi, apakah Islam mengenal istilah pacaran? Jawabannya, iya. Dan, Islam memperbolehkan pacaran dengan syarat pacaran tersebut dilakukan dalam hubungan pernikahan yang sah menurut syari’at.

Mengapa pacaran hanya diperbolehkan dalam hubungan pernikahan saja? Karena jika dilakukan selain dalam hubungan pernikahan akan banyak kerusakan atau mudarat yang akan timbul.

Sekali lagi untuk penegasan, bahwa kita umat Islam dilarang mendekati sesuatu yang akan berpotensi terhadap perbuatan zina dengan dalih agar zina merupakan perbuatan yang keji. Yang demikian telah difirmankan oleh Allah sebagai peringatan untuk kita semua.

Pada dasarnya, semua yang diatur oleh syar’at memiliki tujuan jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid, artinya mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Dengan meyakini bahwa ketika kita menjalankan syari’at Islam, maka kemaslahatan akan mudah diraih dan kerusakan akan terhindar dari diri kita.

fbWhatsappTwitterLinkedIn