5 Cara Pengembangan Harta yang Dilarang Dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Hukum syari’at Islam telah menjadikan masalah pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum yang tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang individu untuk mengembangkan kepemilikannya dengan cara-cara tertentu, Berikut 6 Cara Pengembangan Harta Yang Dilarang Dalam Islam.

  1. Perjudian

Islam melarang perjudian dengan larangan yang tegas. Bahkan, islam menganggap harta yang diperoleh dengan cara perjudian tersebut, sebagai harta yang bukan hak milik. Allah SWT berfirman:

”Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamer, perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamer dan berjudi itu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Q.S. Al Maidah: 90-91)

Yang termasuk dalam katagori perjudian adalah kupon undian, apapun bentuknya dan apapun sebab yang dipergunakan untuk membuatnya. Dan yang juga termasuk perjudian adalah pertaruhan dalam perlombaan kuda. Sedangkan harta hasil perjudian itu hukumnya haram, dan tidak boleh dimiliki.

  1. Riba

Islam melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya, baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba itu hukumnya jelas-jelas haram. Dan tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT berfirman:

”Orang-orang yang maka (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan, lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai padanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al Baqarah: 275)

”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkanlah semua bentuk riba, apabila kalian orang-orang yang beriman. Maka, jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari mengambil riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)

Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu mengeksploitasi tenaga orang lain, dimana ia mendapatkan upah tanpa harus mencurahkan tenaga sama sekali. Disamping karena harta yang menghasilkan riba itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi.

  1. Penipuan (Al Ghabn)

Al Ghabn menurut bahasa bermakna al khada’ (penipuan). Dikatakan: Ghabanahu ghabanan fil bai’ was syira’; khada’ahu wa ghalabahu (Dia benar-benar menipunya dalam jual beli; yaitu menipunya dan mengalahkannya), Ghabana Fulanan; naqashahu fits tsaman wa ghayyarahu, fahuwa ghabin wa dzaka maghbun (Dia menipu si Fulan; yaitu mengurangi dan merubah harganya. ]

Maka, dia adalah penipu sedangkan di Fulan itu adalah pihak yang tertipu). Ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata, atau dengan harga rendah dari harga rata-rata.

Ghabn yang keji hukumnya memang haram, menurut syara’. Sebab, ghabn tersebut telah ditetapkan berdasarkan hadits yang shahih, dimana hadits tersebut menuntut agar meninggalkan ghabn tersebut dengan tuntutan yang tegas.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah Bin Umar ra. bahwa ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa dia telah menipu dalam jual beli, maka beliau bersabda:

”Apabila kamu menjual, maka katakanlah: ‘Tidak ada penipuan.’

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: Ada seorang laki-laki hidup pada masa Rasulullah SAW. Dia biasa menjual, padahal dia dalam “pengawasan”, maksudnya akalnya lemah lalu keluarganya mendatangi Nabi SAW: ‘Wahai Nabi Allah, hijir saja si Fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli, padahal dia lemah akalnya.’ Lalu dia dipanggil oleh Nabi SAW, kemudian beliau melarangnya untuk melakukan jual beli.

Dia kemudian berkata: ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap jual beli semacam ini.’ Lalu Nabi SAW bersabda: ’Jika kamu tidak mau meninggalkan jual beli, maka katakan: ‘Ah, dan tidak ada penipuan.’ Imam Al Bazzar juga meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW bahwa beliau melarang menjual barang-barang make up-an.

  1. Penimbunan

Penimbunan secara mutlak dilarang, dan hukumnya haram. Karena adanya larangan yang tegas di dalam hadits. Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Sa’id Bin Al Musaib dari Ma’mar Bin Abdullah Al Adawi, bahwa Nabi SAW bersabda:

”Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah.”

  1. Pematokan Harga

Allah SWT telah menjadikan kepada tiap orang agar membeli dengan harga yang disenangi. Ibnu Majjah meriwayatkan dari Abi Sa’id yang mengatakan: Nabi SAW bersabda:

”Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.”

Namun, ketika negara mematok harga untuk umum, maka Allah telah mengharamkannya untuk membuat patokan harga barang tertentu, yang dipergunakan untuk menekan rakyat agar melakukan transaksi jual beli sesuai dengan harga patokan tersebut. Oleh karena itu, pematokan harga tersebut dilarang.

Yang dimaksud dengan pematokan harga di sini adalah, bahwa seorang penguasa, atau wakilnya, atau siapa saja dari kalangan pejabat pemerintahan, memerintahkan kepada kaum muslimin –yang menjadi pelaku transaksi di pasar– suatu putusan agar mereka menjual barang-barang dengan harga ini, dimana mereka dilarang untuk menaikkan harganya dari harga patokan, sehingga mereka tidak bisa menaikkan atau mengurangi harganya dari harga yang dipatok, demi kemaslahatan umum.

Hal itu terjadi, manakala negara ikut terlibat dalam menentukan harga dan membuat harga tertentu untuk semua barang atau beberapa barang, serta melarang tiap individu untuk melakukan transaksi jual beli melebihi atau mengurangi harga yang telah ditentukan oleh negara, sesuai dengan kepentingan khalayak yang dijadikan pijakan oleh negara.

fbWhatsappTwitterLinkedIn