Perjanjian dalam persoalan jual beli memang bukan hal yang baru. Beberapa jenis produk atau jasa yang dipasarkan mesti dibeli dengan suatu perjanjian yang disepakati oleh pihak penjual maupun pembeli. Perjanjian ini juga bisa menjadi salah satu syarat terbentuknya jual beli di antara keduanya.
Namun, bagaimanakah hukum perjanjian jual ini dalam Islam? Marilah kita simak penjelasannya berikut ini.
Hukum jual beli ialah diperbolehkan menurut al Kitab, as Sunnah, ijma serta qiyas. Berikut ini dalilnya:
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli..”(Al Baqarah : 275)
Dalam hal jual beli, tentu ada kegiatan yang dinamakan dengan promosi yakni kegiatan menawarkan produk atau jasa kepada calon pembeli agar mereka tertarik untuk membelinya. Hukum promosi dalam perkara jual beli ini juga diperbolehkan dalam Islam, selama masih dalam batas yang telah ditentukan yakni menjelaskan barang atau jasa sesuai dengan keadaannya tanpa ada yang direkayasa atau disembunyikan. Sebagaimana hadist berikut ini.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Persoalan jual beli juga melibatkan akad atau perjanjian. Akad jual beli dalam Islam bisa dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Akad dalam bentuk perkataan terdiri atas 2 hal, yaitu:
- Ijab yaitu kata yang keluar dari penjual seperti ucapan ” saya jual”, dan
- Qobul yaitu ucapan yang keluar dari pembeli dengan ucapan “saya beli”.
Sedangkan akad dalam bentuk perbuatan yaitu muaathoh (saling memberi) yang meliputi perbuatan mengambil dan memberi seperti penjual memberikan barang dagangannya kepada pembeli, lalu pembeli memberikan harga yang wajar (telah ditentukan).
Bisa juga dalam jual beli melibatkan akad dalam bentuk perkataan dan perbuatan sekaligus. Misalnya, seorang penjual mengatakan, “saya menjual barang ini kepadamu…” sambil menyerahkan barang yang dimaksud kepada pembeli. Kemudian pembeli menerima barang tersebut dengan mengatakan, “saya terima barang ini darimu dengan harga yang telah disepakati…“.
Ketika sudah terbentuk akad di antara penjual dan pembeli, maka keduanya wajib memenuhi akad tersebut. Sebagaimana firman Allah subhanallahu wata’ala berikut ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al Maidah: 1).
Hal tersebut juga dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin wajib mematuhi perjanjian yang telah mereka sepakati.” (HR. Abu Daud no 3594. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah bahwa hukum perjanjian jual beli dalam Islam ialah diperbolehkan selama memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada.