Dalam setahun, terdapat satu bulan yang sangat istimewa bagi umat muslim yakni bulan ramadhan. Pada bulan tersebut, segala amal ibadah dan perbuatan baik akan dilipat gandakan pahalanya, pintu langit dibuka, pintu neraka ditutup, doa-doa dimustajabah, dan dosa-dosa orang beriman diampuni. Tak sekedar itu, bulan ramadhan juga disebut bulan mulia karena pada saati itulah Al-Quran pertama kali diturunkan. Dan ramadhan memiliki satu hari spesial yang disebut sebagai malam lailatul qadar, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan.(Baca : Puasa Ramadhan dan Cara Pelaksanaannya)
Selain keistimewan-keistimewaan di atas, di bulan ramadhan orang-orang islam juga diperintahkan menjalani puasa. Hukum melaksakana puasa ini wajib bagi muslim yang telah dewasa (baligh), berakal, sehat, muqim, kuat, serta suci dari haid dan nifas. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)
Baca juga:
- Keistimewaan Ramadhan
- Keutamaan Membaca Al Quran di Bulan Ramadhan
- Rukun Puasa Ramadhan
- Hikmah Bulan Ramadhan
- Serba Serbi Ramadhan
Walaupun hukum puasa ramadhan sudah jelas wajib. Namun ada beberapa orang yang diperbolehkan meninggalkan puasa, diantaranya yaitu:
- Anak kecil yang belum baligh. (baca: doa di bulan Ramadhan)
- Orang sakit.
- Musafir (orang berpergian jauh). (baca: Menahan Nafsu di Bulan Ramadhan)
- Wanita hamil, melahirkan dan menyusui.
- Wanita haid atau nifas. (baca:Persiapan Puasa Ramadhan)
- Orang gila.
- Orang berusia lanjut.
- Pekerja keras. (baca: Amalan di Bulan Ramadhan Bagi Wanita Haid)
Orang-orang yang disebutkan pada poin diatas memang diperbolehkan meninggalkan puasa di bulan ramadhan. Tapi hal itu dianggap sebagai hutang dan wajib dibayar setelah ramadhan berakhir.
Waktu Membayar Hutang Puasa Ramadhan
Dari Aisyah radhiyallahu‘anha berkata:
“Dahulu aku memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku bisa mengqadha’nya (karena ada halangan sehingga tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban.” (H.R. Al-Bukhari)
Hadist diatas dijadikan rujukan oleh para ulama bahwa membayar hutang puasa dapat dilakukan mulai dari syawal hingga sya’ban. Yang berarti 11 bulan selain ramadhan. Namun demikian, terdapat hari-hari tertentu yang diharamkan seseorang untuk berpuasa, yakni hari jum’at (kecuali ia sedang puasa daud), hari tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah), hari raya idul adha, dan hari raya idul fitri. (baca: I’tikaf di Bulan Ramadhan)
Meskipun waktu untuk membayar hutang puasa cukup lama (11 bulan) tapi dianjurkan bagi umat muslim untuk sesegera mungkin membayarnya apabila tidak ada udzur. Sebab kita juga tidak tahu seperapa lama umur kita, maka itu sebaiknya jangan menunda-nunda membayar hutang puasa. (Baca juga: Niat puasa ganti ramadhan)
Hukum Belum Membayar Hutang Puasa
“Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Allah SWT tidak pernah membebani hamba-hambanya diluar kemampuan mereka. Bahkan Allah SWT memberikan keringanan bagi orang-orang tertentu untuk meninggalkan puasa ramadhan, dengan syarat ia harus membayarnya di waktu lain. Namun sayangnya, masih banyak orang yang menunda-nunda membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan lagi. Nah, jika sudah begini apa yang harus dilakukan? Berikut ini penjelasan lengkap mengenai hukum belum membayar hutang puasa. (Baca juga: Amalan di bulan ramadhan bagi wanita haid)
- Mengqadha setelah ramadhan berikutnya
Ada beberapa orang yang tidak sempat membayar hutang puasanya dikarenakan udzur tertentu, misalnya sakit parah selama setahun, hamil 9 bulan (tidak dalam masa ramadhan), menyusui, lupa atau hal lain diluar kemampuan, maka ia berkewajiban mengqadha (membayar hutang puasa) setelah ramadhan berikutnya. Imam ibnu Baz rahimahullah pernah menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar hutang puasanya:
“Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnyam hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya”.
Baca juga: Fadhilah di bulan muharram–Keutamaan bersedekah
- Mengqadha tanpa membayar fidyah (Pendapat ulama hanafiyah)
Melakukan perbuatan menunda-nuda dan menyepelekan membayar hutang puasa sangat diperbolehkan. Namun apabila hal ini sudah terlanjur dilakukan, ada beberapa hal yang harus diperbuat:
- Bertaubat kepada Allah SWT dan berusaha tidak mengulangi perbuatan tersebut.
- Menqadha atau membayar hutang puasa setelah ramadhan berakhir. (baca: Hukum Puasa Tanpa Shalat Tarawih)
- Membayar fidyah atau tidak (bergantung pada kepercayaan yang dianut).
Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai membayar fidyah untuk hutang puasa. Para ulama hanafiyah berpendapat bahwa mereka tidak wajib bayar fidyah. Melainkan cukup mengqadha puasa. Imam al-Albani pun juga beranggapan sama. Menurut beliau tidak ada sabda rasulullah Saw yang menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban membayar fidyah. Pendapat ini didasari oleh surat Al-Baqarah ayat 184:
“Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. (QS. Al-aqarah: 184)
Baca juga:
- Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
- Shalat Tahajud di Bulan Ramadhan
- Menu Berbuka Puasa
- Tips Puasa Ramadhan Ala Rasulullah
- Manfaat Takjil
- Mengqhada dan membayar fidyah (pendapat ulama hababilah, syafi’iyah dan malikiyah)
Ulama dari golongan hababilah, syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa seseornag yang belum membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan, maka wajib baginya untuk membayar denda (kaffarah) berupa fidyah atau makanan pokok kepada kaum fakir-miskin. Besar fidyah yang dibayarkan harus disesuaikan dengan jumlah hari ia tidak berpuasa. Dimana sehari besarnya setara 1 mud atau 6 ons.
Baca juga:
- Cukup membayar fidyah
Bagi orang-orang yang hutang puasanya terlampau banyak dikarenakan ia terkena udzur, misalnya hamil atau menyusui selama bulan puasa atau orang berusia lanjut yang lemah, maka menurut ulama mereka diperbolehkan membayar fidyah saja. Tidak perlu mengqadha. Pendapat ini mengacu pada hadist yang berbunyi:
“Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)
Imam Nawawi juga mengatakan: “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (Al-Majmu’: 6-177) (baca: Doa Puasa Ramadhan)
Baca juga:
Ketentuan dan Tata Cara Membayar Fidyah
Membayar fidyah untuk orang-orang yang tidak membayar hutang puasa harus disesuaikan dengan jumlah hari yang ditinggalkan. Fidyah ini bisa berupa makanan pokok, seperti nasi, gandum atau lainnya. Fidyah diberikan kepada kaum fakir miskin yang membutuhkan. Untuk ketentuan besaran fidyah, ada perbedaan pendapat diantara para ulama:
- Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan mayoritas ulama: Fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa)
- Ulama Hanafiyah: Fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha’ gandum. (Jika 1 sha’ sekitar 2,5 atau 3 kg. Maka setengah sha’ berarti sekitar 1,5 kg)
Fidyah tidak boleh diganti dengan pemberian uang. Menurut para ulama, fidyah harus berupa makanan pokok. Sesuai dengan ayat Al-Quran yang berbunyi: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
Baca juga: Cara meningkatkan iman dan taqwa
Sedangkan tata cara pembayaran fidyah ada dua metode yang diperbolehkan ulama. Pertama membayar secara sekaligus, maksudnya semisal hutangnya 10 hari maka dibayarkan kepada 10 fakir miskin. Atau boleh juga 1 orang diberikan 10 fidyah dengan selama 10 hari berturut-turut. Untuk waktu pembayaran fidyah, yakni terhitung setelah puasanya bolong. Misal ia luput 5 hari, maka ia boleh membayar sejak bulan ramadhan, syawal hingga sya’ban.
Demikianlah informasi mengenai hukum belum membayar hutang puasa. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila kita termasuk orang-orang yang lalai dalam membayar hutang puasa maka kita harus memberbanyak amalan istighfar dan hendaklah kita menjalani rukun iman, rukun islam, Iman dalam Islam, menjaga Hubungan Akhlak Dengan Iman Islam dan Ihsan, serta Hubungan Akhlak dengan Iman.