Bepergian tentu sebuah hal yang sering terjadi entah itu untuk keperluan yang mendesak atau rutinitas dan keperluan hiburan seperti untuk berwisata dsb, nah sobat, seperti yang sobat tahu bahwa di hari jumat ialah hari dimana ada kewajiban shalat jum’at bagi kaum lelaki dimana jika bepergian di hari jumat dikhawatirkan akan mengganggu kewajibannya tersebut karena berada dalam perjalanan, Namun tentu semua kembali pada alasan bepergian yang dilakukan ya sobat, oke sobat, untuk lebih jelasnya langsung simak uraiannya berikut saja agar sobat bisa memahami sesuai dalilnya. Hukum Bepergian di Hari Jumat.
1. Pendapat Pertama : Hukumnya Makruh
Syekh Syihabuddin al-Qalyubi menegaskan: “Makruh bepergian di malam Jumat, maksudnya ia melewati batas desa sebelum terbit fajar. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya’ memberi alasan, karena dinyatakan dalam hadits yang sangat dhaif, barang siapa bepergian di malam Jumat, kedua malaikatnya akan mendoakan buruk kepadanya”. (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz.1, hal.401, penerbit Dar al-Kutub al-Imlmiyyah-Lebanon, cetakan kelima tahun 2009).
Nah sobat, dikhawatirkan memang akan membuat kewajiban shalat jumat dan keutamaan shalawat di hari jum’at menjadi terabaikan serta sunnah lainnya dimana hari jumat disunnahkan untuk lebih banyak berdzikir, lebih banyak membaca shalawat dan Qur’an dsb, tentunya jika bepergian justru akan disibukkan dengan urusan bepergiannya tersebut dan melupakan sunnah yang seharusnya bisa dilakukan untuk menambah amal ibadah.
2. Pendapat Kedua : Hukumnya Mubah
Hanya saja, menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Kubra, bila tidak ada tujuan menghindar dari kewajiban Jumat, maka tidak makruh. Pendapat yang kedua ialah boleh, jika memang tidak ada niat untuk meninggalkan shalat jumat sebagaimana hukum tidak shalat jumat karena bekerja, misalnya sudah direncanakan dzikir dan shlawat dilakukan di dalam hati selama dalam perjalanan atau bepergian dimana dzikir memang bisa dilakukan dimana saja dan shalat jumat dilakukan di amsjid terdekat disana sehingga kewajiban dan ibadah sunnah tetap dilakukan tanpa meninggalka urusan beergiannya tersebut.
3. Pendapat Ulama
“Indikasi statemen Imam al-Ghazali dalam kitab al-Khulashah, barangsiapa bepergian di malam Jumat, kedua malaikat mendoakan buruk kepadanya, menuntut hukum makruh bepergian di malam Jumat. Hal ini merupakan pendapat yang unggul bila ada tujuan menghindari kewajiban Jumat sebagaimana makruhnya menjual harta dan keutamaan menunaikan zakat yang telah mencapai satu nishab sebelum genap satu tahun.
Meskipun terdapat perbedaan di antara dua permasalahan tersebut, sebab haul yang menjadi penyebab kewajiban zakat telah belangsung dalam tanggungan muzakki, berbeda dengan permasalahan Jumat (penyebab kewajiban Jumat mulai berlangsung sejak terbitnya fajar, bukan pada malam harinya).
Perbedaan inilah yang mungkin menjadi pola pikir sebagian ulama yang menegaskan tidak ada satu pun dari statemen penganut mazhab Syafi’i yang menunjukan kemakruhan bepergian di sunnah Rasul malam jumat.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz.1, hal.248, cetakan Dar al-Fikr -Lebanon, cetakan tahun 1983). “Barangsiapa bepergian di hari Jumat, malaikat mendoakan buruk kepadanya agar tidak mendapatkan teman di perjalanan.” (HR. Al-Daruquthni).
4. Hari Jumat Boleh Bepergian Asal Berniat Baik dan Tidak Maksiat
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan: “Haram bagi orang yang berkewajiban Jumat, meski ia tidak mengesahkannya, melakukan safar setelah terbitnya fajar hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, misalkan ia menduga tidak dapat melaksanakan Jumat di perjalanan atau tempat tujuan,
baik bepergian yang wajib atau sunah, kecuali ia khawatir tertimpa mudlarat bila tidak bepergian seperti tertinggal dari rekan rombongan, maka tidak haram dalam kondisi tersebut, bahkan meski dilakukan setelah masuk waktu zhuhur selama bukan bepergian makshiat”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.96, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
5. Musafir Tetap Boleh Bepergian di Hari Jumat
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan: “Ucapan Syekh Zainuddin; yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, maksudnya sesuai dengan dugaan musafir. Mengecualikan apabila Jumat tidak tertinggal disebabkan safar, dengan sekira musafir memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya, maka tidak haram bepergian dalam kondisi tersebut karena tujuan syariat yang berupa menemui Jumatan telah tercapai”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.96, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
6. Pendapat Ketiga : Lebih Baik untuk Merencanakan Bepergian di Hari Selain Jumat
Syekh Abu Bakr bin Syatha mengutip Syekh Ali Syibramalisi mengatakan: “Syekh Ali Syibramalisi mengatakan, tidak termasuk dlarar yaitu tradisi bepergian pada waktu tertentu karena tujuan yang tidak gagal dengan hilangnya waktu tersebut. Al-Bujairami mengatakan, seperti rombongan yang hendak bepergian untuk menziarahi maqbarah Syekh Ahmad al-Badawi pada hari kelahirannya di hari Jumat, padahal mereka menemukan rombongan lain yang bepergian di selain hari Jumat”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.96, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).
7. Tidak Boleh Bepergian Mendekati Waktu Shalat Jumat
Dalam madzhab Syafi’i, diharamkan memulai safar pada hari Jum’at setelah waktu zawal (saat matahari tergelincir ke arah barat, karena saat itu sudah masuk waktu shalat Jum’at, -pen). Adapun untuk safar ketaatan yang dilakukan saat itu, salah satu pendapat Syafi’iyah menyatakan haram seperti pendapat Imam Nawawi. Sedangkan pendapat kedua dari Ar Rofi’i mengatakan bolehnya. Adapun safar yang dilakukan sebelum waktu zawal, ada dua pendapat dari Imam Syafi’i. Pendapat beliau yang qodim membolehkan safar saat itu. Sedangkan pendapat beliau yang jadid tidak membolehkan hal tersebut sebagaimana larangan safar setelah zawal.
8. Bepergia Boleh Dilakukan Setelah Melakukan Shalat Jumat
Sedangkan ulama Malikiiyah berpendapat bahwa tidak boleh seorang pun bersafar pada hari Jum’at setelah zawal sampai ia melaksanakan shalat Jum’at. Namun tidak masalah jika ia bersafar sebelum zawal. Namun pendapat yang terpilih adalah sebaiknya tidak bersafar bagi seorang mukim pada hari Jum’at hingga ia menunaikan shalat Jum’at.
9. Tidak Boleh Menjalankan Alat Transportasi Setelah Adzan Jumat
Adapun Imam Abu Hanifah berpendapat masih bolehnya safar pada hari Jum’at secara mutlak. Lihat Zaadul Ma’ad, 1: 370-371. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah ditanya, “Apa hukum bersafar pada hari Jum’at? Apa hukumnya menerbangkan pesawat langsung setelah adzan Jum’at?”
Jawab beliau rahimahullah, “Jika diseru untuk shalat yaitu shalat Jum’at, maka diharamkan untuk bersafar bagi yang wajib Jum’at. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. ” (QS. Al Jumu’ah: 9).
10. Bepergian di Hari Jumat karena Kepentingan Mendesak
Adapun safar sebelum adzan Jum’at, maka asalnya boleh. Sebagian ulama memakruhkannya karena khawatir luput dari keutamaan hari Jum’at. Adapun waktu pesawat take off setelah adzan secara langsung, jika bisa ditunda, maka lebih baik ditunda. Namun jika pesawat tersebut tidak bisa ditunda perjalanannya, maka ketika itu termasuk udzur dan bisa terbang saat itu. Diambil fatwa di atas dari Majmu’
Nah sobat, dari segala pendapat ulama dan dalil di atas dapat diambil kesimpulan :
- Hari jumat adlaah ahri dimana ada kewajiban shalat jumat dan lebih banyak berdzikir serta bershalawat dan membaca Qur’an.
- Bepergian di hari jumat diperbolehkan asal tidak melupakan kewajiban dan sunnah di hari jumat tersebut walaupun ada ulama yang menganjurkan untuk lebih baik mencari hari lain selain jumat untuk bepergian.
- Hari jumat boleh bepergian setelah menjalankan shalat jumat dan dilarang bepergian mendekati adzan jumat dikumandangkan terlebih ketika adzan dikumandangkan tentunya jauh lebih baik untuk menjalankan shalat jumat terlebih dahulu.
- Jika shalat jumat telah selesai dilakukan, bepergian boleh dilakukan.
- Jika keperluan bepergian untuk hal mendesak maka tetap boleh dilakukan, begitu juga dengan musafor, tetap boleh bepergian di hari jumat dan ia bisa menjalankan ibadah shalat jumat d masjid yang dilewatinya.
- Hendaknya tidak meninggalkan shalat jumat karena alasan di perjalanan sebab shalat jumat adalah kewajiban, shalat jumat tetap bisa dilakukan di perjalanan di masjid mana saja yang dilewati.
- Jika ingin mencari aman memang lebih baik untuk tidak beeprgian di hari jumat dan memilih hari lain agar bisa mengisi hari jumat dengan ibadah wajib dan ibadah sunnah yang tentunya jauh lebih bernilai kecuali jika bepergian dilakukan karena hal yang mendesak atau benar benar penting.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, tentunya sobat sekarang sudah memahami bagaimana hukumnya jika ingin bepergian di hari jumat, semoga menjadi wawasan berkualitas untuk sobat semua, Terima kasih sudah membaca, sampai jumpa di artikel berikutnya.