Hukum Dijodohkan dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Setiap pasangan dapat bertemu satu sama lain dan menjadi satu dalam ikatan pernikahan dengan berbagai cara dimana jika memang sudah shalat istikharah dan jodoh, maka Allah akan memberikan segala jalan untuk pertemuan tersebut, salah satu cara seseorang mendapat jodoh ialah dengan dijodohkan dimana hal ini juga tidak sedikit yang mendatangkan keberhasilan walaupun sebelumnya tidak mengenal riwayat atau diri satu sama lain, nah sobat, pada kesempatan kali ini penulis mengulasnya lebih lengkap mengenai Hukum Dijodohkan dalam Islam, berikut selengkapnya.

1. Perjodohan Halal Dilakukan dan Kelanjutan Menjadi Hak Kedua Belah Pihak (Lelaki dan Wanita)

“[4:19] Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Nah sobat, jelas ya bahwa pernikahan harus dilakukan dengan ikhlas di hati keduanya agar tercapai manfaat menikah dalam islam, jika dalam perjodohan ada salah satu pihak yang tidak setuju, maka tidak diperbolehkan dilakukan perbikahan seab bisa merusak arti dari pernikahan itu sendiri.

2. Perjodohan di Masa Rasulullah

Pernikahan melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman Rasul saw pun pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah SAW. Setelah baligh, barulah Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasul SAW. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, seorang sahabat meminta kepada Rasul saw agar dinikahkan dengan seorang Muslimah.

Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan dengan mahar hapalan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Rasul SAW yang menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan dari sahabat laki-laki. Meskipun didasarkan pada permintaan, toh perintah pernikahan datang dari orang lain, yaitu Rasul SAW. Tentu saja dengan persetujuan dari mempelai perempuan sebab ada keutamaan menikah bagi wanita.

3. Wanita dan Lelaki Harus Sama Sama Bersedia dan Ikhlas Menikah

Dalam pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu kepada calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad nikahkan. Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri seperti pergaulan dalam islam bagi suami istri.

Kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).

4. Larangan Menikah karena Paksaan dalam Dijodohkan

  • (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” Jelas bahwa keutamaan menikah dalam islam adalah cinta antara keduanya.

  • (HR. Muslim no. 1421)

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.”

  • (HR. Al-Bukhari no. 5138)

Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.”

5. Larangan Orang Tua Menjodohkan Anaknya dengan Paksaan

  • Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:

Saya memiliki saudara perempuan seayah, kemudian ayah saya menikahkannya dengan laki-laki tanpa keridhaannya dan tanpa meminta pertimbangan kepadanya, padahal dia telah berumur 21 tahun. Ayah saya telah mendatangkan saksi palsu atas akad nikahnya,

bahwa dia (saudari saya) menyetujui akan hal tersebut. Dan ibunya ikut terjerumus menjadi pengganti dia dalam mengadakan akad. Demikianlah, akad pun selesai dalam keadaan saudari saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa hukum akad nikad itu dan persaksian palsu tersebut?

  • Maka beliau rahimahullah menjawab:

Saudari perempuan tersebut, apabila dia masih gadis dan dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengam laki-laki tersebut, sebagian ahlul ilmi berpendapat sahnya nikah tersebut. Dan mereka memandang bahwa sang ayah berhak untuk memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut sekufu’ [1] dengannya. Akan tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwasanya tidak halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih gadis untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’.

  • Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Wanita gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”

  • Ini umum, tidak ada seorang wali pun yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid dalam “Shahih Muslim”:

Wanita gadis, ayahnya harus minta izin kepadanya.”

Hadits ini memberikan nash atas wanita gadis dan nash atas ayahnya. Nash ini, apabila terjadi perselisihan (antara ayah dan putrinya), maka wajib untuk kembali kepada nash ini. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan seseorang memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang haram tidak sah dan tidak pula berlaku.

Sebab pemberlakuan dan pengesahannya bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja yang dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini agar tidak mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan pernikahan tersebut, maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan larangan tersebut serta menjadikam akad tersebut sama dengan

akad nikah yang diperbolehkan oleh Pembuat syariat ini. Ini adalah suatu perkara yang tidak boleh terjadi. Maka berdasarkan pendapat yang rajih ini, perbuatan ayah anda menikahkan putrinya tersebut dengan laki-laki yang tidak disukainya adalah pernikahan yang fasid (rusak), wajib untuk mengkaji ulang akad tersebut di hadapan pihak mahkamah.

  • Adapun bagi saksi palsu, maka dia telah melakukan dosa besar sebagaimana tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?”

  • Kemudian beliau pun menyebutkannya dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk dan mengatakan

Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Maka kami (para shahabat) menjawab: “Tentu ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka kepada orang tua.” Pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk seraya mengatakan: “Ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan persaksian palsu…!” Beliau terus mengulanginya hingga para shahabat mengatakan, “Semoga beliau diam”.

  • [Fatawa Al-Mar’ah]

Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan persaksian palsu. Wajib bagi mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan mengatakan perkataan yang haq (benar), dan hendaknya dia menjelaskan kepada hakim yang resmi bahwa mereka telah melakukan persaksian palsu dan bahwasanya mereka mencabut kembali persaksian tersebut. Demikian juga si ibu, yang mana dia telah terjerumus menggantikan putrinya dengan dusta, dia telah berdosa dengan perbuatan tersebut dan wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali perbuatan yang semisalnya.

  • [Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa’di hal. 349/7]

Tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut.

  • [Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat Asy-Syaikh As-Sa’di hal. 349/7]

Bila ibunya, bibinya (dari jalur ibu), atau saudara perempuannya mengatakan bahwa ia ridha sebelum ia mengatakannya sendiri, maka tidak perlu ada persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya. Kecuali bila dikhawatirkan bahwa saudara laki-lakinya atau walinya ingin memaksanya untuk melakukan pernikahan, maka harus ada persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya.

  • [Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 78

Apabila keadaannya adalah sebagaimana yang disebutkan, maka tidaklah perbuatan penyerahan yang dimaksud sebagai cara menikahkan yang sah, tidak pula wanita itu dianggap sebagai istri bagi pria tersebut hanya dengan sekedar melakukan apa yang anda sebutkan itu, karena tidak lengkapnya syarat-syarat dari akad nikah yang sah.

Nah sobat, memang perjodohan ada positif dan negatifnya, namun tentunya jika yang menjodohkan orang tua InsyaAllah mereka berusaha mencari yang terbaik untuk anaknya, semua kembali kepada kedua anak yang dijodohkan tersebut, jika keduanya setuju maka pernikahan dilaksanakan,

namun jika tidak, maka tidak ada kewajiban bagi keduanya untuk memaksakan diri dimana pernikahan dilakukan dengan jalan keikhlasan, bukan dengan paksaan, perjodohan harus dijalani dengan hati nurani agar menjadi jalan ibadah kepada Allah. Demikian yang dapat disampaikan penulis, semoga menjadi wawasan islami yang bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya ya sobat, terima kasih.

fbWhatsappTwitterLinkedIn