Hukum Hak Asuh Anak Dalam Agama Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perceraian dalam islam adalah sesuatu yang harus dihindari. Hukum Talak Dalam Pernikahan memang diperbolehkan tapi menjadi jalan terakhir ketika tidaka ada lagi solusi yang bisa ditempuh. Ini dikarenakan perceraian menimbulkan banyak mudharat bagi kehidupan rumah tangga. Salah satunya perihal nasib anak. Tentunya keberadaan seorang anak tidak boleh ditelantarkan begitu saja. Walaupun sudah berpisah, orang tua wajib memenuhi hak dan mendidik anak perempuan ataupun laki-lakinya. Sebab bagaimanapun juga anak adalah amanah dari Allah Ta’ala yang harus dijaga. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Perceraian juga kerap menimbulkan masalah perebutan anak. Dimana masing-masing orang tua menginginkan hak asuh penuh atas anaknya. Kondisi tersebut tentunya enggak baik, sebab dapat memicu konflik dalam keluarga serta pertikaian diantara dua belah pihak. Bahkan berisiko terhadap terputusnya silaturahmi. Lalu sebenarnya bagaimana islam memandang tentang hukum hak asuh anak? Berikut ulasannya!

Hukum Hak Asuh Anak

Dalam ilmu fiqih islam, istilah pengasuhan anak dikenal sebagai hadhanah. Kata ini berasal dari kata hadhnu ash-sahbiy atau hadhn yang berarti mengasuh, merawat, memelihara anak. Jika didefinisikan secara terminologis, hadhanah merupakan tindakan mengasuh anak yang masih kecil dan belum mummayiz (usianya kurang dari 12 tahun), yakni anak-anak yang belum bisa membedakan baik-buruk ataupun mengatur dirinya.

Hukum hak asuh dalam islam adalah wajib. Pasalnya anak adalah tanggung jawab orang tua. Mulai dari nafkah, pendidikan, tempat tinggal, perawatan, pengasuhan semuanya harus dipenuhi. Tidak boleh membiarkan anak tanpa penjagaan, terutama anak yang masih kecil yang mana bila ditelantarkan maka bisa membahayakan nasibnya. Tentunya setiap anak butuh seorang wali, baik dari orang tuanya ataupun sanak keluarga. Itu bergantung pada kondisi masing-masing.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menjelaskan bahwa hukum hak asuh anak adalah wajib. Pernyataan tersebut didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadist yang menekankan bahwa jangan sampai nasib anak setelah perceraian terabaikan. Orang tua memiliki kewajiban menjaga anak-anaknya hingga si anak telah menikah.

Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam Diutamakan Ibu

Dalam agama islam, orang yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak adalah ibu. Hal ini dikarenakan ibu adalah sosok yang paling dekat dengan anaknya. Ibulah yang mengandung, menyusui dan merawat anak secara intens. Sehingga kedekatan anak dan ibu cenderung tidak bisa dipisahkan.

Jumhur ulama pun juga berpendapat demikian. Apabila sebuah perceraian meninggalkan seorang anak yang masih kecil, maka hak asuhnya (hadhanah) langsung jatuh pada ibu. Kecuali anak tersebut sudah besar, cukup akal dan bisa membedakan baik dan buruk, maka ia boleh memilih antara ibu atau ayah. Atau kecuali si ibu adalah seorang yang fasik dan berakhlak buruk maka hak asuhnya menjadi tidak berlaku.

Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa wanita yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya, maka ia lebih berhak atas hak asuh anaknya (bila anak dalam usia mummayiz). Menurut Ibnu Abdil Barr, pendapat tersebut telah disetujui oleh mayoritas ulama, baik ulama terdahulu (salaf) ataupun ulama sekarang (khalaf). Keputusan memilih ibu sebagai pemengang utama hak asuh anak juga didasari oleh dalil-dali Al-Quran dan hadist. Diantaranya yaitu:

Pertama adalah kisah yang terjadi pada zaman khalifah Sayyidina Ali ibn Abu Thabil. Pada saat itu terjadi kasus pertikaian suami dan istri yang merebutkan hak asuh anak pasca perceraian. Masing-masing dari mereka sama-sama berkemauan keras ingin menjaga anak. Tak ada yang mau mengalah. Sehingga akhirnya Sayyidina Ali pun turun tangan untuk membantu.

Beliau mengusulkan agar tubuh anaknya dipenggal menjadi dua, dimana satu bagian untuk ibu dan yang lain untuk ayah. Mendengar ide tersebut, si ayah langsung menyetujui. Tetapi si ibu justru menangis dan menolak keras pendapat itu. Si ibu rela anaknya dibawa oleh ayahnya, asalkan tubuh si anak tidak dipenggal. Melihat reaksi kedua orang tua tersebut, Sayyidina Ali pun akhirnya memberikan hak asuh anak kepada ibu, sebab dialah yang mencintai dengan tulus.

Dikisahkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”. Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” (HR. Ahmad, Dawud dan Al-Hakim)

Dari Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya seorang perempuan berkata ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal dia telah memberi manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air minum untuk saya dari sumur Abu Inabah.’ Setelah suaminya datang lalu nabi shallallahualaihi wa sallam bersabda kepada anak itu, ‘Wahai anak ini ibu dan ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di antara keduanya yang kamu sukai, lalu anak itu memegang tangan ibunya dan wanita itu pergi bersama anaknya.” (HR Bukhari Muslim).

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Baqarah: 233)

Berdasarkan KHI (Komplikasi Hukum Islam)

Hukum hak asuh anak juga dijelaskan dalam Komplikasi Hukum Islam (HKI) Indonesia, yakni di pasal 105 dan 156, yang menyebutkan bahwa hak asuh anak yang masih kecil (mummayiz) secara otomatis jatuh pada tangan ibunya. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu dimana si ibu dalam keadaan tidak baik secara mental atau agama, entah mungkin meninggal. Maka hak asuh bisa beralih ke keluarga lainnya.

Bunyi pasal 105 Komplikasi Hukum Islam (KHI), apabila terjadi perceraian maka:

  • Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
  • Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya
  • Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Sedangkan dalam pasal 156 KHI, dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian yakni:

1. Anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

  • wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
  • Ayah;
  • wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
  • Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
  • wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mummayiz (usia diatas 12 tahun) berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Dari penjelasan KHI diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bila terjadi perceraian, maka hak asuh anak yang pertama jatuh pada ibu. Dimana ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah sampai sang anak dewasa dan sanggup mengurus dirinya sendiri. Besar nominal nafkah ini menurut kemampuan ayah atau juga bisa ditetapkan lewat pengadilan.

Selain itu, ibu atau ayah juga bisa kehilangan hak asuh anak apabila melakukan hal-hal yang mengancam keselamatan jasmani dan rohani anak. Misalnya saja:

  • Memiliki kebiasaan yang melanggar agama, misalnya zina, berjudi, mabuk-mabukan, dan sebagainya
  • Kafir atau murtad dari agama
  • Seorang kriminal atau mendapatkan hukuman penjara
  • Memiliki gangguan mental yang berujung pada sikap psikopat
  • Tidak sanggup menjamin kesejahteraan anak
  • Dan sebagainya

Bila hal-hal diatas dilakukan oleh pihak yang mengajukan hak asuh, maka proses pemberian hak asuh perlu dilakukan lewat jalur hukum di pengadilan. Tidak menutup kemungkinan hak asuh anak jatuh pada pihak keluarga lain (bukan ibu atau ayah) yang lebih menjamin terhadap kesejahteraan anak tersebut.

Jadi demikianlah penjelasan tentang hukum hak asuh anak dalam islam. Sebisamungkin usahakan untuk menghindari perceraian agar anak-anak tidak menjadi korban. Kunci rumah tangga bahagia adalah dengan menanamkan nilai-nilai islam, saling pengertian dan mengendalikan ego. Semoga bermanfaat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn