Hukum I’tikaf Bagi Wanita dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

I’tikaf adalah kegiatan dimana seseorang berdiam diri dalam masjid untuk beribadah, bermuhasabah dan melakukan hal-hal lain yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebenarnya i’tikaf ini bisa dilakukan kapan saja. Namun lebih utama pada malam-malam lailatul qadar, yakni 10 hari terakhir pada bulan ramadhan

Dalam hadist shahih dijelaskan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari dan Muslim).

Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada malam-malam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk hukum i’tikaf sendiri menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkadah yakni sunnah yang diutamakan, sebab i’tikaf adalah telah dicontohkan Nabi. Dan sebagai umat islam sudah seharusnya kita menjadikan nabi sebagai suri tauladan.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Baca juga:

Nah, satu hal yang sering jadi pertanyaan bolehkan wanita melakukan i’tikaf di masjid? Berikut ulasannya!

I’tikaf Bagi Wanita Menurut Islam

Menurut mayoritas ulama hukum wanita melakukan i’tikaf di masjid adalah sunnah. Hal ini didasarkan pada hadist yang menjelaskan bahwa istri-istri Rasul juga pernah melakukan i’tikaf.

Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa: “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggalnya.” (Bukhari, Muslim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan shalat Shubuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada ‘Aisyah untuk mendirikan tenda, ‘Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf dalam tenda, ia meminta untuk didirikan tenda, lalu didirikanlah tenda yang lain. Ketika di Shubuh hari lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat banyak tenda, lantas beliau bertanya, “Apa ini?” Beliau lantas diberitahu dan beliau bersabda, “Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?” Beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan beri’tikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. Bukhari)

Baca juga:

Wanita boleh melakukan i’tikaf di masjid asalkan memenuhi 3 syarat, yakni:

  • Mendapatkan izin dari suami

Seorang wanita yang telah menikah adalah tanggung jawab suaminya. Maka itu, saat keluar rumah tentu harus meminta izin kepada suami.

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh bagi seorang perempuan berpuasa sementara suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya. Dan tidak boleh baginya meminta izin di rumahnya kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Musthafa ar-Ruhaibani mengatakan: “Seorang istri diharamkan untuk keluar tanpa izin suami, kecuali karena alasan darurat. Seperti membeli makanan, karena tidak ada yang mengantarkan makanan kepadanya”. (Mathalib Ulin Nuha).

  • Berada dalam keadaan suci (tidak haid atau nifas)

Terdapat perbedaan pendapat tentang hukum wanita haid melakukan i’tikaf di masjid. Namun mayoritas ulama melarang wanita haid memasuki masjid. Ulama mahzab Hanafi dan Maliki memberikan larangan mutlak. Begitupun ulama syafi’i dan hambali mengatakan tidak boleh berdiam diri di masjid kecuali hanya sekedar lewat.

Pendapat tersebut didasari oleh hadist:

Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)

Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi)

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar lewat sampai kalian mandi.” (An Nisaa’ : 43)

Dulu para wanita melakukan i’tikaf. Apabila mereka haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk keluar dari masjid.” (Ibn Qudamah dalam al-Mughni).

Baca juga:

  • Mampu menjaga kehormatan diri

Syarat ketiga untuk wanita yang ingin beri’tikaf harus mampu menjaga kehormatan dirinya. Jangan sampai niat ibadah justru berubah jadi fitnah. Untuk menjaga kehormatan tentunya wanita harus bisa berpakaian sesuai syariat agama, tidak mengenakan perhiasan berlebihan dan menundukkan pandangan.

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur: 31)

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,” (Qs. An-Nuur: 31)

“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” (Qs. Al-Ahzab: 33)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwasahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Baca juga:

Pendapat Ulama Tentang Hukum I’tikaf Bagi Wanita

Berikut ini adalah beberapa pendapat dari para ulama terkait bagaimana hukumnya wanita yang melakukan i’tikaf pada bulan Ramadhan.

  1. Mahzab Syafi’i

Menurut imam Syafi’i hukum wanita beri’tikaf berjamaah di masjid adalah makruh. Yang berarti jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah Ta’ala. Hal ini dikarenakan keluarnya wanita dari rumah berisiko dilihat banyak pria dan memungkinkan timbulnya fitnah.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad)

“Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di pintu-pintu rumahya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya” (HR. Abu Daud)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “shalat jama’ah bagi wanita itu lebih baik dirumahnya daripada mendatangi masjid … Dan shalat wanita di rumahnya itu lebih menutupi dirinya dan lebih afdhol” (Al Majmu’, 4: 198).

  1. Mahzab Hanafiyah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa wanita diperbolehkan i’tikaf di masjid dengan syarat harus didampingi oleh suaminya

  1. Ibnu Hajar

Menurut Ibnu Hajar hukum wanita i’tikaf di masjid diperbolehkan asalkan ia mampu menutupi auratnya dan menjaga pandangan dari laki-laki yang bukan muhrim.

“Jika wanita ingin melaksanakan i’tikaf di masjid, maka hendaklah menutupi diri (dari pandangan laki-laki) Disyaratkan bagi wanita untuk berdiam di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang shalat.” (Fath Al-Bari)

  1. Ibnul Mundzir

Menurut Ibnul Mudzir tentang wanita beri’tikaf di masjid adalah mubah (boleh) asalkan ia telah mendapatkan izin dari suaminya. Istri harus menuruti keputusan suami, sekalipun si istri telah duduk di masjid lalu disuruh pulang, maka istri harus menurutinya.

Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab:

Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).

Baca juga:

Kesimpulannya wanita boleh melakukan i’tikaf berjamaah di masjid asalkan ia mendapatkan izin dari suami dan mampu menjaga kehormatannya. I’tikaf juga harus diniati beribadah kepada Allah Ta’ala bukan sebagai ajang untuk bergosip. Namun demikian, tetap lebih utama bagi wanita untuk tetap berada dalam rumah. Terlebih lagi wanita sebagai istri memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya dan menyiapkan kebutuhan suami. Maka tentu wanita tersebut harus menunaikan kewajibannya terlebih dahulu. Kecuali bila memang senggang maka boleh melakukan i’tikaf di masjid. Bagaimanapun sholat wanita di rumah lebih utama dibandingkan di masjid.

Demikianlah penjelasan tentang hukum i’tikaf bagi wanita. Semoga bermanfaat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn