Hukum Memakai Atribut Natal dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Pernahkan Anda (muslim) mencoba memakai atribut natal? Natal menjadi hari besar bagi umat Nasrani di seluruh dunia. Saat menjelang hari besar ini, tentu berbagai perayaan dan yuforia akan diadakan di setiap daerah, kota, bahkan kantor tempat anda bekerja sekalipun (baca: hari natal menurut islam).

Hal ini membuat pablik sering bertanya, apakah boleh umat islam memakai atribut natal? Bagaimana hukumnya? Berikut mengenai hukum memakai atribut natal dalam islam beserta dalil penjelasannya.

Menggunakan atau memakai atribut (barang atau benda yang digunakan oleh kaum non-muslim) saat perayaan natal menjelang hukumnya adalam makruh dan haram. Memakai atau menggunakan pakaian atau apapun itu di dalam islam diartikan sebagai Tasyabuh yakni menyerupai kaum kafir. Hukum Tasyabuh sendiri adalah makruh dan haram. Lantas, bagaimana hukum mengucapkan natal dan tahun baru dalam islam?

Di sini ada dua pendapat ulama yang mengatakan makruh apabila hanya menggunakan atributnya saja tanpa mengikuti apa yang mereka lakukan.

Namun, di lain sisi ulama berpendapat jika memakai benda atau barang yang sama dengan yang digunakan oleh kaum non-muslim itu hukumnya haram. Hal ini juga diperkuat dengan dalil-dalil baik itu dar mahzab syafiiyyah, malikiyyah, dan hanafiyyah.

Al-Rahibani yang merupakan seorang ulam dari mahzab hanbali menyatakan: “Barang siapa yang menggunakan atau memakai atribut non muslim seperti kaos, topi, salip dan sebagainya itu hukumnya haram”. Hal ini disebabkan keserupaan apa yang mereka kenakan mirip dengan apa yang kaum non-muslim gunakan. Namun, disini bukan berarti kaum muslim telah menyalahi ajarannya (murtad).

Dalam Matalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayah Al-Muntaha, Al- Rahibani menyatakan: “Ucapan para ulama yang berpendapat makruh itu apabila yang digunakan tidak kuat merujuk kesana, misalnya saja menggunakan sabuk di perut, gasper, dan lain sebagainya. Hal ini dianggap tidak serupa secara resmi. Karena banyak umat islam yang melakukan hal tersebut di zaman saat ini tanpa adanya ingkar dalam hal agamanya. Namun pakaian yang khusus untuk mereka (kaum non-muslim) seperti salip, cincin, sorban biru maka hal ini jelas diharamkan”.

Dalam penjelasan di atas, Al-Rahibani membagi keserupaan (Tasyabuh atau Musyabahah) dalam 2 kategori yang bersifat kuat dan lemah. Keserupaan yang kuat dan mengarah ke apa yang dilakukan oleh kaum non-muslim dihukumi sebagai suatu hal yang haram. Namun, jika keserupaan tersebut hanya bersifat lemah tanpa merujuk ke apa yang dilakukan oleh kaum non-muslim maka hal itu dihukumi makruh. Bagaimana tentang larangan merayakan tahun baru?.

Lantas, Bagaimana Jika Hal Tersebut Dilakukan Oleh Seorang Karyawan yang Bekerja di Sebuah Perusahaan dengan Mayoritas Pekerjanya Non-Muslim?

Dalam hal ini seringkali seorang karyawan bertanya: “Apakah boleh seorang kayawan muslim menggunakan atribut natal hanya untuk penunjang pekerjaannya atau hanya untuk menghormati sesama umat beragama lainnya?”

Pertanyaan ini diperjelas dengan pendapat MUI yang mengatakan jika memakai atau mengenakan atribut natal seperti baju, topi, kalung salip, dan lain sebagainya itu hukumnya haram. Dalil keharaman tersebut dijelaskan dalam dua pendapat yaitu:

  1. Mengenakan atribut natal termasuk dalam perbuatan yang menyerupai kaum kafir (Tasyabbuh bil Kuffar).

Di hukumi harap yang mana serupa dengan kaum kafir (Tasyabbuh bil Kuffar) telah didasarkan pada banyak dalil yang menjelaskan mengenai hal itu. Seperti halnya dalil yang berasal dari Rasulullah SAW berikut ini:

Barangsiapa yang berniat menyerupai suatu kaum (non-muslim), maka dia adalah termasuk dalam golongan mereka”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Musnad, Tirmidzi). Menurut Nashoruddin Al-Albani hadist ini merupakan hadist hasan shahih. Hal ini seperti hukum menghadiri pernikahan di gereja.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan menyerupai kaum akfir (Tasyabbuh bil Kuffar) adalah ketika kaum muslim menyerupai apa yang dilakukan oleh kaum kafir. Baik itu dalam hal ibadah, aqidah, adat istiadat, hingga gaya hidup yang mereka lakukan termasuk dalam menggunakan atribut natal seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal ini menunjukan ciri-ciri kekafiran yang telah mereka lakukan. (Imam Shan’ani, Ali Ibrahin Mas’ud). (Baca: sejarah natal menurut islam).

  1. Perbuatan tersebut dilakukan hanya sebagai bentuk partisipasi (Musyarakhah) seorang muslim yang memang sudah diharamkan dalam syari’ah islam.

Bagi seorang muslim yang ikut berpartisipasi (Musyarakkah) dalam merayakan hari raya kaum kafir seperti Natal, Nyepi, Waisak, dan lain-lain, maka hal tersebut juga dihukumi haram. Hal ini diperkuat dengan dalil yang tersumber dari firman Allah  SWT seperti di bawah ini:

“Dan (ciri-ciri hamba Allah SWT) adalah tidak menghadiri atau mempersaksikan kedustaan atau kepalsuan”. (Q.S Al-Furqaan: 25 – 72).

Menurut Imam Ibnu Qayyim yang meriwayatkan penafsiran dari Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, “Bahwasanya kebohongan atau kepalsuaan tersebut diartikan sebagai hari raya kaum musyrik”. Dalam hal ini Ibnu Qayyim berdalil: “ Bahwa haram hukumnya bagi seorang muslim yang turut merayakan (Mumaala’ah), menghadiri (Hudhuur), dan atau memberikan bantuan (Musa’adah) pada hari raya kaum kafir”. (Ibnu Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah).

Berdasarkan penjelasan dalil di atas, maka haram hukumnya bagi seorang karyawan kantor (muslim) mengenakan atau memakai atribut, assesoris natal, atau bahkan hanya mengucapkan selamat kepada mereka (baca: hukum mengucapkan selamat natal dalam islam). Meskipun hal tersebut merupakan bentuk partisipasi yang dilakukan untuk menghormati sesama kaum beragama lain atau untut berturut serta dalam perayaan hari raya bagi kaum kafir tersebut.

Bahkan jika hal tersebut dilakukan untuk mendukung pekerjaan atau profesi yang mereka lakukan. Maka seorang muslim wajib menolak ketentuan yang mewajibkannya menggunakan berbagai asessoris atau atribut natal.

Hal ini dikarenakan islam tidak memperbolehkan kaumnya menaati segala aturan yang dianggap melanggar syari’ah silam. Seperti halnya sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada ketaatan kepada nahkluk (manusia) lain dalam kemaksiaatan kepada Al Khaliq (Allah SWT)”. (HR. Ahmad).

Menurut Beberapa Mahzab

Hukum di dalam memakai atribut natal ataupun assesoris yang berkaitan dengan hal tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hal tersebut adalah haram dan ada pula yang mengatakan hal tersebut hanya bersifat makruh (sebaiknya tidak dilakukan).

Al-Mardawi yang merupakan seorang ulama bermahzab Hanbali menyatakan: “ Pakaian salib adalah haram apabila hal digunakan dalam bentuk kalung yang menempel di dada dan bersifat makruh apabila masih dalam bentuk gambar yang dikenakan di pakaian atau baju. Dalam Al-Inshof fi Makrifat Ar-Rajih Minal Khilaf, Al-Mardawi menyetakan:

Menyerupai orang Nasrani, dengan tetap tidak menyukai mereka dan telah terbebas dari agama mereka (dalam kekhususan agama merek yang bersifat murni) dan memakai baju atau pakain dalam syi’ar mereka seperti salib, maka hal itu adalah haram. Namun adapun jika hal tersebut dijadikan dalam bentuk pakaian ataupun lainnta maka hal tersebut adalah makruh.

Abul Khattab Al-Kalwadzani yang berasal dari mahzab Hanbbali menyatakan dengan lebih tegas bahwa: “Memakai atau mengenakan kalung salib dalam bentuk apapun maka hal itu adalah haram tapi seseorang tidak kufur terhadap agamanya.”

Artinya, barangsiapa yang berhias dengan hiasan ala orang kafir seperti hukum tukar kado dalam islam, menggunakan sabuk ala majusi atau yang biasa dikenal sebagai ikat pinggang khas orang Nasrani, maka hal tersebut dianggap haram namun tidak kafir.

Sedangkan, Ibnu Hajar Al-Asqalani dari mahzab Syafiiyyah menyatakan: “ Apabila seseotrang sholat yang mana di bajunya terdapat gambar salib atau gambar apapun it, maka batal sholatnya dan merupakan suatu yang dilarang.”

Namun, dari pendapat tersebut telah menjadi perdebatan tersendiri. Dimana apabila seseorang melakukan sholat dan di bajunya terdapat gambar ataupun motif salib, maka beberapa ulama belum dapat memastikan apakah hal tersebut batal ataukah tidak.

Beberapa diantara jumhur ulama telah mengatakan apabila gambar tersebut mengarah ke hal tersebut, maka sholat yang telah dilakukan adalah batal. Namun jika tidak, maka tidak batal sholatnya.

Dari dalil tersebut Ibnu Hajar menjelaskan, apabila pakaian tersebut bergambar salib dan digunakan untuk menunaikan sholat, maka hukumnya adalah haram. Namun apabila digunakan di luar sholat maka hukumnya makruh (sebaiknya ditinggalkan). Dan apabila sesuatu tersebut sudah tidak dikenakan lagi, maka hilanglah sifat kemakruhannya.

Dalam penjelasan di atas mengenai hukum memakai atribut natal dalam islam dapat disimpulkan bahwasanya menggunakan atau memakai barang atau benda seperti yang dikenakan oleh kaum Nasrani (non-muslim) hal tersebut adalah haram. Namun, disisi lain ada beebrapa ulama yang berpendapat jika hal tersebut bersifat makruh (sebaiknya ditinggalkan). Untuk memperdalam wawasan baca juga sejarah natal menurut islam.

Namun, Mejelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mempermudahkan pemahaman masyarakat mengenau haram ataukah tidaknya jika mengenakan atau memakai atribut natal. Maka pihak MUI sendiri menegaskan bahwa penggunaan atribut non-muslim di hari natal maka hukumnya adalah haram. Wallahua’lam bishowaff.

fbWhatsappTwitterLinkedIn