Peristiwa pembakaran bendera bertuliskan dua kalimat syahadat pada perayaan Hari Santri Nasional di Garut, Jawa Barat, 22 Oktober 2018, menimbulkan polemik di sejumlah kalangan umat Islam.
Dengan membakar berarti mereka telah masuk jebakan dan sangat sulit untuk membela mereka jika benar-benar mereka terjebak. Lalu bagaimana Hukum Membakar Bendera Tauhid?
Pertama, perlu kita bedakan antara kalimat tauhid dengan bendera kalimat tauhid. Menolak kalimat tauhid adalah kekufuran. Allah berfirman menceritakan kelakuan penduduk neraka,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. (QS. as-Shaffat: 35)
Mereka menyombongkan diri dalam arti tidak mau menerimanya.
Kedua, ada kalimat tauhid dan ada bendera bertuliskan tauhid
Bendera itu adalah simbol bagi pemiliknya. Bendera merah putih, simbol bagi bangsa Indonesia. Sehingga melecehkan bendera, adalah melecehkan pemiliknya. Baca juga Amalan Masuk Surga Tanpa Dihisab
Kalaupun yang dilakukan salah satu pihak bukan melecehkan laa ilaaha illallah… lantas bolehkah kita melecehkan bendera yang bertuliskan laa ilaaha illallah?
Ketiga, antara alasan dan perbuatan
GP anshar memberikan alasan bahwa membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid itu dalam rangka untuk memuliakan kalimat tauhid.
Kita mengakui bahwa menurut Syafiiyah dan Malikiyah, salah satu diantara cara untuk mengamankan nama Allah yang tercecer adalah dengan membakarnya, kemudian abunya dikubur di tempat yang aman. Baca juga Hukum Reksadana dalam Islam
Tindakan ini meniru yang dilakukan oleh Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu, setelah beliau menerbitkan mushaf induk ‘Al-Imam’, beliau memerintahkan untuk membakar semua catatan mushaf yang dimiliki semua sahabat. Semua ini dilakukan Utsman untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam yang tidak memahami perbedaan cara bacaan Alquran.
Salah satu saksi sejarah, Mus’ab bin Sa’d mengatakan,
أدركت الناس متوافرين حين حرق عثمان المصاحف ، فأعجبهم ذلك ، لم ينكر ذلك منهم أحد
“Ketika Utsman membakar mushaf, saya menjumpai banyak sahabat dan sikap Utsman membuat mereka heran. Namun tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.” (HR. Abu Bakar bin Abi Daud, dalam al-Mashahif, hlm. 41).
Diantara tujuan membakar Alquran yang sudah usang adalah untuk mengamankan firman Allah dan nama Dzat Yang Maha Agung dari sikap yang tidak selayaknya dilakukan, seperti diinjak, dibuang di tempat sampah atau yang lainnya.
وفى أمر عثمان بتحريق الصحف والمصاحف حين جمع القرآن جواز تحريق الكتب التي فيها أسماء الله تعالى ، وأن ذلك إكرام لها ، وصيانة من الوطء بالأقدام ، وطرحها في ضياع من الأرض
Perintah Utsman untuk membakar kertas mushaf ketika beliau mengumpulkan Alquran, menunjukkan bolehnya membakar kitab yang disitu tertulis nama-nama Allah ta’ala. Dan itu sebagai bentuk memuliakan nama Allah dan menjaganya agar tidak terinjak kaki atau terbuang sia-sia di tanah (Syarh Shahih Bukhari, 10/226) Baca juga Pahala Merawat Anak Menurut Islam
As-Suyuti menjelaskan,
وإن أحرقها بالنار فلا بأس ، أحرق عثمان مصاحف كان فيها آيات وقراءات منسوخة ولم ينكر عليه
“…jika dibakar dengan api, hukumnya boleh. Utsman membakar mushaf yang ada tulisan ayat Alquran dan ayat yang telah dinasakh (dihapus), dan tidak ada yang mengingkari beliau (al-Itqan fi Ulum Alquran, 2:459).
Namun semua masyarakat bisa menilai, beda alasan dengan perbuatan. Semoga Allah melindungi dari sifat kekufuran, baik yang dilakukan secara diam-diam maupun terang-terangan.