Hukum Membayar Fidyah bagi Orang yang Sudah Meninggal

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Melaksanakan puasa tanpa adanya hari bolong tentu jadi kebahagiaan sendiri. Akan ada rasa nikmat juga dalam menyambut hari kemenangan Idul fitri. Tapi ada juga sebagian orang yang terpaksa berhalangan untuk menjalankan ibadah puasa yang penuh. Misalnya karena sakit, hamil, menyusui haid ataupun nifas.

hadis mauquf dari sahabat Ibnu ‘Abbas sebagai berikut:

لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ ، وَلاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

Artinya: “Seseorang tidak dapat shalat atas ganti shalat orang lain dan tidak dapat puasa atas ganti puasa orang lain, tetapi ia dapat memberi makan atas ganti (shalat atau puasa) orang lain, setiap hari satu mud dari gandum”. (HR. An-Nasa’i).

Orang yang tidak bisa menjalankan puas perlu menggantinya. Ketika bulan ramadhan telah berakhir. Bahkan orang yng meninggal dunia pun saat ramadhan pun membayar ganti yang dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan.

Sebab puasa ramadhan merupakan ibadah untuk Allah dan jangan ditinggalkan. Maka dianggap sebagai utang kepada Allah SWT. Jika kamu tidak menbayar selama di dunia makan akan ditagih di akhirat kelak. Bagaimana cara membayar fidyah untuk orang yang sudah meninggal dunia? Seperti apa ketentuannya?

Mungkin kamu pernah menemukan kejadian seseorang tidak sempat membayar fidyah karena ia sudah meninggal dunia. Hal ini bisa sangat terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita.

kitab Fath al-Mu’in:  

(فائدة) من مات وعليه صلاة، فلا قضاء، ولا فدية. وفي قول – كجمع مجتهدين – أنها تقضى عنه، لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه، ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي – إن خلف تركه – أن يصلي عنه، كالصوم.   وفي وجه – عليه كثيرون من أصحابنا – أنه يطعم عن كل صلاة مدا. وقال المحب الطبري: يصل للميت كل عبادة تفعل عنه: واجبة أو مندوبة. وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة أن للانسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله.  

“Faidah. Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki tanggungan shalat, ia tidak wajib mengqadha’ dan membayar fidyah (atas shalat tersebut). Sedangkan menurut sebagian pendapat—seperti sekelompok mujtahid—shalat tersebut diqadha’i, berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan lainnya. Pendapat ini juga dipilih oleh para imam mazhab kita (Syafi’i) dan Imam as-Subki melakukan hal ini pada sebagian kerabatnya. Imam Ibnu Burhan menukil dari qaul qadim bahwa wajib bagi wali untuk menshalati atas shalat yang mayit tinggalkan, jika memang mayit meninggalkan harta tirkah (warisan). 

Jika almarhum meninggal sebelum datang ramadhan berikut makan setiap hari utang puasanya dibayar sebanyak satu mud kepada orang miskin. Tetapi jika almarhum meninggal setelah ramadhan berikutnya tiba mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat yaitu:

1. Walinya Wajib Membayar Dua Musim Atas Hutang Perharinya

Dengan rincian satu muda sebagai fidyah puasa dan satu mud lagi atas penundaan qadha puasanya.

kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:  

{فرع} لو مات وعليه صلاة أو اعتكاف لم يفعلهما عنه وليه ولا يسقط عنه بالفدية صلاة ولا اعتكاف   * هذا هو المشهور في المذهب والمعروف من نصوص الشافعي في الام وغيره ونقل البويطي عن الشافعي أنه قال في الاعتكاف يعتكف عنه وليه وفى وراية يطعم عنه قال البغوي ولا يبعد تخريج هذا في الصلاة فيطعم عن كل صلاة مد  

“Jika seseorang meninggal dan ia memiliki tanggungan shalat atau i’tikaf yang belum ia lakukan, maka pihak wali mayit tidak dapat melakukan kedua ibadah tersebut atas ganti mayit, dan membayar fidyah pun tidak menggugugurkan tanggungan shalat dan i’tikaf mayit. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i dan pandangan yang terkenal dalam nash Imam as-Syafi’i dalam kitab al-Um dan kitab yang lain. 

2. Wali Cukup Membayar Fidyah Sebanyak Satu Mud

Karena penundaan qadha puasanya karena ketika seseorang mengeluarkan satu mud atas penundaan makan dengan sendirinya hilang kelalaian tersebut. Dengan demikian kasus serupa dengan orang yang merupakan menunda puasanya tanpa kelalaian dan tidak wajib kafarah padanya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram atau setara dengan 6,75 ons beras. Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat perihal seseorang yang meninggal dan belum sempat mengqadha utang puasanya baik dengan maupun tanpa uzur. Berikut pendapat mazhab Syafi’i:

  • Pandangan Paling Masyhur dan Shahih

Mayoritas ulama serta manshuh pada qaul jadid wajib dibayarkan fidyah satu mud yang di ambil dari peninggalan almarhum. Puasa yang di lakukan walinya tidak sah.

Pandangan ini dipegang oleh Al-qadhu abu thayyib dalam kitab kal-mujrrad.

  • Pandangan Qadim

Pandangan ini shahih menurut beberapa ulama terkemuka mazhab Syafi’i. Pandangan ini bisa menjadi alternatif. Wali almarhum diperkenankan berpuasa untuk membayar hutang almarhum. Puasanya juga dianggap sah. Tetapi boleh juga hutang puasa dibayar dengan fidyah. Dan bebas tanggungan almarhum.

Pembayaran puasa almarhum yang dipilihkan oleh walinya. Argumentasi terhadap dua pendapat ini terdapat di dalam kitab. Kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:  

ذهب جمهور الفقهاء ” المالكيّة والشّافعيّة والحنابلة ” إلى أنّ الصّلاة لا تسقط عن الميّت بالإطعام. وذهب الحنفيّة إلى أنّه إذا مات المريض ولم يقدر على أداء الصّلاة بالإيماء برأسه لا يلزمه الإيصاء بها.   أمّا إذا كان قادراً على الصّلاة ولو بالإيماء وفاتته الصّلاة بغير عذر لزمه الإيصاء بالكفّارة عنها ، فيخرج عنه وليّه من ثلث التّركة لكلّ صلاة مفروضة ، وكذا الوتر لأنّه فرض عمليّ عند أبي حنيفة.   وقد ورد النّصّ في الصّيام ، وهو قوله صلى الله عليه وسلم : « ولكن يطعم عنه » والصّلاة كالصّيام باستحسان المشايخ لكونها أهمّ.   والصّحيح : اعتبار كلّ صلاة بصوم يوم ، فيكون على كلّ صلاة فدية ، وهي نصف صاع من برّ أو دقيقه أو سويقه ، أو صاع تمر أو زبيب أو شعير أو قيمته ، وهي أفضل لتنوّع حاجات الفقير. وإن لم يوص وتبرّع عنه وليّه أو أجنبيّ جاز إن شاء اللّه تعالى عند محمّد بن الحسن وحده لأنّه قال في تبرّع الوارث بالإطعام في الصّوم يجزيه إن شاء اللّه تعالى من غير جزم. وفي إيصائه به جزم الحنفيّة بالإجزاء  

“Mayoritas ulama fiqih (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah) berpandangan bahwa shalat tidak gugur atas mayit dengan memberi makan  (pada orang lain). Sedangkan ulama mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa ketika orang yang sakit meninggal, dan ia sebelumnya tidak mampu untuk melaksanakan shalat dengan berisyarat dengan kepalanya, maka ia tidak wajib untuk mewasiatkan tentang shalat yang tertinggal tersebut. 

Bisa disimpulkan bahwa orang yang memiliki hutang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum melunasinya makan bisa ditempuh dengan dua cara puasa yaitu:

  • Membayar hutang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa.
  • Menunaikan fidyah.

Lafal niat membayarkan puasa orang yang sudah meninggal berbeda dengan membayar puasa untuk dirinya sendiri. Perbedaannya ada pada penyebutan na orang yang telah meninggal dunia tersebut dalam niatnya yaitu:

“Nawaitu shouma ghodin ‘an qodhoo i fardho romadhoona (menyebutkan nama orang meninggal yang akan kamu gantikan puasanya) lillahi ta’ala.”

fbWhatsappTwitterLinkedIn