Bagaimana Islam Menjawab: Hukum Meminjam Uang Di Bank Karena Terpaksa

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Banyak orang yang masih penasaran bagaimana hukum pinjam uang di bank menurut islam. Apakah haram atau tidak?

didasarkan pada firman Allah:

… وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ … [البقرة، 2: 279].

“… Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu …” [QS. al-Baqarah (2): 179].

Ustadz adi hidayat menjelaskan kebenaran mengenai hukum meminjam uang di bank yang katanya haram. Meminjam uang di bank memang mengundang kekhawatiran bagi sebagian besar orang. Karena bank dipercaya sebagai tempat riba.

Hal ini dikarenakan kebanyakan bank menerapkan sistem bunga yang disinyalir sebagai bentuk ribah. Namun benarkah anggapan yang menyatakan bahwa meminjam uang di bank adalah riba dan hukumnya haram?

Ustads Adi hidayat mencontohkan pinjaman yang sesuai syariat islam pada sebuah bank syariah. Misalnya ada bank syariah dengan ketentuan syariah.

Pinjam meminjam itu diatur utang piutang itu juga ada. Ada aturannya. Ustadz Adi hidayat juga menjelaskan bahwa sananya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya juga pernah meminjam uang.

Namun hal itu tidak menimbulkan dosa. Karena sesuai dengan aturan dalam islam Nabi Muhammad SAW pernah meminjam uang dan dikembalikan dalam pinjaman. Ketahui pula rukun hutang piutang dalam islam sesuai firman Allah SWT.

Hindari Meminjam dari Bank

Upayakan untuk tidak meminjam uang dari bank konvensional. Khususnya kalau bukan karena kondisi yang darurat. Misalnya hindari hutang ke bank kalau hanya sekedar untuk membeli barang-barang konsumtif atau sekedar menaikkan gengsi karena pergaulan.

Begitupun dalam hadis juga melarang riba:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (H.R Muslim)

Karena meski ada pendapat yang mengatakan boleh namun pada dasarnya berhutang itu pekerjaan yang kurang mulia. Selain itu demi kehati-hatian dalam bertindak. Demi menghindari resiko dari hal-hal yang tidak di inginkan.

Setiap orang punya latar belakang dan keadaan yang berbeda-beda. Kadang ada yang bisa bertahan tidak bermuamalah dengan bank, namun kadang hal itu memang tidak bisa dihindari bagi sebagian orang. Lalu apa upaya maksimal yang bisa dipilih?

Bila Terpaksa Menggunakan Bank

Setiap orang punya latar belakang dan keadaan yang berbeda-beda. Kadang ada yang bisa bertahan tidak beemuamalah dengan bank namun kadang hal itu memang tidak bisa di hindari bagi sebagian orang. Ketahui pula bahwa ada syarat kredit tanpa riba dalam islam yang diperbolehkan dan aman. Lalu apa upayakan yang maksimal yang bisa di pilih?

1. Bank Konvensional

Masih eksis kalau kita perhatikan secara sekilas meski banyak bank syariah sudah banyak bermunculan. Namun bank-bank konvensional yang sudah eksis sebelumnya tetap masih beroperasi dan tidak lantas mati atau gulung tikar.

Bangsa Indonesia yang nota bener mayoritas muslim dan punya kesadaran beragama tinggi khususnya dalam menghindari riba. Ternyata tidak serta merata meninggalkan bank konvensional.

Dalil diharamkannya riba adalah surah al- Baqarah :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S Al- Baqarah ayat 275)

2. Utamakan Bank Syariah

Kalaupun terpaksa harus meminjam dari bank maka yang lebih baik adalah meminjam dari bank syariah. Walaupun barangkali nilainya lebih mahal.

Walaupun ada sementara kalangan yang menganggap bank syariah tidak ada bedanya dengan Bank konvensional. Namun biar bagaimanapun tetap ada kalangan ulama yang menjamin nya masih sejalan dengan syariah. Tindakan ini di maksudkan Agar tidak terkena resiko dosa riba yang di haramkan.

3. Bank Konvensional Upaya Terakhir

Meski suatu Bank masih terbilang konvensional dan belum berstatys syariah namun bukan berarti semua praktek keuangannya di tanggung pasti 100% selalu riba. Keadaan yang sebenarnya tentu tidak demikian.

Kalau ada kesan seperti itu memang wajar karena dilawan kan dengan istilah Bank syariah. Pernyataan Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutip oleh As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzab lengkapnya sebagaimana berikut:

“Saya bersaksi, sesungguhnya akad salam ditanggung sampai waktu jatuh tempo yang telah ditentukan dan dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya. Kemudian, Allah Ta’ala berfirman Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya,” (Ibrahim As-Syirazi, Al-Muhadzab, [DKI], juz 2, hal. 71).

4. Bank Konvensional : Tidak Makan Bunga

Kalaupun terpaksa bermualat dengan Bank konvensional maka upayakan posisinya bukan sebagai peminjam. Melainkan sebagai yang menabung atau menyimpan uang. Ada dua alasan melatarbelakangi:

  1. Ada pendapat yang masih menghalalkan untuk menitipkan uang di bank konvensional, sebagaimana pendapat para ulama di Darul Ifta’ Al-Mishriyah dan juga di Al-Azhar Mesir
  2. Kalau pun ada yang berpendapat bahwa bunga dari tabungan itu sebagai riba juga, maka setidaknya tidak usah kita makan.

5. Membersihkan Bunga

Untuk itu kita bisa melakukan pembuangan bunga yang haram itu dengan cara menyalurkan untuk kepentingan publik atau disedekahkan secara umum. Dan dengan demikian itu menjadi salah satu cara membersihkan harta riba yang lebih baik lagi.

Kelompok kedua mengatakan bahwa bunga bank hukumnya adalah boleh dan bukan termasuk bahaya riba. Kelompok ini dipelopori oleh Syekh Ali Jum’ah, Sayyid Thanthawi dan Mahmud Syaltut.  Pendapat ini juga sesuai dengan Majma’ al-Buhuts al- Islamiyyah :

إِنَّ اسْتِثْمَارَ الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ

“Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang sudah menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya adalah halal menurut syariat dan tidak apa-apa.” (Fatwa Majma’ al-Buhuts al- Islamiyyah. Terbit 23 Ramadhan 1423 H)

fbWhatsappTwitterLinkedIn