Hukum Memutuskan Harapan dalam Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Selain menjaga hubungan dengan Allah, Islam juga mengajarkan untuk selalu menjaga hubungan dengan sesama manusia. Hubungan ini biasa disebut dengan Hablum minannas.

Sebagai seorang manusia, kita memang diharapkan untuk selalu menggantungkan harapan hanya pada Allah SWT. Namun sebagai sesama manusia, kita juga hendaknya harus mendukung seseorang yang sedang berusaha meraih mimpinya yang baik.

Misalnya saja ketika seseorang sedang hijrah untuk menjadi yang lebih baik, maka janganlah kita memutuskan harapannya untuk mendapatkan ampunan dari Allah. Hukum memutuskan harapan dalam islam adalah dilarang. Hendaknya kita selalu saling mendukung dalam kebaikan.

Baca juga:

Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata bahwa Nabi SAW pernah bersabda;

الفاجر الراجي رحمة الله تعالى اقرب الى الله تعالى من العابد المقنط

“Orang yang jahat namun senantiasa mengharap rahmat Allah, itu lebih dekat dengan Allah dibanding orang yang senantiasa beribadah namun membuat orang lain berputus asa dari rahmat-Nya.”

Terdapat beberapa cerita yang menunjukkan bahwa memutuskan harapan seseorang merupakan perbuatan yang tercela dan dibenci Allah.

Diceritakan pada zaman dahulu ada seorang hamba yang ahli ibadah, akan tetapi dia selalu memutuskan harapan seseorang dari rahmat Allah SWT. Pada saat dia telah meninggal dunia, dia menghadap Allah lalu bertanya: Wahai Tuhanku, balasan apakah yang pantas buatku?. Lalu Allah menjawab: Hadiah untukmu adalah neraka.

Kemudian si hamba itu kembali bertanya : Lalu kemanakah pahala ibadahku selama aku masih hidup?. Allah menjawab : Dulu ketika masih hidup kamu senantiasa memutuskan harapan seseorang dari rahmatKu, maka sekarang, Akupun memutuskan harapanmu dari RahmatKu

Baca juga:

Dalam kitab ‘Hayaatu Al-Aimmati, karangan Syaikh Muhammad Al-Jamal, terdapat sebuah cerita lain.

Kegigihan Imam Ahmad bin Hambal dalam menuntut ilmu sudah menjadi rahasia umum. Di manapun lokasinya, ketika beliau mendengar ada sumber ilmu di daerah tersebut, maka beliau akan bergegas untuk mendatanginya, demi mendapatkan ilmu, meski harus mengorbankan banyak hal, termasuk dirinya sendiri.

Misal, sewaktu Imam Ahmad pergi ke Yaman untuk mencari ilmu, ternyata bekalnya habis, akhirnya diapun menyewakan dirinya kepada tukang onta agar dapat pergi menemui Gubernur Shan’a.

Padahal teman-temannya telah menawarkan binatang tunggangan untuknya, namun dia tidak mau menerima satu pun tawaran dari mereka.

Suatu ketika, Imam Ahmad mendapat informasi bahwa ada seseorang yang tinggal di negeri yang sangat jauh, dan dia meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.

Mendapat berita itu, tanpa pikir panjang, beliau langsung bergegas menuju alamat yang diterima.
Sesampainya di lokasi yang dituju, beliau langsung memfokuskan diri mencari sosok perawi hadits yang dimaksud. Tak lama berselang, sosok yang dicari-caripun ketemu. Dan saat itu, dia (si perawi) nampak tengah memberi makan seekor anjing.

Imam Ahmad memberi salam kepadanya. Yang diberi salampun menjawab salam dengan sempurna. Meski demikian, sedikitpun ia tak menoleh kepada Imam Ahmad. Ia masih sibuk memberikan makan kepada anjing yang ada di hadapannya.

Setelah selesai memberi makan anjingnya, barulah sang perawi hadits mengalihkan diri kepada Imam Ahmad. Kepada sang Imam, beliau berucap, “Barangkali Anda mempertanyakan kepada diri Anda, mengapa aku mengurus anjing ini?,” tanyanya.

“Iya,” jawab Imam Ahmad singkat.

Mendengar jawaban dari Imam Ahmad, si perawi hadits pun langsung mengurai alasannya dengan menyetir satu hadits.

Ucapnya, “Berkata padaku Abu Ziyad dari A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Barangsiapa yang memutuskan harapan orang yang mengharap kepadanya, maka Allah akan memutuskan harapan orang itu pada hari Kiamat dan dia sekali-sekali tidak akan masuk surga,” ucap beliau meriwayatkan sebuah hadits kepada Imam Ahmad bin Hambal.

“Anjing ini”, lanjutnya kemudian, “Telah datang menemuiku, karena itu aku takut memutuskan harapannya kepadaku.”

Mendengar penjelasan yang demikian, Imam Ahmad langsung berkata, “Cukuplah bagiku hadits satu ini,” dan beliaupun langsung kembali pulang.

Baca juga:

Maka dari itu, jika seseorang datang kepada kita dan menceritakan tentang harapannya, hendaknya kita bisa terus menyemangatinya dalam kebaikan. Meski hukum memutuskan harapan dalam islam itu dilarang, namun ingatlah untuk mengingatkannya untuk tetap menggantungkan harapan hanya pada Allah SWT.

Allah ta’ala  berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’ [17]: 57)

Allah ta’ala kembali berfirman,

إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf [12]: 87)

Ibrahim ‘alaihissalam berkata,

وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

“Tidak ada yang orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr [15]: 56)

Baca juga:

Itulah pembahasan mengenai hukum memutuskan harapan dalam islam. Sungguh sebagai sesama hamba Allah, maka sudah seharusnya kita hanya menggantungkan harapan pada Allah dan saling menyemangati dalam kebaikan. Demikianlah artikel yang singkat ini. Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua dan menambah keimanan kita. Aamiin.

fbWhatsappTwitterLinkedIn