Hukum Menikah Tanpa Restu Orang Tua

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Keutamaan menikah adalah sesuatu yang menjadi wajib bagi yang telah mampu dari segi usia atau dari segi kemampuan ya sobat, menikah dapat menjadi jalan pahala dan jalan untuk berbuat kebaikan yang banyak serta menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah karena menikah dapat menjauhkan dari maksiat dan zina.

Nah sobat, dalam kenyataannya, menikah tidak semudah itu dilakukan oleh sebagian orang yang diantaranya terjadi karena halangan restu orang tua, umumnya nih sobat, orang tua yang tidak setuju anaknya menikah dengan seseorang itu terjadi karena hal berikut.

  • Calon menantu dianggap tidak bisa menjadi istri atau suami yang baik atau tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupi anaknya atau melakukan pekerjaan rumah tangga misalnya pada pernikahan dini.
  • Calon menantu dianggap tidak memiliki karakter yang baik, tidak memiliki sifat yang baik, dan tidak pantas untuk menjadi seorang suami atau istri karena sifatnya yang buruk tersebut.
  • Calon menantu beda dalam hal status baik itu agama, harta, jabatan, dsb.
  • Orang tua memiliki kriteria khusus untuk anaknya padahal anaknya juga memiliki kriteria khusus tentang calon suami attau istrinya yang berbeda dari orang tuanya.

Nah sobat, dari beragam alasan tersebut, sebenarnya orang tua itu menginginkan yang terbaik untuk anaknya ya sobat namun tentunya tak boleh melakukan kejahatan orang tua terhadap anak, sebab orang tua tentu berharap anaknya memiliki kehidupan yang bahagia setelah menikah, bukan sebaliknya, hidup susah setelah menikah. Nah sobat, islam, punya pandangan sendiri mengenai hal ini, yuk simak selengkapnya, Hukum Menikah Tanpa Restu Orang Tua.

Sebelumnya sobat pahami dulu rukun nikah berikut ini, “Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa rukun nikah dalam islam itu ada lima yaitu, shigat, mempelai pria, mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali,” (lihat Wizaratul Awqaf was Syu`un Al-Islamiyyah-Kuwait, Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz xxxxi, halaman 233)

Masalah ini bisa sobat bedakan dari dua sisi.

  • Pertama, dilihat dari sisi akhlaq.
  • Kedua, dilihat dari sisi hukum hitam putih.

Secara fiqih pernikahan dan akhlaq, sungguh merupakan sebuah tindakan yang amat menyakitkan, bila seorang anak melakukan tindakan yang tidak berkenan di hati orang tua. Apalagi bila tindakan itu sebuah pernikahan. Secara akhlaq, tidak pada tempatnya seorang anak yang sejak kecil dilahirkan, diasuh, dijaga, dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya, dengan sepenuh hati, berkorban jiwa raga, tiba-tiba melakukan hal-hal yang membuat orang tua sakit hati. Atau malah mengecawakannya.

Dari sisi akhlaq, anak yang tega menyakiti atau menentang kehendak orang tuanya adalah anak yang durhaka, tidak tahu balas budi dan kurang ajar. Buat apa sejak kecil diurusi, kalau setelah besar tidak mau hormat dan menjaga perasaan orang tua? Kemudian seenaknya mau mengatur diri sendiri, sampai menikah tanpa mendapat restu dan ridha dari orang tuanya.

Anak yang begini kelakuannya, hingga menyakiti hati orang tuanya, boleh dibilang akan sengsara hidupnya. Jalannya akan tidak lurus, kehidupannya akan sepi dari keberkahan, meski sekilas hartanya berlimpah, rumahnya bertingkat, gajinya berlipat, mobilnya mengkilat, badannya sehat.

Tapi kalau dengan orang tua kualat, jiwanya akan sekarat, jalannya akan sesat, hidup jadi tidak nikmat, tidak punya semangat. Baik anak laki-laki atau pun perempuan, sebisa mungkin jangan sampai menikah tanpa restu dan ridha orang tua. Sebab kalau untuk membalas jasanya tidak mampu sobat lakukan, paling tidak sekedar tidak menyakiti hati mereka, sudah merupakan nilai tersendiri.

  • Pernikahan Tidak Sah Secara Hukum

Dari Sudut Pandang Hukum Sedangkan bila sobat lepaskan masalah bakti atau kualat dengan orang tua, bila ada seorang laki-laki menikah, memang tidak memerlukan peran orang tuanya sebagai wali. Sebab pernikahan seorang laki-laki memang tidak membutuhkan wali.

Sebaliknya, seorang wanita tidak boleh menikahkan diri sendiri. Yang menikahkannya harus ayah kandungnya sebagai wali. Dirinya sendiri justru tidak punya peran apa-apa dalam akad nikah, sehingga kalau pun tidak hadir dalam pernikahannya sendiri, secara hukum nikahnya tetap sah. Maka seorang wanita yang menikah tanpa izin, restu dan ridha dari ayah kandungnya, secara hukum nikahnya tidak sah, selain itu dia juga mendapatkan dosa atas ulahnya yang kualat terhadap orang tuanya.

Solusi Menurut Islam

Seharusnya para wali segera mengawinkan putri-putrinya apabila dipinang oleh laki-laki yang setara, apalagi jika mereka juga ridha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. “Artinya : Apabila datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya untuk meminang (putrimu) makan kawinkanlah ia, sebab jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan malapetaka yang sangat besar

[Riwayat At-Turmudzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini adalah hadits Mursal, namun ada hadits lain sebagai syahidnya diriwayatkan oleh At-Turmudzi] Dan tidak boleh menghalangi mereka menikah karena supaya menikah dengan lelaki lain dari anak pamannya atau lainnya yang tidak mereka suka,

ataupun karena ingin mendapat harta kekayaan yang lebih banyak, ataupun karena untuk tujuan-tujuan murahan lainnya yang tidak dibenarkan oleh syari’at Allah dan Rasul-Nya. “Jika datang kepada kamu orang yang engkau sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar.” (HR. Tirmizi, no. 1084)

Hukum Menikah Tanpa Restu Orang Tua, Siapa yang Berdosa Dilihat dari Alasannya

  1. Dari Khonsa binti Khazam Al-Anshori, bahwa ayahnya menikahkannya saat dia sedang menjanda, sedangkan dia tidak menyukainya. Kemudian dia mendatangi Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, maka nikahnya ditolak. (HR. Bukhori, no.  4845)
  2. “Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, seorang gadis mendatangi Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Dia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya sedangkan dirinya tidak menyukainya. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (menerima atau menolaknya).” (HR. Abu Daud, no. 2096, dan dishahihkan oleh Al-Albany)
  3. Sejumlah ulama berpendapat bahwa wanita kalau dinikahkan tanpa kerelaan, maka akadnya tergantung persetujuan wanita. Kalau dia setuju, akadnya sah. Kalau tidak setuju, maka dia berhak membatalkan akad nikah. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan riwayat dari Imam Ahmad. Silakan lihat Al-Mughni, 7/364, Fathul Bari, 9/194.
  4. Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam masalah orang tua yang memaksakan menikahkan anak wanitanya berkata, “Pemaksaan orang tua kepada anak wanitanya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak ingin dia menikah dengannya adalah haram. Dan kalau haram, berarti tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan. Karena pelaksanaan dan pengesahannya itu bertolak belakang dengan riwayat yang melarangnya. Karena maksud syariat dalam melarang sesuatu agar kita tidak memakai dan melaksanakannya. Karena  kita kalau sahkan artinya kita memakai dan melaksanakannya, dan kita jadikan seperti akad yang telah dibolehkan agama. Dari pendapat ini, maka pendapat yang kuat bahwa orang tua yang menikahkan anak wanitanya kepada orang yang tidak disukai menjadi suami adalah pernikahan yang rusak, akadnya juga rusak. Hendaknya pengadilan mengkaji ulang (keabsaan akad nikahnya).”

Nah sobat, dari dalil yang telah penulis sebutkan, tentu kita dapat mengambil kesimpulan berikut :

  • Lelaki yang menikah tanpa restu orang tua pernikahannya tetap sah secara agama sebab telah memenuhi rukun nikah dimana lelaki tidak memerlukan wali nikah.
  • Wanita yang menikah tanpa persetujuan orang tua dan hanya dinikahkan oleh wali tetap tidak diperbolehkan sebab wali nikah harus ditunjuk oleh orang yang bersangkutan.
  • Orang tua yang melarang anaknya menikah harus memiliki alasan yang tepat, misalnya karena terbukti memiliki akhlak yang buruk atau tidak menjalankan islam atau kafir.
  • Jika orang tua menolak menikahkan anaknya hanya karena harta atau status dan hal duniawinya lainnya padahal calon menantu memiliki akhlak dan hati yang baik maka nantinya orang tua dan anaknya sendiri yang rugi dan orang tua berdosa karena menghalangi kebahagiaan anaknya.
  • Orang tua harus memiliki alasan yang jelas jika memiliki rencana mengenai kebaikan masa depan untuk anaknya, jika terjadi masalah maka dapat didatangkan penengah untuk mencari solusi terbaik antara anak dan orang tua tersebut.
  • Wanita memang milik orang tuanya, namun jika wanita tersebut memiliki calon suami yang baik yang orang tuanya belum percaya dapat membuktikan keyakinannya dan memberi bukti serta memohon petunjuk kepada Allah.
  • Lelaki juga milik ibunya jika si ibu belum setuju tentang calon menantu lelaki harus berusaha menunjukkan kebaikan calon istrinya dan membuktikannya agar tercapai jalan yang jelas untuk membuktikan bahwa si istri tersebut terbaik untuknya.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga menjadi wawasan berkualitas untuk sobat pemcaba semua. Terima kasih. Semoga bahagia selalu dunia akherat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn