Hukum Menunda Mandi Wajib Setelah Haid dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Mandi wajib sering dilakukan pada keadaan tertentu yang memang sudah diharuskan seperti sesudah masa haid dan juga sesudah melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, seringkali para wanita menunda untuk melakukan mandi wajib khususnya sesudah masa haid dengan alasan cuaca yang sedang tidak mendukung, malas, tidak enak badan, tidak sempat dan banyak alasan lainnya. Perlu diketahui jika terdapat hukum bagi seorang wanita yang tidak langsung atau menunda membersihkan hadats besar tersebut dan berikut ini akan kami jelaskan secara lengkap.

Al Imam Al Mudaddits Muqbil Hadi Al Wadi’i berkata,

“Bila darah haid telah berhenti dalam waktu tiga hari, kurang ataupun lebih, wajib bagi si wanita untuk mandi dan mengerjakan shalat bila telah masuk waktunya, serta diperkenankan bagi suaminya untuk mendatanginya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran’. Oleh karena itu kalian harus menjauhkan diri dari istri-istri kalian di waktu haidnya (tidak melakukan jima’ pada kemaluan) dan janganlah kalian mendekati (menggauli) mereka sampai mereka suci dengan mandi. Apabila mereka telah suci dengan mandi maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian (pada qubul). Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (Al-Baqarah: 222)

Artikel terkait:

Wanita tidak diperbolehkan untuk menunda mandi wajib sesudah darah berhenti pada masa haid. Bila ia tidak mendapatkan air untuk mandi suci atau ia tidak mampu menggunakan air, maka diperkenankan baginya bertayammum sampai ia mendapatkan air atau mampu menggunakan air, serta wajib baginya mengerjakan shalat dengan tayammum tersebut serta diperkenankan bagi suaminya untuk men-”datangi”-nya. Wallahu a’lam.(Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il, hal. 703)

Hal yang dimaksud dengan “ia tidak mampu menggunakan air” adalah wanita yang sakit dan tidak dapat bersuci dengan menggunakan air, berwudhu dari hadats kecil atau mandi dari hadats besar sebab lemah dan dikhawatirkan akan bertambah sakit sekaligus menghambat proses penyembuhan maka diperbolehkan untuk bertayamum. Caranya adalah dengan menepuka kedua tangannya pada tanah dengan sekalitepukan dan mengusapnya pada wajah dengan memakai kedua telapak tangan serta mengusap kedua telapak tangan antara satu dengan yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman, ““Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Artikel terkait:

Tata Cara Mandi Wajib Sesudah Haid

Supaya ibadah bisa diterima Allah SWT, maka dalam tata pelasanaannya juga harus dilakukan sesuai dengan tuntunan yang sudah diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dimana Rasulullah menyebutkan tentang tata cara dari mandi haid dalam hadits yang sudah diriwayatkan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha jika Asma’ binti Syakal Radhiyallahu ‘Amha bertanya pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengenai mandi haid, maka beliau bersabda,

Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara, atau boleh juga digunakan pengganti sidr seperti: sabun dan semacamnya-pent) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).”

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata jika seorang wanita bertanya pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengenai mandi dari haid dan beliau memberi perintah tata cara bersuci, beliau bersabda, ““Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya (potongan kain/kapas).” (HR. Muslim: 332)

An-Nawawi rahimahullah berkata (1/628): “Jumhur ulama berkata (bekas darah) adalah farji (kemaluan).” Beliau berkata (1/627): “Diantara sunah bagi wanita yang mandi dari haid adalah mengambil minyak wangi kemudian menuangkan pada kapas, kain atau semacamnya, lalu memasukkannya ke dalam farjinya setelah selesai mandi, hal ini disukai juga bagi wanita-wanita yang nifas karena nifas adalah haid.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam an-Nisaa’: 117 juz: 1).

Syaikh Mushthafa Al-‘Adawy berkata: “Wajib bagi wanita untuk memastikan sampainya air ke pangkal rambutnya pada waktu mandinya dari haidh baik dengan menguraikan jalinan rambut atau tidak. Apabila air tidak dapat sampai pada pangkal rambut kecuali dengan menguraikan jalinan rambut maka dia (wanita tersebut) menguraikannya-bukan karena menguraikan jalinan rambut adalah wajib-tetapi agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya, Wallahu A’lam.” (Dinukil dari Jami’ Ahkaam An-Nisaa’ hal: 121-122 juz: 1 cet: Daar As-Sunah).

Oleh karena itu, wanita yang sudah bersih dari haid untuk mandi dengan membersihkan semua anggota badan minimal menyiramkan air ke seluruh badan sampai pangkal rambut dan yang lebih diutamakan adalah tata cara mandi yang sudah ada dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

  • Wanita mengambil air dan sabun lalu berwudhu dan membaguskan wudhunya.
  • Menyiram air ke kepala lalu menggosok dengan kuat sehingga air sampai ke bagian akar rambut. Pada urusan ini, tidak diwajibkan untuk menguraikan jalinan rambut kecuali dengan menguraikan rambut bisa membantu air sampai ke tempat tumbuhnya rambut yakni kulit kepala.
  • Menyiram air ke semua badan
  • Mengambil sepotong kain atau kapas lalu ditambahkan minyak kasturi dan mengusap bekas darah dengan kain tersebut.

Artikel terkait:

Tata Cara Mandi Junub Wanita

‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Kami ( istri-istri Nabi) apabila salah seorang diantara kami junub, maka dia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian dia mengambil air dengan satu tangannya lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri.” (Hadits Shahih riwayat Bukhari: 277 dan Abu Dawud: 253)

Seorang wanita memang tidak diwajibkan untuk mengurai rambut saat mandi wajib berdasarkan dari hadits berikut:

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Aku (Ummu Salamah) berkata: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang wanita, aku menguatkan jalinan rambutku, maka apakah aku harus menguraikannya untuk mandi karena junub?” Beliau bersabda: “Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali kemudian engkau mengguyurkan air ke badanmu, kemudian engkau bersuci.” (Hadits Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud: 251, an-Nasaai: 1/131, Tirmidzi:1/176, hadits: 105 dan dia berkata: “Hadits Hasan shahih,” Ibnu Majah: 603)

Tanda Masa Haid Berakhir

Masa suci dari haid memiliki dua pertanda untuk wanita yakni keluarnya cairan bening dan juga berhenti darah haid dengan cara menempelkan kapas atau semacamnya di tempat keluar haid dan kapas tersebut bersih serta tidak ada darah, flek coklat atau kuning.

Sebagian wanita mengetahui masa sucinya dengan keluar cairan bening, akan tetapi untuk sebagian wanita lain tidak melihat hal ini namun dengan mengeringkan daerah kewanitaan maka sudah menjadi tanda masa suci dari haid.

Al Qasbah Baidha’ merupakan sesuatu yang berbentuk seperti benang putih yang keluar dari kemaluan wanita di akhir masa haid dan menjadi tanda kesucian.

Jika darah haid sudah berakhir dan tempat keluar haid sudah mengering dengan sempurna, maka sudah suci dari haid dan jangan dihiraukan jika keluar cairan kuning dan lainnya sesudahnya. Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kami dahulu tidak menghiraukan flek kecoklatan dan kekuningan yang keluar setelah masa suci”. (HR. Abu Daud: 307 dan dishahihkan oleh Syeikh Albani)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tanda berakhirnya haid dan keberadaan masa sucinya, bahwa keluarnya darah dan flek kekuningan dan kecoklatan akan terhenti, jika sudah terhenti maka seorang wanita dianggap sudah suci, meskipun setelahnya keluar cairan bening atau tidak”. (Al Majmu’: 2/562)

Ulama Lajnah Daimah [4/206] pernah ditanya, “Seorang wanita setelah berhentinya darah haidnya, dia melihat cairan yang warnanya agak kecoklatan, di titik yang terbatas dan jumlahnya tidak banyak, dia tidak melihat tanda masa sucinya, hal itu dialaminya selama dua sampai tiga hari, maka apa yang harus dia lakukan, apakah tetap shalat dan puasa ? atau dia harus menunggu kering atau keluarnya tanda suci ?” Mereka lalu menjawab, “Jika seorang wanita telah suci dari haidnya, lalu dia melihat lagi  -setelah masa suci ditandai dengan mengeringnya daerah kewanitaannya atau cairan bening- beberapa cairan; maka hal itu tidak dianggap sebagai haid, hukumnya sama dengan kencing, anda harus membersihkannya dan berwudhu, hal ini banyak dialami oleh para wanita, setelah bersuci darinya hendaknya bersegera mendirikan shalat dan berpuasa Ramadhan seperti yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘Anha, ia berkata, “Kami dahulu tidak menganggap flek kekuningan dan kecoklatan setelah bersuci mempunyai dampak apapun”. (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih)

Artikel terkait:

Allah sesungguhnya sangat menyukai orang yang menyucikan dirinya dan apabila memang tidak sedang berada dalam sakit keras, maka sangat diharuskan untuk menjalankan mandi wajib sesudah haid dan jangan sampai melewati waktu shalat karena sekedar malas untuk menghilangkan hadats besar tersebut.

fbWhatsappTwitterLinkedIn