Perayaan tahun baru masehi adalah kebiasaan dari banyak orang di berbagai belahan dunia. Tidak terkecuali di Indonesia. Penanggalan masehi menjadi patokan waktu bergantinya hari dan bulan. Hal ini karena memang kalender masehi berawal sudah sejak zaman dahulu kala, dimana saat Yunani dalam masa kejayaannya.
Namun hari ini, penanggalan secara umum tidak hanya dari kalender masehi. Ada penanggalan hijriah yang berasal dari islam dan juga memberikan sumbangsih tersendiri dalam metode penetapan waktu, hari, bulan, dsb. Tentu saja akhirnya ada juga yang dinamakan Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam yang ditandai saat Rasul Hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Persoalan kemudian bukan hanya pada aspek adanya penanggalan ini saja, melainkan juga pada budaya dan kebiasaan. Penanggalan masehi pada sebagian orang islam dianggap tidak sesuai dengan islam. Namun, dilemanya pada banyak orang di belahan dunia manapun menggunakan penanggalan ini sebagai patokannya. Begitupun perusahaan, dalam berbisnis, proses evaluasi dan tutup buku. Selalu berdasarkan pada penanggalan Masehi
Lantas bagaimanakah jika tahun baru masehi ini menjadi patokan umat islam dalam keseharian. Dan bagaimanakah hukum merayakan tahun baru masehi dalam islam? Untuk menjawab lebih jelas mengenai masalah tersebut, tentu diperlukan pendekatan yang lebih integral melalui ayat-hadist dan dasar-dasar hukum islam yang lainnya.
Sejarah Ritual Perayaan Tahun Baru Masehi
Pada beberapa pendapat ulama diketahui bahwa tahun baru masehi adalah prosesi atau perayaan yang dilarang oleh islam. Hal ini karena tidak sesuai dengan Rukun Islam, Dasar Hukum Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, Rukun Iman, Akhlak Dalam Islam, Hubungan Akhlak dengan Iman dalam Islam, dan Hubungan Akhlak dan Tasawuf dalam Islam
Apalagi jika di dalamnya terdapat unsur unsur hedonisme, hura-hura atau berfoya-foya. Perayaan tahun baru ini ada dasarnya adalah bukan hari raya umat islam melainkan perayaan dari para orang-orang non muslim khususnya kaum nasrani.
Tahun baru ini dalam kebiasaannya dimulai dengan 1 Januari yang diresmikan oleh salah seorang kaisang Romawi yaitu Kaisar Julius Cesar di tahun 46 SM. Namun, dalam sejarah perayaan tahun baru ini kembali diresmikanoleh pemimpin katolik tertinggi yaitu Paus Gregorius XII di tahun 1582. Sedangkan, proses penetapan ini dilakukan juga oleh bangsa Eropa barat yang menggunakan kalender Greogorian di tahun 1752. Bentuk perayaannya sangat beragam. Ada yang bisa beruba ibadah, melakukan aktivitas hiburan, karnaval, berkumpul dengan keluarga, dan lain sebagainya.
Pendapat Tentang Larangan Umat Islam Merayakan Tahun Baru Masehi
Mengenai hukum perayaan tahun baru ini, ulama yang melarangnya memiliki dua dasar terkait hal tersebut. Yang pertama adalah mengenai larangan untuk menyerupai kaum muslim yaitu tasyabuh bi al kufaar baik berupa perilaku atau kebiasaan dan larangan untuk merayakan hari raya kaum kafir, yaitu tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yadahihim.
- Dalil Larangan Menyerupai Orang-Orang Kafir
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104).
Ayat ini ditafisrikan oleh Imam Ibnu Katsir bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan maupun perbuatan. Orang yahudi sering menggunakan kata ru’uunah yang memiliki arti bodoh sekali sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW. Padahal maksudnya adalah raa’ina yang artiya perhatikanlah kami. Penafsiran ini berasal dari Tafsir Ibnu Katsir.
Selain itu, terdapat juga dalam ayat lain yang menerangkan hal serupa, yaitu
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS Al Baqarah : 120)
Hal ini menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi akan berbuat apapun hingga umat islam mau mengikuti mereka. Sedangkan, mereka selalu dalam keadaan sesat dan memberikan ejekan bagi umat islam. Jika umat islam mengikutinya dan berbuat hal yang sama seperti mereka, tentu Allah sangat membencinya.
Di dalam hadist, Rasulullah juga memberikan peringatan kepada umat islam. Hal ini diantaranya adalah dari hadist berikut, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad dan Abu Daud). Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani bahwa hadist ini tergolong pada hadist hasan.
Larangan Merayakan Tahun Baru dan Dalilnya, menjadi penerang kembali bahwa umat islam dilarang untuk mengikuti dan melakukan hal-hal yang sebagaimana tradisi kaum kafir. Apalagi jika aktivitas atau tradisi tersebut mengandung unsur ibadah dan pemujaan, atau mensakralkan aspek tertentu pada agama mereka. Maka hal ini yang membuat ulama melarang untuk umat islam melakukan perayaan tahun baru masehi yang bukan merupakan hari raya atau tahun baru dari ajaran islam.
- Dalil Larangan Merayakan Hari Raya Orang Kafir
Larangan merayakan tahun baru masehi juga para ulama mendasarkannya pada hadist yang ada berikut. ”Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, sedang mereka (umat Islam) mempunyai dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Rasulullah SAW bertanya,’Apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab,’Dahulu kami bermain-main pada dua hari itu pada masa Jahiliyyah.’ Rasulullah SAW bersabda,’Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud)
Hadist ini jelas bagi ulama adalah pelarangan umat islam untuk merayakan hari raya orang kafir termasuk tahun baru masehi yang bukan berasal dari tradisi islam. Untuk itu termasuk aktivitas di dalamnya yang menyerupai kaum kafir, seperti meniup terompet, menyalakan kembang api, melakukan pesta, hiburan, dsb adalah haram karena termasuk pada yang menyerupai kaum kafir.
Pendapat yang Tidak Mengharamkan
Di sisi lain ada beberapa ulama yang tidak terlalu melarang atau mengharamkan tahun baru masehi selagi ada beberapa catatan tersendiri. Dalam konteks masyarakat sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh aktivtias, bisnis, dan berbagai macam perilaku didasarkan oleh kalender masehi. Tentu tidak berarti kita menganggap pergantian ini menjadi suatu yang sakral atau berlebihan. Untuk itu, berikut adalah pertimbangan yang harus dilakukan umat islam, terhadap pergantian tahun baru masehi.
- Tidak Menganggap Suatu yang Sakral
Walaupun ada tahun baru masehi, maka umat islam dilarang untuk menganggap sakral atau suatu yang berlebihan dari adanya tahun baru ini. Tentu anggap saja sesuatu yang biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan atau digembar gemborkan karena hal tersebut hal yang biasa saja. Maknanya adalah pergantian waktu dan menjadi patokan pergantian waktu berikutnya. Begitupun jika ingin menghayati setiap hari adalah pergantian waktu, tidak ada yang spesial atau khusus.
- Tidak Melakukan Aktivitas Peribadahan
Jikapun terdpaat acara yang berkaitan dengan pergantian tahun baru masehi, maka umat islam tidak boleh melakukannya yang di dalamnya terdapat suatu peribadahan. Hal ini akan merusak iman dan juga merusak amalan ibadah kita sendiri. Aktivitas peribadan biasanya mengandung puji-pujian, melakukan persembahan, atau melakukan pengaagungan terhadap sesuatu yang dianggap agung atau lebih. Jika di dalamnya mengandung hal tersebut, maka tentu saja aktivitas pergantian tahun baru tersebut, dilarang.
- Tidak Melakukan Akttivitas yang Mengandung Kemaksiatan
Jangan sampai pun jika ada acara dalam rangka tahun baru, terdapat hal yang mengandung kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang oleh islam. Misalnya saja melakukan minum-minuman keras atau yang mengandung khamr, atau melakukan pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Larangan ini tentu saja sebagiamana telah Allah tentukan dalam Al-Quran. Apalagi jika di dalamnya mengandung aspek zinah atau berpakaian yang tidak sesuai aturan aurat.
- Mengambil Hikmah dan Evaluasi dari Pergantian Waktu
Mengambil hikmah dan evaluasi pergantian waktu adalah yang seharusnya dilakukan oleh umat islam. Kebanyakan orang-orang melakukan dengan berfoya-foya dan melakukan hal-hal yang sia-sia. Padahal, lakukan evaluasi, muhasabah, dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan adalah yang harus dilakukan umat islam daripada sekedar merayakan dan bersenang-senang. Tentu saja Allah tidak melarang manusia untuk merasakan kesenangan di dunia, tapi di moment seperti ini darpada terjebak oleh hal-hal yang bisa mengarah pada maksiat, tentu lakukan hal-hal yang bermanfaat adalah jauh lebih baik.
- Tahun Baru Islam Tetaplah Tahun Baru Hijriah
Bagaimanapun tahun baru islam tetaplah tahun baru hijriah. Hal ini ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa ini mengandung sejarah dan makna terdalam untuk itu, hikmah dan evaluasi ini adalah lebih baik dibanding hanya sekedar tahun baru masehi yang umat islam pun tidak dapat menghayati bagaimana sejarahnya.
Semoga hal ini menjadikan kita semakin menjauhi kemusyrikan dan tetap menjalankan Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam.