Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Ada yang berpendapat sunnah ada yang berpendapat mubah dan ada yang berpendapat makruh.
Kesimpulan dari permasalahan ini setelah kita melihat dalil-dalil masing pendapat yang terpilih dan kuat bahwa hukumnya walimah khitan suatu hal yang mubah. Karena hukum sunnah adalah syari untul mengatakan suatu hal itu hukumnya sunnah butuh dalil-dalil yang sahih dan marfu kepada nabi.
Belum kita dapatkan dalik satupun bahwa nabi pernah mengadakan walimah khitan. Terdapat di sana atsar dari sebagian sahabat yang mana mereka melakukan walimah khitan.
Diantara atsar yang di riwayatkan oleh al-imam al bukhori dalam abdul mufrod:
قال سالم: خَتَنَنِي ابْنُ عُمَرَ أَنَا وَنُعَيْمًا، فَذَبَحَ عَلَيْنَا كَبْشًا
“Salim (bin Abdullah bin Umar) berkata: Ibnu umar mengkhitanku dan juga mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar) untuk khitan kami” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul mufrad no. 1246, berkata Syekh Al Albany: Atsar ini sanadnya dho’if]
Dan juga atsar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Ibnu abi Ad-dunya dalam kitab al ‘iyaal nomor 586:
عَنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: أَرْسَلَتْ إِلَيَّ عَائِشَةُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَقَالَتْ: أَطْعِمْ بِهَا عَلَى خِتَانِ ابْنِكَ
“Dari Al-Qasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq) berkata: “Aisyah radhiallahu ‘anha telah mengirim kepadaku uang 100 dirham seraya berkata berilah makanlah bagi orang-orang untuk khitan anakmu.”
Khitan merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan pada pada sabda Rasulullah saw:
خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ : الْخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الْإِبِطِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ
Lima hal termasuk fitrah: Khitan, mencukur bulu kemaluan, potong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memangkas kumis. (HR. Bukhari 5889 & Muslim 257).
Syekh Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ jilid 12 hal 320:
كالوليمة للختان، فهذه مباحة؛ لأن الأصل في جميع الأعمال غير العبادة الإباحة، حتى يقوم دليل على المنع
“Seperti walimah khitan, maka (hukumnya) boleh-boleh saja, karena segala bentuk amalan di luar ibadah maka hukum asalnya boleh-boleh saja, sampai datang dalil yang menunjukan larangannya.”
Apakah di syariatkan untuk mengadakan walimah khitan?. Ada khitan dan ada walimah khitan.
Ada dua hal yang perlu di bedakan. Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki.
Walimah khitan hukumnya di perselisihkan ulama. Sebagaimana membolehkan, dan sebagian menilanya makruh.
Al-hathab dalam mawahib aal-jali menjelaskan:
,وقال في جامع الذخيرة: مسألة فيما يؤتى من الولائم، ثم قال صاحب المقدمات: هي خمسة أقسام: واجبة الإجابة إليها وهي وليمة النكاح، ومستحبة الإجابة وهي المأدبة وهي الطعام يعمل للجيران للوداد، ومباحة الإجابة وهي التي تعمل من غير قصد مذموم؛ كالعقيقة للمولود والنقيعة للقادم من السفر والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس والإعذار للختان ونحو ذلك،…
Dalam Jami’ Ad-Dzakhirah dinyatakan, hukum mendatangi walimah ada 5 macam.
- Wajib mendatanginya, itulah walimah nikah.
- Dianjurkan mendatanginya, itulah hidangan makanan dengan mengundang tetangga untuk jalinan persaudaraan.
- Mubah mendatanginya, itulah walimah yang diadakan BUKAN untuk tujuan tercela, seperti walimah akikah untuk anak, walimah naqiah untuk menyambut orang yang datang dari safar, walimah wakirah untuk tasyakuran bangun rumah, atau walimah i’dzar untuk syukuran khitan, atau semacamnya.
Kemudian Al-Hathab menyebutkan pendapat lainnya,
وقال في الشامل: وأما طعام إعذار الختان ونقيعة القادم من سفر وخرس لنفاس ومأدبة لدعوة وحذقة لقراءة صبي ووكيرة لبناء دار فيكره الإتيان له..
Dalam kitab As-Syamil dinyatakan, Undangan walimah i’dzar untuk tasyakuran khitanan atau walimah naqi’ah untuk tasyakuran menyambut orang yang datang….., makruh untuk didatangi. (Mawahib Al-Jalil, 11/22)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini walimah khitan hukumnya mubah, karena murni terkait tradisi masyarakat dalam rangka menunjukkan kebahagiaan dengan adanya khitan. Sementara itu kita punya kaidah yang berisikan:
الأصل في الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
Pendapat inilah yang di kuatkan oleh syaikhul islam. Dalam majmu fatawanya.
Beliau pernah di tanya tentang hukumnya beberapa tentang walimah. Diantaranya walimah khitan beliau mengatakan:
أما وليمة العرس فهي سنة والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة مكروه فعلها والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة؛ من شاء فعلها ومن شاء تركها
Untuk walimah nikah, hukumnya sunah, dan menghadirinya diperintahkan. Adapun perayaan kematian, statusnya bidah, dibenci untuk dilakukan dan juga menghadirinya. Adapun walimah khitan, hukumnya boleh. Siapa yang ingin melakukannya boleh dia lakukan, siapa yang tidak ingin melakukannya, bisa dia tinggalkan. [Majmu’ Fatawa, 32/206]
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hukumnya khitan adalah wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Lali bagaimanakah hukum mengadakan jamuan atau walimah khitan?
Berikut pendapat para ulama tentang hukum mengadakan jamuan khitan atau hukum menghadiri acara walimah khitan:
1. Hukumnya Sunnah
Hukumnya sunnah karena sedekah makanan pendapat pertama para ulama. Pendapat ini dipegang oleh para ulama dari madzhab hanafiah.
hadits Anas radhiallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ جَارًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارِسِيًّا كَانَ طَيِّبَ الْمَرَقِ، فَصَنَعَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ: «وَهَذِهِ؟» لِعَائِشَةَ، فَقَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، فَعَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، ثُمَّ عَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: نَعَمْ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَامَا يَتَدَافَعَانِ حَتَّى أَتَيَا مَنْزِلَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai tetangga seorang bangsa Persia yang pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan untuk Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu dia datang mengundang beliau. Beliau bertanya: “‘Aisyah bagaimana? orang itu menjawab: ‘Dia tidak!’, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu aku juga tidak!”, orang ittu mengulangi undangannya kembali. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya: “‘Aisyah bagaimana?” orang itu menjawab: ‘Dia tidak!’, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu aku juga tidak!” Orang itu mengulangi undangannya pula. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya: “‘Aisyah bagaimana?” Jawab orang itu pada ketiga kalinya; ‘Ya, ‘Aisyah juga.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pergi bersama ‘Aisyah ke rumah tetangga itu.
Salah satu pendapat dalam madzhab hambali. Sebagian kalangan berpendapat hukumnya sunnah untuk khitan laki-laki saja.
Para ulama yang mengikuti berhujjah dengan keumuman dalil memberikan makan.
hadits hadits Abu Hurairah:
«حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ» قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟، قَالَ: «إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ….. الحديث
“Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara.” Lalu beliau ditanya; ‘Apa yang enam perkara itu ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: “Bila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya…[HR. Muslim dengan lafadz ini].
2. Hukumnya Mubah
Hukumnya Mubah karena tidak ada larangan pendapat kedua mengatakan bahwa hukumnya walimah khitan adalah Mubah. Pendapat kedua ini adalah pendapat ulama madzhab malikiah dan hanabilah.
Para ulama tersebut berhujjah dengan kaidah bahwa segala sesuatu hukumnya mubah kecuali ada larangan. Dan selama ini tida ada teks eksplisit yang melarang walimah khitan.
Ibnu taimiah salah satu tokoh ternama dalam madzhab hambali. Ibnu mengatakan bahwa hukum walimah khitan adalah jaiz (boleh).
3. Hukumnya Makruh
Hukumnya Makruh karena tidak di wajibkan pendapat ketiga ini hukumnya makruh. Pendapat ini di usung sebagian kalangan dari madzhab maliki dan sebagian dari ulama madzhab hambali.
Para ulama yang berpendapat bahwa hukum walimah di wajibkan adalah walimah pernikahan saja dan walimah aqiqah. Selain dua hal itu menurut mereka adalah makruh.
Menurut hemat kami dalam konteks memberikan makan hukum walimah khitan adalah sunnah. Hanya saja konteks mengadakan wilamahnya saja hukumnya aslinya adalah boleh.
Menghadiri undangan walimah
Menghadiri undangan walimah khitan pada dasarnya boleh. Adapun terkait menghadiri undangan para ulama berbeda pendapat.
terdapat riwayat lain dengan lafadz:
«مَنْ دُعِيَ إِلَى عُرْسٍ أَوْ نَحْوِهِ، فَلْيُجِبْ»
“Barangsiapa yang diundang ke pesta pernikahan atau semisalnya, hendaknya ia mendatanginya.”
Pendapat pertama mengatakan sunnah. Hal ini berlandaskan para perintah rasulullah saw untul menghadiri walimah.
Di samping itu menghadiri undangan saudara muslim termasuk salah satu hak sesama muslim. Sedangkan ulama yang lain berpendapat Mubah dan ada berpendapat makruh.
Ulama yang berpendapat makruh karena menurut mereka hukum walimah khitan adalah makruh. Menurut hemat kami pendapat yang kuat terkait hukumnya menghadiri acara khitan adalah sunnah.
Hal ini berdasarkan hadist yang berisikan tentang di sunnahkan untuk menghadiri acara walimah khitan secara umum.
Majmu’ Al Fatawa jilid 32 hal 206:
وأما ” وليمة الختان ” فهي جائزة : من شاء فعلها ومن شاء تركها
“Adapun Walimah khitan maka (hukumnya) boleh-boleh saja. Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya.”