Hukum Pindah Kewarganegaraan dalam Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Indonesia adalah negara mayoritas muslim yang telah dikenal dunia. Namun warga negara Indonesia yang beragama muslim juga tak sedikit yang mencari nafkah di luar negeri. Banyak ekspatriat muslim yang pindah ke luar negeri, bahkan beberapa diantaranya merubah kewarganegaraan mereka sesuai dengan tempat tinggal mereka.

Lalu bagaimana Islam memandang fenomena yang semakin mewabah ini? Hingga saat ini, beberapa ulama masih memiliki perbedaan pendapat mengenai hal ini. Namun kebanyakan negara muslim melarang atau mengharamkan seorang muslim pindah kewarganegaraan di negara kafir. Lain halnya jika negara tersebut adalah negara yang memang mayoritas muslim.

Perbuatan merubah kewarganegaraan menjadi warga negara di sebuah negara kafir dianggap sebagai bentuk tunduk pada pemimpin kafir. Lebih jelasnya, marilah simak pembasahan berikut ini mengenai hukum pindah kewarganegaraan dalam Islam.

Oleh Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ

Siapa yang berkumpul bersama orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka ia semisal dengannya.” (HR. Abu Daud no. 2787. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Baca juga:

Pindah ke Negara Mayoritas Nonmuslim Akan Menyulitkan dalam Beribadah

Hukum pindah kewarganegaraan dalam Islam yang ternyata dilarang ini berlaku jika seseorang pindah kewarganegaraan sebagai warga negara yang mayoritas penduduknya adalah kafir dan justru semakin sulit menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Hal ini dikarenakan banyak daerah lain yang masih baik untuk ditinggali seorang muslim, namun ia justru lebih memilih untuk tinggal di negara yang menyulitkan seorang muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (98)

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).”

Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (QS. An Nisa’: 97-98).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰ أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ ۚ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu, termasuk golongan mereka.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim, maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasharani) seraya berkata :’Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada rasulNya) atau suatu keputusan dari sisiNya, maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka” [Al-Maidah : 51-52]

Baca juga:

Pendapat Para Ulama

Adapun beberapa ulama yang memiliki pendapat ini adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Ali Mahfudh, Syaikh Muhammad Abdul Baqi’ Zarqani, Syaikh Syarif Mahfudh, Syaikh Yusuf Ad-Dajawi, Syaikh Abdul Latif Bin Abdurrahman, Al-Allamah Abdul Hamid Badis, Al-Alamah Basyir Al-Ibrahimi, Lajnah Ulama Al-Jazair, Lajnah Daimah Llil Buhus Wal Ifta’, Syaikh Utsaimin, dan Dr. Al-Buthi.

Mereka melandaskan pendapat mereka berdasarkan dalil di bawah ini.

Allah SWT telah berfirman:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

“Kamu tidak mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, atau keluarga mereka.” (Al-Mujadilah : 22)

Nabi SAW bersabda:

أنا بري من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين قالوا يا رسول الله لم؟ قال لا تراءى نارهما

“Saya berlepas diri dari seorang muslim yang tinggal bersama-sama dengan orang-orang musyrik” Mereka bertanya : “Kenapa wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Tidak boleh saling terlihat api keduanya.” (HR. Abu Daud)

Jika Pindah Kewarganegaraan Demi Kebaikan

Namun pendapat lain mengatakan bolehnya pindah kewarganegaraan sebagai warga negara di negara kafir jika tujuannya adalah untuk menjaga agama, jiwa, dan akal mereka sebagai seorang muslim. Beberapa ulama yang membolehkan adalah Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, Dr. Yusuf Qardhawi, Syaikh Syazili Naifar, Syaikh Faishal Maulawi, dan lain-lain.

Hal ini hanya berlaku jika tidak ada negara lain yang aman untuk ditinggali. Rasul juga pernah memerintahkan umatnya hijrah ke negeri Habasyah yang dipimpin oleh pemimpin kafir namun bijaksana sehingga setiap muslim mendapatkan perlindungan dalam beribadah.

Baca juga:

Syekh Bin Jibrin  hafizahullah berkata,

“Siapa yang terpaksa harus mengajukan permohonan kewarganegaraan negara kafir, seperti misalya diburu dari suatu negara dan tidak mendapatkan tempat berlindung, maka hal itu boleh bagiya dengan syarat dia dapat memperlihatkan agamanya dan memungkinkan baginya menunaikan syiar-syiar agama. Adapun meraih kewarganegaraan semata karena keuntungan duniawi semata, saya berpendapat hal itu tidak boleh.”

Itulah penjelasan singkat mengenai hukum pindah kewarganegaran dalam Islam. Banyak orang yang menyepelekan hal ini padahal sangat berdampak pada aqidah, maka dari itu hendaknya memikirkan dan memperhatikan setiap akibat yang akan didapat ketika berpindah kewarganegaraan.

Demikianlah artikel yang singkat mengenai hukum pindah kewarganegaraan dalam Islam ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

fbWhatsappTwitterLinkedIn