Hukum Puasa Ramadhan Bagi Musafir Beserta Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Musafir berasal dari kata kerja arab yakni safara yang berarti berpergian. Sehingga dalam penertian secara luas musafir berarti orang yang melakukan perjalanan. Kata safarin sendiri berarti perjalanan. Sebagaimana  disebutkan  dalam al-Quran:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ… [البقرة/283]

Dan jika kalian dalam perjalanan, dan tidak menjumpai seorang penulis, maka hendaklah hendaklah ada jaminan (yang bisa dipegang).”

Pada zaman Rasulullah perjalanan selama menjadi Musafir ini merupakan bagian dari bentuk dakwah. Allah SWT menganjurkan kepada manusia untuk berpergian ke seluruh penjuru muka bumi ini.  Sebagaimana dalam firmanNya berikut ini:

Dialah yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah merata-rata ceruk rantaunya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah; dan kepada Allah jualah (kamu) dibangkitkan hidup semula. [QS. Al-Mulk : 15].

Seorang Musafir atau mereka yang sedang dalam perjalanan, mendaparkan keringanan berupa diringankan dalam melaksanakan kewajiban sholat dan puasa sebagaimana hukum puasa ganti seminggu sebelum ramadhan . Tentunya hal ini didasarkan atas hukum dan ketentuan yang jelas dan kewajiban tetap mengganti puasa di hari lain sebagaimana niat puasa ganti ramadhan . Oleh sebab itu, dalam artikel ini akan dibahas mengenai Hukum Puasa Ramadhan Bagi Musafir beserta dalilnya.

Hukum Puasa Ramadhan Bagi Musafir

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah: 185).

Berdasarkan firman Allah SWT diatas, seorang Musafir diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan seperti dalam keistimewaan ramadhan . Keringanan ini diberikan memgingat lama perjalanan dapat memakan waktu hingga berjam-jam. Sehingga ditakutkan, jika menjalankan ibadah puasa ramdahan dapat menbahayakan perjalanan yang dilakukan. Apalagi jika seoramg tersebut memiliki tugas misalnya menyopir kendaraan, dikhawatirkan jika tetap berpuasa maka dapat menghilangkan konsentrasinya sehingga dapat membahayakan diri dan penumpang dalam puasa ramadhan dan pelaksanannya .

Para sahabat yang keluar dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang berbuka dan ada yang berpuasa, sedangkan Nabi sendiri berpuasa dalam perjalanan,

Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja beliau menambahkan penjelasan:

وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا

Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab shalatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589).

Dapat disimpulkan bahwa Hukum Puasa Ramadhan Bagi Musafir didasarkan atas tiga kondisi dibawah ini yakni :

1. Jika Berat Untuk Berpuasa maka Dianjurkan untuk Tidak Berpuasa

Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » . فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”. Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan. 

2. Jika Tidak Memberatkan maka Diperbolehkan Berpuasa

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ

Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

3. jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.

Itulah, Hukum Puasa Ramadhan Bagi Musafir beserta dalilnya. Semoga dapat menjadi sumber dan referensi dalam memaknai ramadhan sebagaimana syarat sah puasa ramadhan , bulan ramadhan dan fadillahnya ,  serta rukun puasa ramadhan ,  sehingga dapat lebih khusyuk dalam menjalankannya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn