Hukum Shalat Jumat Bagi Musafir dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Salah satu pembeda Muslim dengan orang kafir adalah shalat. Sebagaimana dalam sebuah hadits,  “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al Aslami)

Bahkan meninggalkan shalat dapat berujung pada kesyirikan.

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Bahkan Allah juga berkali-kali memerintahkan manusia untuk shalat di dalam Ayatnya. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

 “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya pada sisi Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah ayat 110)

Dan kerjakanlah sholat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul, agar supaya kalian semua diberi rahmat.” (QS. An-Nuur ayat 56)

Baca juga:

Selain shalat fardhu atau shalat wajib yang menjadi pembeda seorang Muslim dengan seorang kafir, terdapat pula shalat Jumat dimana hukum shalat Jumat bagi laki-laki adalah wajib. Sedangkan hukum shalat Jumat bagi wanita adalah tidak wajib.

Shalat Jumat sangat dianjurkan agar dikerjakan oleh laki-laki Muslim. Sebagaimana beberapa dalil di bawah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [al-Jumu’ah: 9]

Dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa keduanya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum’at menghentikan perbuatan mereka, atau benar-benar Allâh akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar menjadi termasuk orang-orang yang lalai. [HR Muslim].

Lalu bagaimana hukumnya shalat Jumat bagi musafir sedangkan hukum meninggalkan shalat Jumat dengan sengaja adalah tidak boleh.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang diperintahkan menghadiri Jum’at hanyalah laki-laki merdeka; bukan wanita, budak, dan anak-anak. Dan diberi udzur (atau dima’afkan; yakni, tidak wajib bagi): musafir, orang sakit, pengurus orang sakit, dan halangan-halangan semacamnya, sebagaimana ini disebutkan dalam kitab-kitab furu’ (fiqih)” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, 8/122)

Baca juga:

Dari as-Saib bin Yazid, ia berkata,

Dahulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma , adzan pada hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Tatkala ‘Utsmân Radhiyallahu anhu (menjadi khalifah, Pen.) orang-orang bertambah banyak, beliau Radhiyallahu anhu menambah adzan ketiga di Zaura”. Abu Abdillah (Imam al-Bukhâri rahimahullah ) berkata, “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah”. [HR al-Bukhâri, no. 870].

Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahou ‘anhu bahwa dia melihat seorang laki-laki yang sudah tampak siap bepergian, maka berkatalah orang tadi, “Hari ini, hari Jum’at, dan kalau tidak karena hari Jum’at tentu aku sudah keluar”. Umar berkata, “Sesungguhnya shalat Jum’at itu tidak mencegah orang bepergian, maka pergilah selama belum tiba waktu matahari tergelincir.(Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah,18/86)

Dari Thoriq bin Syihab, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Syeikh Abdurahman as-Sa’di menyatakan,” Semua yang diwajibkan sholat berjamaah diwajibkan sholat jum’at apabila tinggal menetap di satu daerah. Diantara syaratnya adalah dikerjakan pada waktunya dan di daerah (perkampungan) serta didahulukan dengan dua khutbah.” (Manhaj as-Salikin).

baca juga:

Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- :

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةِ الْجُمْعَةِ أَوْ غَيْرِِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ» رواه النسائي.

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari sholat jum’at atau selainnya maka telah mendapatkan sholat(HR an-Nasaa’i).

Dari banyaknya dalil di atas menunjukkan bahwa seorang musafir tidak diwajibkan untuk melaksankan shalat Jumat. Tapi ia tetap boleh melakukan shalat Jumat jika ia mengikuti orang yang sedang shalat Jumat di tempat yang ia lewati.

Namun bukan berarti shalat Dzuhur menjadi gugur. Ia tetap wajib melaksanakan shalat Dzuhur dengan cara dijamak atau diqoshor.

Allah berfirman:

وَاِذَاضَرَبْتُمْ فِى اْلاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلَوٰةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا اِنَّ اْلكفِرِيْنَ كَانُوْالَكُمْ عَدُوًّامُّبِيْنًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qoshor sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. An Nisa’: 101)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

أَنَّ الصَّلاَةَ أَوَّلُ مَافُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ،فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِوَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الحَضَرِ

“Pertama kali sholat diwajibkan adalah dua raka’at, maka tetaplah sholat musafir dua raka’at dan shalat orang yang muqim (menetap) sempurna (empat raka’at).” (HR. Al Bukhari: 1090 dan Muslim:685)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَاْلعِشَاءِ

“Apabila dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Zhuhur dengan Asar serta Maghrib dengan ‘Isya’.” (HR. Al Bukhari:1107 dan Muslim:704)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan Asar di salah satu waktu keduanya sesuai kehendaknya. Demikian pula shalat Maghrib dan ‘Isya’, baik safarnya jauh atau dekat.” (Syarh Shahih Muslim 6/331)

Imam Ibnu Qudamah rahimahulah berkata, “Boleh menjama’ antara Zhuhur dan Asar serta Maghrib dan ‘Isya’ pada salah satu waktu keduanya.” (Al Muqni’ 5/84)

Bahkan Islam lebih memudahkan lagi kewajiban shalat bagi para musafir dengan memperbolehkan untuk shalat di dalam kendaraan. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shalat di atas perahu. Beliau menjawab,

صَلِّ قَائِمًا إِنْ لَمْ تَخَفْ اْلغَرَقَ

“Shalatlah dengan berdiri kecuali apabila kamu takut tenggelam.” (HR. Al Hakim 1/275, Daraqutni 1/395, Al Baihaqi dalam Sunan Kubro 3/155, dishahihkan oleh Al Albani dalam Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/101)

Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Hukum shalat di atas pesawat itu seperti shalat di atas perahu. Hendaklah shalat dengan berdiri apabila mampu. Jika tidak, maka shalatlah dengan duduk dan berisyarat ketika ruku’ dan sujud” (Ashlu Shifat Shalat Nabi 1/102).

Demikianlah kemudahan yang telah diberikan kepada para musafir dalam menjalankan kewajiban shalatnya. Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda semua. Terima kasih.

 

fbWhatsappTwitterLinkedIn