Haid atau menstruasi merupakan salah satu kodrat sebagai seorang wanita sebagaimana kehamilan dalam islam. Haid merupakan siklus yang akan dialami setiap wanita setiap bulannya. Dalam islam sendiri dara haid merupakan kotoran, sehingga seorang wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan melakukan aktivitas keagamaan seperti sholat, berpuasa atau juga membaca Al-Quran. Sebagaimana dalam hadis berikut ini :
وَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ، قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوا النّسَاءَ فِى اْلمَحِيْضِ وَ لاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ. فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللهُ. اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ اْلمُتَطَهّرِيْنَ. البقرة:222
Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah, “Haidl itu adah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri di wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sbelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah ereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. ssungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mebersihkan diri. [QS. Al-Baqarah : 222].
Ajal atau kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, setiap manusia yang hidup pasti akan mati. Tidak ada manusia yang kekal di dunia ini.
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ }
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [Al Anbiya:34-35].
stiap manusia dapat dipanggil oleh sang pencipta dalam kondisi apapun. termasuk juga seorang wanita yang sedang haid. Lantas bagaimana hukum islam memandang mengenai hal ini apakah sama dengan hukum wanita meninggal saat hamil atau hukum wanita meninggal saat melahirkan . berikut penjelasn singkat mengenai Hukum Wanita Meninggal Saat Haid menurut islam.
Haid tidaklah berefek kebahagiaan dan kesengsaraan mayit secara langsung. Terkait perbedaan kesucian mayit wanita yang meninggal dalam keadaan haid dan yang tidak kita perlu membaca keterangan ahli ilmu terkait adanya perlakuan khusus untuk wanita yang meninggal dalam keadaan haid.
Imam an-Nawawi menerangkan:
Dalam madzhab kami wanita haidh dan laki-laki yang junub bila meninggal maka dia dimandikan sekali. Ini adalah pendapat seluruh Ulama’ kecuali al-Hasan al-Basri. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 5/152
Ibnu Quddamah menerangkan:
“Pendapat yang pertama lebih utama mengingat keduanya telah terlepas dari pembebanan hukum syariat . Tidak tersisa kewajiban ibadah atas mereka. Adapun pemandian mereka itu sifatnya untuk peribadatan dan supaya ketika dia keluar dari alam dunia dia dalam keadaan paling sempurna dalam hal kebersihan dan kecerahan. Al-Mughni 2/345
Dari sini bisa diketahui ada isyarat Ulama’ bahwa tidak ada bedanya antara mayit wanita yang meninggal dalam keadaan di masa haidnya atau dalam keadaan tidak. Untuk meninjau lebih jauh maka dapat menyimak Hukum Wanita Meninggal Saat Haid.
- Pertama
Orang yang meninggal dalam kondisi haid sama sekali tidaklah menunjukkan dia suul khotimah, tidak pula pertanda dia orang yang buruk agamanya. Demikian pula orang yang meninggal karena junub, selama junub yang dia alami terjadi karena sebab yang mubah, seperti hubungan badan dengan istri atau mimpi basah.
Dulu ada sahabat yang digelari ‘ghasilul malaikah‘ (orang yang jasadnya dimandikan malaikat). Beliau adalah sahabat Handzalah bin Rahib radhiyallahu ‘anhu. Dalam kisahnya yang cukup terkenal, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Ishaq dan lainnya, Handzalah berangkat berjihad, mengikuti perang Uhud dalam kondisi junub, karena berhubungan dengan istrinya. Ketika jenazahnya dicari para sahabat di medan Uhud, mereka tidak menjumpainya. Sang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun memberi tahu, jenazahnya dimandikan Malaikat.
Hal yang sama juga dialami oleh Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang syahid di Medan Uhud. Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas:
أن حمزة رضي الله عنه استشهد وهو جنب
“Bahwa Hamzah radhiyallahu ‘anhu mati syahid dalam kondisi junub”
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan: Sanadnya diterima (riwayat hasan) (Fathul Bari, 3:212).
2. Kedua
wanita yang meninggal ketika haid atau orang yang meninggal dalam kondisi junub, cukup dimandikan sekali, menurut pendapat yang lebih kuat, sebagaimana layaknya memandikan jenazah pada umumnya. Status mandi jenazah sudah dianggap menutupi kewajiban mandi karena sebab junub atau haid.
An-Nawawi mengatakan
مذهبنا أن الجنب والحائض إذا ماتا غسلا غسلا واحدا , وبه قال العلماء كافة إلا الحسن البصري فقال : يغسلان غسلين . قال ابن المنذر : لم يقل به غيره
“Pendapat madzhab syafiiyah, bahwa orang yang junub atau wanita haid yang meninggal, cukup dimandikan sekali. Ini merupakan pendapat seluruh ulama, kecuali Hasan al-Bashri, yang berpendapat: ‘Dia dimandikan dua kali’. Ibnul Mundzir mengomentari pendapat ini: ‘Tidak ada yang berpendapat demikian, selain Hasan al-Bashri.” (al-Majmu’, 5:123)
Sebagaimana hal ini berlaku bagi orang hidup. Ketika ada 2 sebab yang mewajibkan mandi, misalnya junub dan hari jumat, cukup dilakukan mandi besar sekali. Diqiyaskan dengan hadats. Ketika seseorang mengalami beberapa hadats kecil, misalnnya kentut, tidur pulas, dan buang air kecil, semua cukup dihilangkan dengan sekali wudhu.
3. Ketiga
Akan tetapi Jika orang haid dan nifas keluar darah setelah dimandikan dan belum dikafani, maka harus dibersihkan dengan air. Tidak diharuskan mengulangi mandi.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Jika keluar najis dari kemaluan mayat setelah dimandikan dan belum dikafani, maka harus dibersihkan tanpa ada perbedaan. Dalam masalah mengulangi pembersihannya (mandi) ada tiga pendapat yang terkenal, yang paling kuat adalah tidak diwajibkan apapun. Karena dia telah keluar dari taklif (beban kewajiban) dalam masalah batal suci. Juga diqiyaskan seperti orang terkena najis dari orang lain. Maka cukup dibersihkan tanpa ada perbedaan.” (Syarh Al-Muhadzab, 5/138) Abu Al-Khattab –dari Hanabilah- memilih tidak mengulangi mandi dengan keluarnya hadats.” (Al-Kafi).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Apa yang disebutkan Abu Al-Khattab lebih dekat dengan kebenaran. Karena disana tidak ada yang mengharuskan mandi janabah. Semua hadats yang keluar dari mayat setelah mati tidak diwajibkan mandi. Dari sini, pendapat Abu Al-Khattab itu yang kuat bahwa ketika ada yang keluar setelah selesai dimandikan, maka dibersihkan tempat (keluarnya) dan berusaha untuk menghentikan sesuatu yang keluar kemudian diwudukan.” (As-Syarh Al-Kafi)
itulah tadi, Hukum Wanita Meninggal Saat Haid menurut islam. Semoga dapat menjadi referensi atau tambahan pengetahuan bagi anda sebagaimana artikel tujuan penciptaan manusia , hakikat penciptaan manusia, proses penciptaan manusia, keutamaan doa seorang ibu, amalan ibu hamil dalam islam dan doa ibu hamil untuk anak dalam kandungan . Serta semoga artikel ini dapat bermanfaat.