Istri Sebagai Pencari Nafkah Utama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam rumah tangga pemberian nafkah merupakan kewajiban dari suami. Tapi bagaimana hukumnya jika istri juga ikut dalam mencari nafkah? Kira-kira apa yang melatar belakanginya? Dan bagaimana dampaknya terhadap keluarga? Bagaimana pula pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai hal tersebut? Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk pemberian materi.

Pemberian nafkah terjadi setelah adanya ikatan perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan. Mayoritas ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah membebankan tugas mencari nafkah kepada pihak suami. Pertimbangannya, pihak suamilah yang melamar istri untuk dipersunting sehingga dia yang dibebankan menanggung kewajiban nafkah sehari-hari.

Dasar hukum nafkah dijelaskan dalam surat at-Talaq ayat 6-7, al-Baqarah ayat 233, dan an-Nisa ayat 34. Sedang dalam peraturan perundang-undangan tercantum dalam Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1-3.

Setelah laki-laki dan perempuan terikat dalam suatu ikatan perkawinan, maka sejak saat itulah muncul adanya hak kewajiban bagi keduanya. Hak dan kewajiban suami istri tersebut pada dasarnya terdiri dari tiga hal, yaitu: hak bersama suami istri, kewajiban suami kepada istri dan kewajiban istri kepada suami.

Hak dan kewajiban suami istri juga diatur dalam perundang-undangan diantaranya dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 30-34, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77-84.

Ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang istri sebagai pencari nafkah utama untuk keluarga. Pertama, faktor ekonomi, penghasilan suami yang kurang mencukupi karena tidak memiliki pekerjaan dan meningkatnya kebutuhan rumah tangga, atau suami telah meninggal dunia.

  • Dengan tidak adanya penghasilan dari suami membuat istri menjadi pencari nafkah utama, kondisi ekonomi ini umumnya yang memotivasi istri menjadi pencari nafkah utama dalam keluarganya.
  • Kedua, faktor perkembangan zaman, dimana banyak perempuan pada masa sekarang yang berperan dan berprofesi layaknya laki-laki, zaman yang semakin modern menimbulkan gaya hidup semakin maju dan harus terpenuhi.
  • Ketiga, faktor lingkungan, seperti adanya perbedaan kondisi geogrfis, pencaharian, serta pengetahuan masyarakat yang menyebabkan kehidupan sosial antara wilayah satu dengan wilayah lainnya berbeda.

Dampak yang timbul ketika istri menjadi pencari nafkah utama ada yang positif dan negatif. Dampak positifnya adalah hifz mal, tercukupinya kebutuhan ekonomi dalam keluarga, terpenuhinya pendidikan anak, dan adanya interaksi sosial. Adapun dampak negatifnya antara lain perilaku anak yang menyimpang karena kurangnya pendidikan moral langsung dari orang tua, suami maupun istri berpotensi melakukan perselingkuhan hingga berujung perceraian, dan melalaikan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu rumah tangga.

Dalam hukum Islam tidak melarang istri mencari nafkah asalkan tidak keluar dari syariat Islam. Istri justru yang berhak mendapatkan nafkah dari sang suami.

Hal tersebut sudah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dan an-Nisa ayat 34 yang menerangkan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada istri (keluarga).

Istri diperboleh mencari nafkah untuk keluarganya namun harus dengan izin suami, apalagi lagi jika suami sudah tidak sanggup lagi mencari nafkah untuk keluarganya dikarenakan alasan tertentu. Meskipun begitu, sang istri tidak boleh lalai dari tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang dimana harus melayani suaminya.

Fenomena istri yang memiliki pekerjaan juga sudah ada pada zaman Rasul Saw, yaitu istri beliau Siti Khadijah yang juga merupakan perempuan yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang, dan termasuk dalam saudagar kaya dari usaha perdagangannya.

Dari hal tersebut dapat kita jadikan contoh bahwa istri yang baik itu bukan istri hanya pandai merias diri saja, tapi juga harus pintar dalam mengurus dan membantu suami mengurusi rumah tangga. Dalam KHI dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat 1 dan 3 menjelaskan bahwa suami istri itu mempunyai kedudukan seimbang (untuk melakukan perbuatan hukum), dan berkewajiban memenuhi peran yang ia peroleh
sesuai dengan kemampuanya masing-masing. Ini diungkapkan dalam Pasal 31 ayat (3)

Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 79 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, bahwa suami berperan/bertugas sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Dengan adanya pembagian peran antara suami dan istri diharapkan kehidupan rumah tangga dapat terurus dengan baik. Juga dalam menjalankan sebuah keluarga antara suami maupun istri harus saling mencintai, menghormati, saling setia dan saling memberi bantuan lahir batin dari yang satu kepada yang lain (Pasal 33).

Meskipun suami berkewajiban memenuhi nafkah kepada istri dan anak namun masih terdapat kekurangan, maka istri dapat membantu meringankan beban suami dengan bekerja dan tidak melalaikan perannya sebagai ibu rumah tangga.

Jadi kesimpulannya bahwa hukum bagi istri sebagai pencari nafkah utama
adalah boleh. Perkembangan zaman yang semakin modern tidak menutup
kemungkinan bagi perempuan yang memiliki pendidikan yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan lebih baik daripada laki-laki.

Dengan peran istri sebagai pencari nafkah diharapkan dapat meringankan beban keluarga sehingga krisis ekonomi dapat teratasi. Akan tetapi yang harus tetap diperhatikan adalah istri tidak boleh lupa menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan konflik antara suami istri yang mengakibatkan permasalahan dalam keluarga.

fbWhatsappTwitterLinkedIn