Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa, yarisu, dan irsan yang memiliki arti mewarisi. Warisan merupakan perpindahan hak dan kewajiban dari kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang memenuhi syarat sesuai dengan rukun dalam mewarisi kekayaannya.
Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 171 huruf A, hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak untuk menjadi ahli waris beserta dengan pembagiannya masing-masing.
Menurut Ali ash Shabuny (1995:55), berikut yang menyebabkan seseorang menerima harta waris:
Alasan mengapa seseorang menerima harta waris adalah hubungan nasab seperti ibu, bapak, anak, saudara, dan hubungan kekerabatan lainnya. Dijelaskan dalam surat Al-Anfal ayat 8 (2) yang berbunyi bahwa pembagian warisan dalam Islam penerima warisan adalah orang tua, anak dan orang-orang yang bernasab bagi mereka.
Selanjutnya adalah pernikahan yang sah atau berstatus suami dan istri. Sekalipun sesudah pernikahan belum terjadi persetubuhan, namun secara sah berstatus menikah. Dan aturan warisan dalam Islam mengenai pernikahan yang batal atau fasid tidak berhak untuk menerima warisan.
Yakni hubungan antara budak dan orang yang telah memerdekakannya, apabila seorang yang memerdekakan budak tersebut tidak mempunyai ahli waris, maka ia berhak menerima sebagai ahli warisnya.
Yaitu seseorang yang tidak memiliki ahli waris, namun hartanya ditaruh untuk kepentingan umat muslim.
Seseorang yang berhak menerima harta warisan terbagi menjadi 3 golongan pembagian warisan menurut hukum Islam adalah sebagai berikut:
Ketika seseorang sudah meninggal dunia, pasti ia mewariskan hartanya kepada kerabatnya seperti keluarga, saudara, atau istrinya. Dan kekerabatan ini karena sebab hukum. Namun ahli waris dapat dinyatakan gugur atau tidak menerima warisan apabila masuk ke dalam kategori berikut ini:
Yakni apabila ahli waris membunuh pewaris maka ia tidak berhak dalam menerima warisan. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW :
لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنْ الْمَقْتولِ شَيْئاً
Artinya: “Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.” (HR. Darimi No. 2951).
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنْ تِرْكَةِ الْمَقْتُوْلِ شَيْئا (رواه النسائى)
Artinya: “Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.“
Dari kedua hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang pembunuh tidak berhak menjadi ahli waris dan ia tidak berhak mendapatkan harta dari pewaris. Karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan tercela karena ingin cepat mendapatkan harta waris. Hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Artinya: “Barang siapa ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dikenakan sanksi tidak boleh mendapatkannya.” (HR. Ash-Shabuni, 51)
Seorang muslim tidak dapat mewarisi harta kepada seseorang yang non muslim, sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ ولَا الْكَافِرُالْمُسْلِمَ
Artinya: “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, dijelaskan bahwa orang muslim dan non-muslim tidak bisa saling mewarisi. Allah SWT berfirman yang berbunyi:
فذلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ فَاَ نّٰى تُصْرَفُوْنَ
Artinya: “Maka itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)?” (QS. Yunus: 32).
Yakni seseorang yang berstatus sebagai budak tidak punya hak menjadi ahli waris. Disini adalah apabila pewaris masih memiliki kerabat, maka budak gugur menjadi ahli waris. Baik budak itu adalah sebagai qinun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka apabila tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati oleh kedua belah pihak). Ketahui juga hukum warisan ayah tiri.
Allah SWT berfirman berikut :
عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَا يَقْدِرُ عَلٰى شَيْءٍ
Artinya: “Hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu apa pun.” (QS. An-Nahl: 75).
Budak bisa menjadi ahli waris jika telah dimerdekakan, misalnya adanya perjanjian antara ia dengan tuannya. Allah berfirman:
فَكَا تِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا…
Artinya: “Hendaklah kalian membuat perjanjian dengan budak yang menginginkan kemerdekaan, jika kalian mengetahui ada kebaikan dari mereka.” (QS. An-Nisa: 33)
Dengan demikian, hal yang menggugurkan dalam menjadi ahli waris yaitu pembunuhan, perbedaan agama, dan budak yang menjadi penghalang untuk mendapat warisan. Demikianlah artikel penyebab yang menggugurkan hak waris, semoga dapat bermanfaat dan menambah informasi bagi kita semua.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…