Hukum Istri Bekerja di Luar Negeri, Bolehkah?

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Secara umum Suami adalah sosok sebagai tulang punggung keluarga, hal ini juga diwajibkan dalam ajaran Islam. Namun seiring perkembangan jaman, semakin banyak kaum Hawa yang mencari nafkah.

Ada yang dikarenakan kondisi yang mengharuskan mereka untuk mencari nafkah, dan ada pula yang memang ingin menambah dan membantu beban rumah tangga. Dan dalam hal ini bisa dibilang tergantung niat dari individunya.

Kita pasti pernah mendengar berita tentang penyiksaan yang diterima oleh TKW Indonesia yang bekerja di Arab Saudi atau sejumlah berita lainnya yang terkait dengan Tenaga Kerja Indonesia lainnya yang bekerja di luar negeri. Terutama yang sering terdengar adalah kisah atau berita Tenaga Kerja Wanita yang bekerja di luar negeri, rata-rata yang terdengar adalah kisah pilu walaupun tidak semuanya.

Bahkan TKW di Indonesia mayoritas adalah seorang istri ataupun seorang ibu yang meninggalkan anak-anaknya untuk mengais rezeki di negeri orang.

Lalu bagaimana hukumnya dalam kacamata islam tentang seorang istri yang bekerja di luar negeri? Berikut penjelasannya.

Perjalanan seorang perempuan ke luar negeri sebenarnya dilarang jika tidak ditemani mahram ya g dapat dipercaya. Kebanyakan para ulama melarang bagi perempuan untuk bepergian jauh dalam waktu yang lama tanpa mahram. Sedangkan yang kita ketahui waktu yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai TKW sangat lama dan bahkan bertahun-tahun baru kembali.

Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi Saw

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

“Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak diperbolehkan bepergian dalam jarak waktu satu hari satu malam tanpa ditemani mahramnya (HR. Bukhari)

Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Tabrani, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan lafadz yang sedikit berbeda namun bermakna sama.

Sedangkan Imam Muslim dan Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dengan lafadz berikut:

النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ، تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

Nabi Saw bersabda “Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak diperbolehkan bepergian dalam jarak waktu tiga malam kecuali ia bersama mahramnya”

Hadist yang lainpun berkata bahwa jarak yang boleh ditempuh sendirian oleh seorang perempuan adalah masafatul qashar, yaitu jarak perjalanan yang memperbolehkan seseorang boleh mengqashar shalat. Jika diangkakan yaitu sekitar 80 kilometer.

Namun hadist diatas tidak luput dari tafsiran lain. Ada beberapa ulama yang mempunyai pendapat bahwa larangan tersebut berlaku pada zaman dahulu karena kondisi yang tidak aman.

Sedangkan menurut Imam Syafi’i perempuan boleh bepergian asal bersama dengan mahram yang dapat dipercaya. Karena pada dasarnya yang mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami, sedangkan istri tidak dibebankan tanggung jawab dalam mencari nafkah.

Membantu boleh, namun jika dibebankan sepenuhnya kepada istri lebih baik jangan di lakukan. Hanya saja, jika bekerja sampai meninggalkan suami dan keluarga, seperti bekerja ke luar negeri, maka para ulama tidak membolehkan kecuali memenuhi tiga syarat berikut;

  • Pertama, suami sangat miskin sehingga tidak bisa memberikan nafkah minimal sehari-hari. Jika suami sangat miskin, baik karena tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau karena sakit tertentu sehingga tidak bisa bekerja, maka istri boleh bekerja di luar negeri.

Ini sebagaimana disebutkan Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berikut;

ومنها إذا خرجت لاكتساب نفقة بتجارة، أو سؤال أو كسب إذا أعسر الزوج

Di antara hal membolehkan istri keluar rumah adalah jika ia keluar untuk mencari nafkah, baik dengan berdagang, minta, atau usaha, jika suaminya miskin.

  • Kedua, aman dari fitnah dan gangguan selama bekerja, baik terhadap dirinya, hartanya, dan kehormatannya.
  • Ketiga, berangkat bersama mahramnya atau sesama perempuan yang bisa dipercaya, menurut sebagian ulama. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’ berikut;

هل يجوز للمرأة أن تسافر لحج التطوع أو لسفر زيارة وتجارة ونحوهما مع نسوة ثقاتأو امرأة ثقة ؟ فيه وجهان ..أحدهما يجوز كالحج والثاني وهو الصحيح باتفاقهم وهو المنصوص في الأم، وكذا نقلوه عن النص لا يجوز، لأنه سفر ليس بواجب.

Apakah boleh bagi perempuan berangkat untuk melaksanakan haji sunnah, atau berangkat ziarah, berdagang dan lainnya bersama perempuan yang terpercaya? Dalam masalah ini ada dua pendapat. Yang pertama adalah boleh, sebagaimana pergi untuk menunaikan haji wajib. Kedua, dan ini yang paling shahih menurut kesepakatan para ulama dan yang ditegaskan  dalam kitab Al-Umm, bahwa hukumnya tidak boleh karena hal itu bukan perjalanan wajib.

Akan tetapi berkaca pada rentetan kasus TKI yang kerap terjadi, baik pelecehan ataupun kekerasan menunjukkan bahwa bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri sangat beresiko. Selain jauh dari keluarga, pemerintah beberapa kali terlihat gagal dalam melindungi TKI.

Maka dari itu sebisa mungkin jika memang keadaan yang memaksa sangat istri sebagai pencari nafkah, sebisa mungkin menghindari pekerjaan sebagai TKW. Mencari lapangan kerja di dalam negeri sangat disarankan.

Selain untuk keamanan diri sendiri, para istri juga dapat mendampingi anak-anaknya yang membutuhkan pendampingan.

Semoga Allah senantiasa melapangkan rezeki untuk hambaNya yang senantiasa berusaha dan berdoa.

Wallahu a’lam bisshowab

fbWhatsappTwitterLinkedIn