Sebagai orang Indonesia, tentunya kita sudah tidak asing dengan istilah lamaran pernikahan. Beberapa orang menyebutnya sebagai tunangan. Lamaran atau tunangan merupakan prosesi dimana calon pengantin pria berserta keluarganya datang ke rumah calon pengantin wanita dengan tujuan meminang secara resmi. Biasanya acara lamaran juga menjadi ajang perkenalan keluarga. Diikuti pula dengan pemberian seserahan dan tukar cincin antar kedua calon. Konsep acara lamaran bisa berbeda-beda bergantung pada adat masing-masing.
Lalu bagaimana islam memandang tentang prosesi lamaran sebelum nikah? Apakah lamaran ini memang diajarkan oleh Rasul dan Sahabat? Bagaimana hukumnya? Nah, berikut ini ulasan tentang hukum lamaran pernikahan menurut islam.
Pandangan Islam terkait Lamaran
Dalam islam, lamaran dikenal dengan istilah “khitbah” yang berarti meminang. Ini merupakan proses dimana laki-laki datang menemui wali si wanita untuk meminta ijin menikahinya. Pada saat mengkhitbah, laki-laki boleh datang secara langsung ataupun diwakilkan. Boleh juga mengajak anggota keluarga ataupun datang sendirian. Kemudian pihak wanita nantinya harus memberikan jawaban apakah iya atau tidak. Apabila kedua belah pihak sudah setuju, maka status si peminang akan menjadi khootoban. Sedangkan wanita yang dipinang menjadi makhthuuban.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang yang telah meminang seorang perempuan: “Melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan”. (HR al-Thirmizi dan al-Nasai)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum lamaran (khitbah) dalam islam adalah diperbolehkan. Namun islam tidak mengenal istilah tunangan. Dan untuk adat tukar cincin juga tidak pernah diajarkan dalam islam.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Prosesi Khitbah
Proses lamaran atau khitbah tentunya harus dilakukan secara syar’i sesuai aturan agama. Nah, berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan khitbah:
- Pihak Laki-Laki Dianjurkan Melihat Wanita
Tata cara pernikahan dalam islam biasanya diawali dengan khitbah, dimana pihak laki-laki dianjurkan untuk melihat calon wanita yang hendak dilamar. Ini bisa dilakukan dengan mengutus orang lain atau datang melihat secara langsung. Untuk bagian fisik yang boleh dilihat menurut jumhur ulama hanya pada bagian wajah dan telapak tangan saja. Kedua bagian tersebut sudah cukup menunjukkan kecantikan, kesuburan, kebersihan dan kesehatan si wanita.
Dalam suatu hadist dijelaskan:
“Bahwa Rasulullah saw mengutus Ummu Sulaim kepada seorang perempuan, Rasulullah saw berkata kepada Ummu Sulaim, ‘Lihatlah urat di atas tumitnya dan ciumlah bau mulutnya‘” (HR. Ahmad).
Dari Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata bahwa Mughirah bin Syu’ban berkata, “Aku datang kepada Nabi SAW, lalu aku sebutkan seorang wanita yang akan aku khitbah. Beliau bersabda, Pergilah dan lihatlah ia, maka sesungguhnya hal itu lebih pantas untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada seseorang yang akan menikahi wanita: ‘Apakah engkau telah melihatnya? Dia berkata: “Belum”. Beliau bersabda: ’Maka pergilah, lalu lihatlah padanya. ” (HR. Muslim)
Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang perempuan, maka jika ia bisa melihat dari perempuan itu apa yang dapat menyerunya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya. Jabir berkata: aku meminang seorang perempuan maka aku bersembunyi terhadapnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, kemudian aku menikahinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
- Kriteria dan Sifat Calon yang Dipertimbangkan
Jika untuk melihat wanita, terdapat 4 hal yang bisa dilihat yakni agama, harta, keturunan dan kecantikan. Dari keempat faktor tersebut dianjurkan agar mengutamakan agama. Sebab kriteria istri yang baik dan ciri wanita yang baik untuk dinikahi menurut Islam adalah seseorang yang ilmu agamanya bagus. Dengan demikian bisa terwujud kehidupan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Dinikahi wanita karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya, maka utamakanlah yang punya agama sehingga kamu akan beruntung.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Sedangkan bagi wanita, cara memilih calon pendamping hidup sesuai syariat I=islam hendaknya mengutamakan agama dan akhlak si laki-laki. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” (HR. at-Tirmidzi)
- Jawaban Wanita Saat Dilamar
Ketika seorang laki-laki datang melamar wanita, maka wali wajib meminta persetujuan dari si wanita. Orang tua tidak boleh mengambil keputusan sendiri tanpa izin dari anaknya. Untuk cara menjawabnya, tidak harus melalui lisan. Biasanya wanita cenderung malu-malu. Maka jika ia diam itu berarti menjadi pertanda bahwa ia ridha dan setuju dengan lamaran tersebut.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya), Mereka bertanya “Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab ‘Jika dia diam’”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
- Wanita yang Telah Dikhitbah Maka Statusnya Terikat
Apabila proses khitbah telah disetujui kedua belah pihak keluarga, serta telah direncakan tanggal pernikahan dan sebagainya, maka status wanita yang dipinang menjadi terikat. Ia tidak boleh menerima lamaran dari orang lain kecuali lamaran pertama telah dibatalkan.
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya “ ( HR Muslim)
Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata: “ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari)
- Lamaran Tidak Harus Diramai-Ramai
Terdapat suatu hadist yang menjelaskan bahwa prosesi lamaran atau khitbah tidak harus diramai-ramai atau dimeriahkan berlebihan.
“Umumkanlah pernikahan dan rahasiakanlah khitbah (lamaran)” (Hadist ini diriwayatkan oleh ad-Daylami dalam Musnad al-Firdaus)
Dalam as-Silsilah ad-Dha’ifah dan dalam Dha’if al-Jami’ as-Shaghir, Syaikh Al-Albani rahimanullah, beliau mengatakan bahwa hadist diatas bersifat lemah (dhaif). Namun untuk masalah pernikahan memang dianjurkan untuk diumumkan.
- Diharamkan Berduaan
Walaupun telah berstatus calon pengantin dan proses khitbah telah resmi dilakukan, namun kedua pasangan tetap dilarang berkhalawat berduaan. Bila memang ingin bertemu karena urusan penting maka harus ditemani oleh walinya. Ingat, berduanya wanita dan pria yang bukan muhrim bisa mendatangkan godaan syaitan. Jadi cukuplah bertaaruf di rumah wali. Percayalah akan indahnya menikah tanpa pacaran.
Hukum Tukar Cincin Saat Lamaran Menurut Islam
Umumnya masyarakat Indonesia melakukan prosesi tukar cincin saat acara lamaran. Bagaimana islam memandang hal tersebut? Perlu diketahui bahwa islam tidak pernah mensyariatkan tukar cincin saat khitbah. Terlebih lagi bila itu cincin emas, maka laki-laki haram menggunakannya. Sebagaimana hadist dibawah ini:
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Emas dan sutra dihalalkan bagi para wanita dari umatku, namun diharamkan bagi para pria.” (HR. Ahmad dan an-Nasaai)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang cincin emas (bagi laki-laki)”. (Muttafaqun ‘alaihi).
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Memakai emas haram bagi kaum laki-laki, baik bentuknya cincin, kancing baju, kalung atau selain dari itu.” (Majmu’ Rasail: 11/99)
Lalu bagaimana jika cincin yang dikenakan pria bukanlah cincin emas. Apakah diperbolehkan?
Syaikh al Fauzan hafizhahullah menjelaskan: “Adapun cincin tunangan, maka ini bukanlah berasal dari budaya kaum muslimin. Ia dipakai saat akan dilaksanakannya pernikahan. Tidak boleh memakai cincin tunangan karena beberapa alasan, karena hal tersebut meniru tradisi kaum (kafir) yang tidak ada kebaikannya sedikitpun. Ia adalah tradisi baru yang masuk ketengah-tengah kaum muslimin, bukan dari tradisi umat Islam.
Syaikh bin Baz yang ditanya tentang hukum tukar cincin saat tunangan dan beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui budaya ini berasal dari syariat, sehingga lebih utama ditinggalkan.” (Fatawa Ulama Baladul Haram)
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan tentang hukum tukar cincin dalam islam: “Cincin nikah yang biasa digunakan adalah emas. Padahal emas sama sekali tidak punya pengaruh bagi yang mengenakannya. Sebagian orang yang mengenakan cincin pernikahan ini terkadang membuat ukiran di emas tersebut dan diserahkan pada istrinya. Begitu pula si istri diukir namanya di cincin dan diberikan pada suaminya. Mereka meyakini bahwa tukar cincin semacam ini akan lebih merekat ikatan cinta diantara pasangan suami istri. Dalam kondisi seperti ini, cincin pernikahan bisa jadi haram karena cincin menjadi sandaran hati padahal hal tersebut tidak dibolehkan secara syar’i maupun terbukti dari segi keilmiahan. Begitu pula tidak boleh menggunakan cincin nikah yang dikenakan oleh pasangan yang baru dilamar, karena jika belum ada akad nikah, si wanita belumlah menjadi istri dan belum halal baginya. Wanita tersebut bisa halal bagi si pria jika benar-benar telah terjadi akad.” (al-Fatawa al-Jami’ah lil Mar-ah al-Muslimah).
Jadi kesimpulannya, hukum lamaran dalam islam adalah sama dengan khitbah yakni dianjurkan. Namun tidak ada perintah syar’i untuk melakukan tukar cincin. Demikian penjelasan dari kami. Semoga bermanfaat.