Apakah penisbatan nama suami dibelakang nama istri tidak diperbolehkan? Buya Yahya menyampaikan, yang diharamkan mutlak, tidak ada tawar adalah dengan sengaja merubah nasab.”Merubah nasab dengan sengaja, haram,” tegas Buya Yahya.
قوله على ابن أبي وكان رئيس الخزرج وينسب لأيبه وأمه. فأبوه أبي وأمه سلول. وكان اسمه عبد الله اهـ شيخنا
Artinya: “(Abdullah bin Ubay bin Salul) bin Ubay adalah pemuka Khazraj. Ia dinisbahkan kepada bapak dan ibunya. Bapaknya bernama Ubay. Ibunya bernama Salul. Namanya sendiri adalah Abdullah sebagai keterangan guru kami,” (Lihat Syekh Sulaiman Umar Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqa’iqil Khafiyyah, Beirut, Darul Fikr, 2003 M/1423 H, juz III halaman 302).
Pencantuman nama orang tua dibelakang nama anak biasanya dipakai untuk sejumlah kepentingan. Salah satunya pencantuman nama itu bermaksud untuk penegasan lain yang bukan orang tua kandung dibelakang nama seseorang terhitung aib yang sangat tercela dalam islam seperti yang disebutkan Rasulullah SAW berikut ini:
عن أبي ذر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رجل ادعى لغير أبيه وهو يعلمه إلا
Artinya, “Dari Abu Dzar, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Tiada seorangpun yang menisbahkan diri kepada selain bapaknya dengan sengaja melainkan ia menjadi kufur,’” (HR Bukhari).
Penjelasan hadits di atas diulas oleh Badruddin Al-Aini dalam ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari berikut iin:
ويروي إلى غير أبيه قوله وهو يعلمه جملة حالية أي والحال أنه يعلم أنه غير أبيه وإنما قيد بذلك لأن الإثم يتبع العلم وفي بعض النسخ إلا كفر بالله ولم تقع هذه اللفظة في رواية مسلم ولا في غير رواية أبي ذر فالوجه على عدم هذه اللفظة أن المراد بالكفر كفران النعمة أو لا يراد ظاهر اللفظ وإنما المراد المبالغة في الزجر والتوبيخ أو المراد أنه فعل فعلا يشبه فعل أهل الكفر
Artinya:
“(Kepada selain bapaknya) dan (dengan sengaja) kalimat hal atau penunjuk waktu kekinian. Artinya ia saat itu sadar bahwa nama penisbahan di belakang namanya itu bukanlah bapaknya. Penisbahan itu dikaitkan dengan kesengajaan karena kesalahan dianggap dosa ketika dilakukan dengan sengaja. Sebagian naskah menyebut, ‘kufur kepada Allah’ yang mana hal ini tidak terdapat dalam riwayat Muslim. Dan tidak ada pada riwayat selain Abu Dzar. Tidak adanya penyebutan ‘kufur kepada Allah’ bisa jadi dipahami sebagai kufur nikmat atau maksudnya tidak seperti yang tertera secara harfiah. Tetapi maksudnya adalah penegasan larangan dan aib atas penisbahan seseorang kepada orang lain yang bukan bapak kandungnya. Hadits itu juga bisa dipahami bahwa penisbahan itu merupakan perilaku yang serupa dengan perbuatan orang kafir,” (Lihat Badruddin Al-Aini, ‘Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, juz 24, halaman 35).