Dalam pernikahan hubungan bukan hanya berlandaskan persetujuan antara sang istri dan suami, pun peran orang tua di dalamnya. Bukan menyatukan pihak wanita dan laki-laki, juga menyatukan keluarga dari keduanya. Pernikahan adalah ikatan sakral yang tujuannya saja beribadah dan jalan untuk menyempurnakan separuh agama.
Pernikahan terjadi atas persetujuan antara kedua belah pihak untuk saling berkomitmen dalam melanjutkan hubungan yang sah dan bersedia hidup bersama menjadi keluarga baru. Dan persetujuan tidak lepas kaitannya dengan restu orang tua.
Orang tua pasangan yang kita sebut mertua telah menjadi bagian dari keluarga kita karena sejatinya orang tua pasangan adalah orang tua kita sendiri. Jika bukan mereka yang merestui, tidak mungkin kini anaknya menjadi pasangan kita.
Jika kita mendapati situasi harus menafkahi orang tua pasangan atau mertua lantas bagaimana dalam pandangan Islam? Apakah kita berkewajiban atas nafkah orang tua pasangan kita?
Seorang lelaki yang telah menikah wajib untuk menafkahi istri dan anaknya, karena kewajiban suami sebagai kepala keluarga memang seperti itu, bahkan Allah berfirman dalam Al-Quran,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
Artinya : “Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 233).
Namun, suami tidak diwajibkan atas nafkah kepada mertuanya. Harta suami dibolehkan untuk menafkahi mertua jika suami dengan ikhlas dan ridha memberi kepada mertua secara suka rela.
Siapakah orang yang wajib menafkahi mertua?
Orang yang wajib menafkahi mertua adalah anaknya sendiri yang memang harta dari anak-anaknya sendiri. Sekiranya istri memiliki harta lebih dari kebutuhannya yang bukan harta milik suaminya (harta pribadi), maka wajib baginya untuk menafkahi kedua orang tuanya yang fakir.
Karena membantu kedua orang tua sudah menjadi tugas anak-anaknya. Perbuatan tersebut juga sebagai bakti anak kepada orang tua yang telah merawat dan menjaga kita hingga tumbuh menjadi dewasa dan bahkan memiliki keluarga sendiri.
Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban dan adab-adab yang harus ditunaikan seorang anak kepada orang tuanya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran,
وا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Artinya : “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra : 23)
Salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua adalah dengan cara berbakti kepada mereka. Bahwa, suami berkewajiban berbakti kepada orang tuanya dan istri berkewajiban berbakti kepada orang tuanya. Masing-masing, baik suami atau istri, juga berkewajiban agar pasanganya bisa berbakti kepada orang tuanya.
Apalagi membantu keadaan di masa tua mereka, sebab kita pun akan menjadi tua kelak. Ibnul Mundzir berkata, “Telah sepakat ahli ilmu bahwa nafkah kedua orang tua yang fakir tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah sebuah kewajiban pada harta seorang anak.” (Al-Mughni).
Dalam hadits di atas juga menjelaskan bahwa orang tua memiliki hak atas harta anaknya. Maka boleh bagi orang tua untuk menggunakan harta anaknya, tentu dengan beberapa syarat di bawah ini :
- Mengambil sebatas yang tidak bermudharat bagi anaknya
- Tidak mengambil harta yang berkaitan dengan kebutuhan anak
- Tidak mengambil untuk diberikan kepada anaknya yang lain. Dan sebagian ulama menjelaskan hal tersebut hanya diperbolehkan dalam kondisi ketika orang tua membutuhkan saja
Namun, suami boleh membantu menafkahi mertua jika memang atas dasar niatan dari Allah SWT dan tidak merasa terbebani. Jika menantu memiliki kelebihan harta dan ingin membantu mertuanya dalam menafkahkan hidup, tentu hal itu sangat dibolehkan dengan syarat harus niat atas dasar keinginan diri sendiri. Tidak merasa dipaksa dan terbebani.
Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW, dari Jubir bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Mulailah (nafkah) dari dirimu, jika berlebih, maka nafkah itu untuk ahlimu, jika berlebihan, maka nafkah berikutnya untuk kerabatmu, jika masih berlebih, maka untuk orang di antaramu, sebelah kananmu dan sebelah kirimu.” (HR. Muslim).
Sebagian ulama juga menjelaskan bahwa orang tua boleh dinafkahkan ketika kondisi (mertua) itu harus ditolong kebutuhan. Jika masih dalam keadaan mampu, nafkahnya menjadi tidak wajib. Ibnu al-Qayim juga menjelaskan bahwa kewajiban nafkah tersebut itu pada saat kondisi mertua membutukan secara finansial.
Sebagaimana Ibnu al-Mundzir menukil: para ulama telah konsensus bahwa nafkah mertua yang fakir dan tidak memiliki sumber pendapatan itu menjadi wajib nafkah anak.
Sedangkan, Syekh Athiyah Shaqr berpendapat bahwa memberi nafkah kepada mertua tidak terbatas pada formalistik dengan kadar yang terbatas, tetapi sebagaimana hajat-hajat mereka terpenuhi sehingga mereka terhormat dan termuliakan.
Dalam pandangan hukum nasional, sebagaimana ditegaskan dalam KUHPer (Pasal 321-Psal 322) : “Setiap anak wajib memberi nafkah orang tua dan keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, bila mereka ini dalam keadaan miskin. Menantu laki-laki dan perempuan juga dalam hal-hal yang sama wajib memberi nafkah kepada mertua mereka, tetapi kewajiban ini berakhir:
- Bila ibu mertua melangsungkan perkawinan kedua ;
- Bila suami atau istri yang menimbulkan hubungan keluarga semenda itu dan anak-anak dan perkawinan dengan istri atau suaminya teleh meninggal dunia.
Jadi, kita sangat dianjurkan membantu kebutuhan nafkah mertua yakni orang tua dari pasangan kita sendiri sekiranya memang benar-benar membutuhkan bantuan. Karena bagaimana pun hal tersebut termasuk ke dalam perbuatan terpuji. dan Allah SWT menyukai orang-orang yang melakukan perbuatan terpuji.