Dalam pernikahan Dihampir setiap kesempatan yang mengharuskan seseorang mencantumkan nama. Semisal nama di kartu undangan pernikahan pasti sederetan gelar mengiringinya.
Bahkan ada beberapa orang yang tidak suka bila gelarnya tidak dicantumkan. Padahal sama sekali tidak ada relevansinya antara pernikahan dengan gelar akademis. Baca juga Hukum Hantaran Pernikahan dalam Islam
Jika terbesit niat menimba ilmu hanya untuk serangkaian gelar maka segeralah perbaiki niatan itu. Syaikh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar Al-Anshari membacakan syairnya pada Abu Hanifah, “Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran. Dan, kerugian bagi orang yang menuntut ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.”
Dalam Alquran banyak ayat ditemukan, tentang pemberian penghormatan dan derajat yang diberikan Tuhan, terhadap orang yang berilmu. Diantaranya:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantaramu, dan beberapa derajat lebih tinggi orang yang berilmu pengetahuan “ (QS. Al-Mujadilah 11).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya hanyalah ulama (Orang berilmu) (QS. Fathir 28).
Tidaklah sama orang yang berilmu pengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahun (QS.Al-Zumar :9 ).
Berdasarkan ketiga ayat tersebut, maka jelaslah bahwa Tuhan sendiri mengakui ketinggian derajat orang berilmu pengetahun, dibanding yang lain sekalipun sama-sama beriman tapi tidak berpengetahuan. Baca juga Hukum Menentukan Mahar dalam Islam
Karena hikmah dan ilmu yang telah diberikan kepada rasul-rasul, maka beberapa rasul mempunyai gelaran sesuai penugasan dan pendekatannya dengan Tuhan, misalnya Nabi Ibrahim gelarannya “ Khalil Allah “ ( Sahabat Tuhan ), Nabi Musa “Kalam Allah” (Teman dialog Tuhan ), Nabi Isa digelar “Ruh Allah” ( Nyawa Tuhan ) dan Nabi Muhammad bergelar “ Habib Allah “ ( Kekasih Allah ).
Gelaran lain terutama kepada Nabi Muhammad SAW masih banyak, seperti gelaran Muhammad Madinat al’ilm ( Kotanya ilmu ), Akhirul Anbiyai wa al-mursalin ( Penutup segala Nabi dan rasul), Asyraful mursalin ( Rasul termulia ) dsb. Baca juga Hukum Menghadiri Resepsi Pernikahan
Begitu tingginya penghormatan Tuhan kepada nabi Muhammad maka cara memanggilnya tidak pernah menyebutnya “ Ya Muhammad ” ( Hai Muhammad ). Tetapi nabi dipanggilnya dengan gelaran yang sangat etis, misalnya “ Ya ayyuha al-Nabiyyu “ (Wahai segala Nabi-nabi ) ( jamak ).
Padahal mestinya Ya Nabi ( mufrad ), karena Nabi cuma seorang. Maknanya, semua panggilan dalam bentuk jamak padahal orangnya cuma seorang, menurut rahasia Bahasa Arab adalah penghormatan yang tinggi. Seperti juga jika kita berjumpa yang diucapkan “Assalamu Alaikum” ( Semoga kamu sekalian senantiasa dalam keselamatan dan kesejahteraan ).
Dari contoh – contoh gelaran Alquran dan Sunnah tersebut, dipahami bahwa memberikan gelar dan pemakaian gelar dalam pernikahan itu dalam etika Islam adalah Mubah (Dibolehkan), sepanjang bukan dengan niat riya’ ( pamer ). Baca juga Hukum Menolak Pernikahan Dalam Islam
Sama dengan kebiasaan di Sulsel, jika orangnya hebat digelari “ Daeng Patompo” atau yang putih dengan gelaran “ Daeng Kebo”, dsb. Dan tentu akan lebih wajar lagi jika gelar itu dari Perguruan Tinggi, setelah selesai studi S1, S2 dan S3 semisal Drs, Master dan Doktor. Namun kita tanamkan niat pada diri masing-masing karena hanya kita yang dapat mengelolanya.