Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan diikat melalui akad yang kuat. Seorang laki-laki dan perempuan menikah untuk menjalankan ibadah dan agar terhindar dari perilaku zina. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau iitsaaqon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk membangun rumah tangga yang islami dan dapat menjaga keharmonisan rumah tangga serta merupakan salah satu amal ibadah. Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj berasal dari bahasa Azzawa’ju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri,ganjil).Maka dikatakan bagi laki-laki dan wanita (yang menikah). Sebagai Alzawjani (sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa secara istilah pernikahan diartikan sebagai perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja,begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperbolehkan oleh syariat. Dalam pernikahan terdapat kewajiban suami terhadap istri dan begitu pula kewajiban istri terhadap suami yang harus ditaati.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat An-Najam ayat 45 yang bunyinya :
“Dan bahwasannya Dia-lah yangmenciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. “(An-Najam:45).
Islam mengatur segala masalah perkawinan dengan sangat jelas dan teperinci, agar umat manusia dapat hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amatmulia di tengah-tengah mahluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki denganperempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai al-Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya. Pernikahan memiliki rukun dan syarat-syarat akad nikah.
Bahaya Hamil diluar Nikah
Bagi seorang gadis yang akan menikah tentunya dia masih berstatus single atau belum pernah kawin dan itu berarti ia tidak pernah hamil atau melahirkan. Namun dewasa ini banyak sekali persoalan dimana gadis yang menikah sedang hamil dan ini seperti menjadi persoalan yang umum di masyarakat meskipun dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan penyakit masyarakat. Seorang gadis yang hamil sebelum menikah maka dapat dipastikan bahwa kehamilannya itu diluar nikah atau akibat perbuatan zina. Pernikahan yang dilaksanakan biasanya untuk menutupi aib atau hal tersebut. Biasanya gadis tersebut dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Dalam hukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual antara pria danwanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Dalam hukum Islam Zina dikategorikan menjadi dua yakni :
- Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah.
- Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau gadis.
Hamil diluar nikah adalah sesuatu yang sangat tabu di Indonesia dan merupakan hal yang masuk kategori zina dalam Islam. Larangan zina dalam islam sangatlah jelas. Hamil di luar nikah merupakan perbuatan zina yang seharusnya dihukum dengan kriteria Islam. Ketika hamil diluar nikah telah terjadi maka akan muncul masalah yaitu aib bagi keluarga.Dengan terjadinya hamil diluar nikah, maka pasangan tersebut diharuskan untuk segera menikah demi melindungi keluarga dari aib yang lebih besar.
Hal- hal yang memotivasi seorang laki-laki mau menikahi wanita hamil karena zina adalah:
- Untuk menutup aib si wanita yang dihamilinya
- Harus bertanggung Jawab dengan perbuatan yang dilakukannya, karena telah menghamili wanita tersebut, walaupun sebenarnya mereka tidak menginginkan kehamilan tersebut
- menutup aib keluarga baik keluarga pria atau wanita dan menghindari ghibah (baca juga manfaat menghindari ghibah dan cara menghindari ghibah)
Hukum Menikahi Wanita Hamil
Ada beberapa hal yang mengatur hukum menikahi wanita hamil yakni berdasarkan kompilasi hukum islam (KHI), pendapat ulama-maupun undang-undang negara. Simak penjelasan berikut ini :
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa hukumnya sah menikahi wanitahamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menghamilinya. Bilayang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sahkarena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu. Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkantanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir
Ketentuan ini adalah sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur ayat (3) yang menyebutkan bahwa laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkanperempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yangberzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yangmusyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.”
2. Menurut Hukum Islam
Tentang hamil diluar nikah sendiri di dalam islam sudah di ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Hal itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karenazina? Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut diantaranya sebagai berikut :
a. Ulama Syafi’iah
Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina,baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.
b. Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa:22,23,24.yang artinya :
‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahioleh ayahmu,kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). “(Q.S An-Nisa (22)
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yangperempuan; saudara-audaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmuperempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan darisaudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamuceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalamperkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi padamasa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang,”(Q.S An-Nisa (23) )
“Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuanyang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Iniadalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalianperempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikanharta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karenakalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalahkewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudahterjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan mahabijaksana.”(Q.S.An-Nisa (24) )
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itudipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak adamasa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab(keturunan) anak yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkananak tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luarnikah).
c. Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyaah berpendapat bahwa wanita yang berzina, baik atas dasar suka sama suka atau diperkosa, hamil atau tidak, ia wajib istibra. Bagi wanita merdeka dan tidak hamil, istibra’nya tiga kali haid, sedangkan bagi wanita budak istibra’nya cukup satu kali haid, tapi bila ia hamil baik wanita merdeka atau wanita budak istibra’nya sampai melahirkan. Dengan demikian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, apalagi ia bukan yang menghamilinya. Bila akad nikah tetap dilangsungkan dalamkeadaan hamil, akad nikah itu fasid dan wajib difasakh
d. Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik dengan laki-laki bukan yang menzinainya terlebih lagi dengan laki-laki yang menzinainya, kecuali wanita itu telah memenuhi dua syarat berikut : pertama, telah habis masa iddahnya. Jika ia hamil iddahnya habis dengan melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilangsungkan dalam keadaan hamil maka akad nikahnya tidak sah.kedua, telah bertaubat dari perbuatan zina
3. Menurut Undang-undang
Dalam undang-undang negara yang menyangkut pernikahan tidak menyebutkan pernikahan perempuan yang hamil secara eksplisit. Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa “ perkawinan adalahsah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu”Jadi Perkawinan wanita hamil karena zina sah sesuai dengan pasal 2 ayat 1Undang-Undang Perakwinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga harus memenuhi syarat- syaratsahnya suatu perkawinan seperti yang telah diuraikan diatas.
Demikian penjelasan tentang hukum menikahi wanita hamil. Sebaiknya kita menghindari hal-hal tersebut dan hindari pacaran dalam islam karena tidak diperbolehkan. Hendaknya mencari jodoh dengan kriteria yang tidak baik (baca kriteria calon suami yang baik dan kriteria calon istri yang baik). Lebih baik jika memilih jodoh lewat taaruf daripada pacaran. Orang tua sebaiknya mengetahui cara mendidik anak yang benar dan menanamkan nilai dan fungsi agama dalam hidupnya. Orangtua juga berperan dalam memberi petunjuk bagaimana cara memilih pendamping hidup yang baik agar anaknya tidak terjerumus dalam perbuatan zina.