Menikah dalam Islam merupakan wahana bagi manusia untuk saling berkasih sayang dan memperoleh ketenteraman antara laki-laki dan wanita.
Menikah sangat dianjurkan dalam Islam karena dengan menikah maka kebutuhan naluri manusia yang paling mendasar dapat terpenuhi, dan memperoleh ketenangan hidup.
Tujuan pernikahan dalam Islam lainnya adalah untuk membentengi akhlak, meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, memperoleh keturunan yang shalih, serta menegakkan rumah tangga yang Islami.
Pernikahan hanya akan terjadi manakala ada wali. Dalam artian, jika seorang wanita menikah tanpa wali maka pernikahahannya menjadi batal. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wanita mana saja yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Wali merupakan salah satu rukun nikah dalam Islam yang mengacu pada orang tua mempelai wanita dan pihak-pihak lainnya sesuai dengan urutan wali nikah dalam Islam dan memenuhi syarat wali nikah. Hal ini berlaku bagi wanita yang lahir dari pernikahan yang sah.
Bagaimana jika wanita yang akan dinikahkan tidak memiliki wali karena merupakan anak luar nikah?
Anak luar nikah biasanya mengacu pada anak hasil dari perbuatan zina dari kedua orang tuanya. Zina dalam Islam merupakan perbuatan yang keji dan termasuk dalam dosa besar.
Karena itu, sebagai umat Islam hendaknya kita menerapkan cara menjauhi zina dan terus memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari perbuatan zina. Allah SWT berfirman dalam surat Al Isra’ ayat 32 yang artinya,
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al isra’ : 32)
Hukum menikahi wanita hamil karena zina tergantung pada beberapa kondisi. Wanita yang hamil karena zina boleh dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dengan syarat keduanya telah bertaubat dengan taubat nashuha sesuai dengan tata cara menghapus dosa zina dan keduanya bersedia untuk dinikahkan.
Hal ini didasarkan pada fatwa dari para sahabat dan kesepakatan para ulama. Adapun anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya atau laki-laki yang menzinai ibunya. Hal ini merupakan kesepakatan mahzab yang empat.
Jika laki-laki yang akan menikahi wanita yang hamil karena zina adalah bukan laki-laki yang menzinainya maka hal itu tidak diperbolehkan kecuali setelah wanita tersebut melahirkan.
Hal ini didasarkan pada pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik rahimahullah. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alalihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah ia menyiramkan air (maninya) ke anak orang lain (yang sedang dikandung oleh wanita yang hamil dari orang lain). (HR. Tirmidzi).
Adapun anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya atau laki-laki yang menzinai ibunya), dan juga bukan dinasabkan kepada bapak yang menikahi ibunya.
Mahzab yang empat sepakat bahwa anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Ia dinasabkan kepada ibunya bukan bapak biologisnya.
Konsekuensinya adalah anak hasil zina atau anak luar nikah tidak memiliki bapak dan tidak saling mewaris dengan bapak biologisnya.
Jika anak luar nikah berjenis kelamin wanita, maka yang menjadi wali nikahnya adalah sulthan karena sejatinya ia tidak memiliki wali. Hal ini didasarkan pada riwayat dari ‘Aisyah rahdiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sulthan adalah sebagai wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum mewalikan anak luar nikah hanya boleh dilakukan oleh sulthan.
Hal ini dikarenakan, hukum anak yang lahir diluar nikah tidak memiliki nasab kepada bapak biologisnya maupun bapak yang menikahi ibunya. Akibatnya, anak tersebut tidak memiliki wali dan hak perwalian jatuh pada sulthan.
Demikianlah ulasan singkat tentang hukum mewalikan anak luar nikah. Semoga bermanfaat.