Hukum Nikah tanpa Wali Kandung

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Hukum Nikah tanpa Wali Kandung – Perlu sobat ketahui dengan jelas bahwa sebuah makna pernikahan itu hanya sah bila melalui proses akad nikah. Dan yang namanya akad nikah itu hanya dilakukan oleh seorang bapak kandung dari seorang anak wanita dengan calon menantunya. Akad nikah tidak pernah dilakukan oleh sepasang calon pengantin, apalagi oleh orang lain. Benarlah Rasulullah SAW ketika bersabda,”

Tidak ada akad nikah kecuali (yang dilakukan oleh) wali mursyid dan (disaksikan) oleh dua orang saksi yang adil). Siapapun wanita yang menjalani pernikahan namun tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil (3 kali).

Wali Nikah Harus Pihak yang Memenuhi Syarat

Karena akad nikah itu memang hanya dilakukan oleh dua orang laki laki. Yang pertama adalah bapak kandung dari seorang wanita. Yang kedua adalah calon suami. Bila bapak kandung itu mengucapkan kepada calon suami,”Aku nikahkan kamu dengan putriku”, lalu calon suami menjawab,

“Ya”, maka tali ikatan pernikahan otomatis sudah terbentuk, bila kejadian itu disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi 6 syarat, yaitu: keduanya muslim, laki laki, merdeka, aqil, baligh dan dilarang tidak adil. Siapa pun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya.

Kalau pun dilakukan juga, maka pernikahan itu tidak sah, baik secara hukum agama, apalagi hukum negara. Kalau pasangan itu nekad kawin juga bahkan melakukan hubungan suami istri, maka perbuatan itu zina yang berhak untuk dieksekusi rajam atau cambuk 100 kali plus diasingkan selama setahun. Siapapun yang mengangkat diri menjadi wali tanpa ada izin sah dari bapak kandung, lalu menikahkan pasangan, berhak masuk neraka karena telah menghalalkan perzinaan yang nyata dilarang oleh semua agama.

Kedudukan Wali Kandung dalam Pernikahan

peran ayah kandung tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali hingga kapan pun. Meski bapak tersebut tidak pernah memberi nafkah atau menghilang tak tentu rimbanya. Namun urusan menjadi wali tidak ditentukan oleh sebab perhatian atau perlakuannya kepada anak istri.

Mungkin secara perasaan boleh saja ibu  sobat tidak mau menerima kehadiran mantan suaminya. Hal itu sangat bisa dimaklumi. Tapi untuk sahnya sebuah pernikahan, tidak ada jalan lain buat  sobat kecuali hanya bapak kandung  sobat saja yang berhak jadi wali. Bahkan seorang presiden sekalipun tidak berhak mengambil alih wewenang dan hak bapak  sobat sebagai wali.

Sebab seluruh jasad  sobat itu tumbuh dari bibit bapak kandung  sobat. Hubungan  sobat dengannya tidak bisa dinafikan atau dibatalkan. Bahkan secara medis, boleh dikatakan bahwa DNA yang  sobat miliki bersumber dari DNA beliau. Bahkan meski  sobat melakukan operasi otak sekalipun, tetap saja secara biologis dan secara syariah, beliau tetap bapak  sobat.

Sebab Wali Kandung Boleh Digantikan

Maka sepanjang hayat,  sobat tidak akan pernah bisa menikah dengan sah kecuali hanya beliau saja yang menjadi walinya. Itulah kesimpulannya. Kecuali… kecuali dengan beberapa hal, kewalian bapak  sobat bisa gugur, yaitu antara lain dengan…

  • Dengan Pemberian Wewenang/ Hak Perwalian (Mewakilkan).

Apabila seorang bapak kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang, baik orang itu masih famili atau pun sama sekali tidak ada hubungan apapun, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan. Asalkan orang tersebut memenuhi syarat

sebagai wali, yaitu muslim, aqil, baligh, laki laki, adil dan merdeka. Meski bukan famili, bukan saudara atau juga bukan keluarga. Namun tanpa adanya penyerahan wewenang secara sah dan benar dari bapak kandung kepada orang yang ditunjuk, maka tidak ada hak sedikit pun baginya untuk menjalankan hal hal yang di luar kewenangannya.

  • Dengan Gugurnya Syarat sebagai Wali

Bila bapak kandung tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka hak untuk menjadi wali akan turun kepada urutan wali berikutnya, di mana daftarnya sudah baku dan tidak bisa dibuat buat sendiri. Dan syarat sebagai wali sudah disebutkan yaitu [1] muslim, [2] laki laki, [3] akil, [4] baligh, [5] merdeka dan [6] adil.

Adapun bila bapak itu tidak pernah memberikan nafkah, perhatian, kasih sayang, waktu serta pemeliharaan, tidak pernah bisa dijadikan alasan untuk gugurnya hak perwalian yang dimilikinya. Namun bila salah satu dari ke enam syarat itu tidak dimilikinya, maka gugurlah haknya sebagai wali.

Misalnya, bila sorang bapak kandung tidak beragama Islam, baik karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad, maka haknya sebagai wali gugur dengan sendirinya. Atau misalnya dia menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat sebagai ‘aqil (berakal) tidak terpenuhi, dengan demikian gugurlah haknya untuk menjadi wali.

  • Dengan Meninggalnya Yang Bersangkutan

Bila seorang bapak kandung yang menjadi wali meninggal dunia, otomatis dia tidak mungkin menjadi wali. Maka yang berhak menjadi wali adalah wali yang berada pada urutan berikutnya. Dan begitulah seterusnya. Dalam masalah tertentu, bila bapak kandung tidak diketahui lagi keberadaannya,  sobat masih bisa melacaknya lewat keluarganya, teman, kerabat atau orang orang yang pernah mengenalnya.

Bahkan kalau diperlukan bisa juga menggunakan jasa polisi untuk melacaknya. Termasuk juga menggunakan iklan di media. Pendeknya, upayakan dulu untuk mencarinya. Barulah bila semua upaya untuk mencari,  baru bisa menghadap kepada hakim agama untuk minta dibuatkan fatwa yang menetapkan bahwa bapak kandung dianggap sudah ‘meninggal’ secara hukum.

Urutan Wali Setelah Wali Kandung

Bila seorang bapak kandung gugur dari kedudukannya sebagai wali, lalu yang berhak adalah wali dalam daftar urutan berikutnya. Bila wali yang ada dalam urutan berikutnya ini ada cacatnya, maka perwalian dipegang oleh nomor urut berikunya. Para ulama dalam mazhab As Syafi’i telah menyusun dan menetapkan daftar urutan wali, yang tidak boleh dilangkahi. Mereka adalah

  • Bapak kandung
  • Kakek (bapaknya bapak kandung)
  • Saudara laki laki, yang sebapak dan seibu. Misalnya kakak atau adik calon istri, yang penting sudah aqil baligh. Tetapi bila saudara yang satu ibu tapi lain bapak tidak bisa menjadi wali.
  • Saudara laki laki, yang sebapak saja
  • Anak laki laki dari saudara laki laki yang sebapak dan seibu
  • Anak laki laki dari saudara laki laki yang sebapak saja
  • Paman, atau saudara laki laki bapak kandung
  • Anak paman (sepupu)

Jika Wali Kandung Tidak Mau Menikahkan

Wali yang melakukan tindakan demikian maka dia dianggap melakukan tindakan Al-‘Adhl . Allah berfirman: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,

apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)

Kemudian si wanita ini berhak untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim (KUA) untuk menikahkannya secara resmi. Karena sikap Al-Adhl termasuk kedzaliman, dan yang berhak menolak kedzaliman adalah hakim (KUA). Jika tidak memungkinkan untuk mengajukan masalahnya ke hakim, maka kerabat dekatnya yang lain bisa menikahkannya dengan lelaki tersebut.

Jika mereka menolak untuk menikahkannya maka wanita tersebut bisa mengajukan masalahnya kepada imam masjid (Pak Kaum) atau tetangganya yang dia percaya untuk menikahkannya. Dan orang yang dipercaya ini, sekaligus menjadi walinya. Karena kasus semacam ini termasuk bentuk tahkim (meminta keputusan). Sementara orang yang ditunjuk untuk memutuskan perkara, menggantikan posisi hakim resmi (KUA).

Imam Al-Qurtubhi membawakan keterangan dari Imam Malik tentang wanita yang kondisinya lemah: Wanita ini boleh dinikahkan oleh orang yang menjadi rujukan permasalahannya. Karena wanita dalam kondisi semacam ini, tidak memungkinkan untuk menemui hakim, sehingga statusnya sama dengan orang yang tidak memiliki hakim. Karena itu, urusannnya dikembalikan kepada kaum muslimin, sebagai walinya. (Tafsir Al-Qurthubi, 3/76).

Kemudian, jika tidak memungkinkan untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim, maka wanita ini dinikahkan oleh wali urutan berikutnya (kerabatnya). Pada keadaan ini, hak perwalian kerabat ini dinilai sebagai bentuk tahkim (meminta keputusan). Kaidahnya: Orang yang ditunjuk sebagai hakim, statusnya setara dengan hakim resmi (KUA),

sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam As-Syafi’i. Jika tidak memiliki kerabat yang lain maka dia dinikahkan oleh imam tetap di daerahnya. Jika tidak menemukan juga maka siapapun orang yang beriman bisa menikahkannya, berdasarkan firman Allah: “Orang mukmin laki-laki dan orang mukmin wanita, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga menjadi wawasan yang bermanfaat, sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

fbWhatsappTwitterLinkedIn