Hukum wanita bercadar memang tidak dapat dipastikan karena adanya perbedaan khalifiyah. Beberapa mewajibkan dan beberapa lagi hanya membolehkan. Menurut Imam Hanafi dan Maliki, bercadar hukumnya sunnah. Ibnu Arabi berkata :
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579). Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
Sedangkan Imam Syafií dan Hambali mewajibkan untuk menutup wajah dengan cadar. Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31). Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata : Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
Baca juga:
- larangan egois dalam islam
- nikah siri dalam islam
- bahaya tertawa berlebihan dalam islam
- talak
- bahaya kebodohan dalam islam
- hukum menghina ulama Islam
Jadi sebenarnya hukum dari membuka pasang cadar ada pada khilafiyah yang dipilih oleh wanita tersebut. Jika ia berada dalam sisi Imam Hanafi dan Maliki, maka tidak mengapa jika ia membuka pasang cadar. Tapi jika ia berada dalam khilafiyah Imam Syafií dan Hambali maka hendaklah ia tidak membuka pasang cadarnya karena seperti mempermainkan agama.
Namun ada beberapa kegiatan dimana seorang wanita memeang dibolehkan bahkan mungkin menjadi keharusan untuk membuka cadarnya, diantaranya adalah:
1. Saat khitbah
Seorang wanita diperbolehkan memperlihatkan wajah dan telapak tangannya di hadapan calon suaminaya saat khitbah atau tunangan dalam Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia berkata:
“Suatu saat saya berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu datanglah seorang lelaki mengabarkan kepada beliau bahwa ia ingin menikahi seorang wanita Anshar. Rasulullah berkata kepadanya: “Apakah engkau sudah melihatnya?”, “Belum!” katanya. Beliau berkata: “Kalau begitu temui dan lihatlah wanita Anshar itu karena pada mata mereka terdapat sesuatu.” (H.R Ahmad II/286&299, Imam Muslim IV/142 dan An-Nasa’i II/73). Melihat wanita adalah salah satu cara memilih wanita dalam Islam agar mendapatkan wanita cantik dalam Islam yang menyejukkan pandangan.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka bila ia bisa melihat sesuatu daripadanya yang dapat mendorong untuk menikahinya hendaklah ia melakukannya.” (H.R Abu Dawud dan Al-Hakim dengan sanad hasan, diriwayatkan juga dari Muhammad bin Maslamah dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah). Dan dari hadits Abu Humeid yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar, silakan lihat Fathul Bari (IX/181) Az-Zaila’i berkata: “Namun ia tidak dibolehkan menyentuh wajah dan dua telapak tangan wanita tersebut meskipun tanpa syahwat, karena wanita itu belum menjadi istrinya dan tidak ada kebutuhan mendesak untuk itu.”
Baca juga:
- dosa yang tak terampuni
- hukum menolak pernikahan dalam islam
- tips melamar dalam islam
- manfaat berkurban dalam islam
- keluarga sakinah dalam islam
2. Saat bermuámalah
Seorang wanita juga diperbolehkan melepaskan cadarnya untuk memperlihatkan wajahnya ketika transaksi jual beli agar tidak terjadi fitnah dan meyakinkan satu sama lain. Ibnu Qudamah berkata: “Jika seorang pria mengadakan transaksi jual beli atau sewa menyewa dengan seorang wanita maka ia boleh melihat wajah wanita itu untuk mengetahui identitasnya sekaligus meminta uang pembeliannya.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau membenci hal itu terhadap para pemudi dan dibolehkan terhadap wanita lanjut usia. Dan juga makruh hukumnya terhadap orang yang khawatir tertimpa fitnah atau tidak begitu mendesak melakukan transaksi tersebut. Dan dibolehkan jika memang diperlukan dan tidak disertai dengan syahwat.” (Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459, Kitab Syarah Al-Kabir ‘Ala Matan Al-Muqni’ VII/348 dan Kitab Al-Hidayah Ma’a Takmilah Fathul Qadir X/24)
3. Saat menjadi saksi
Begitu pula jika ia menjadi seorang saksi dalam sebuah persidangan, ia diperbolehkan membuka cadarnya untuk memperkuat kesaksiannya. Ad-Dasuuqi berkata:
“Persaksian wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka cadarnya. Hal ini berlaku umum, baik persaksian dalam pernikahan, jual beli, hibah, utang piutang, wakalah dan sejenisnya. Itulah pendapat yang dipilih oleh syaikh kami.” (Silakan lihat Hasyiyatud Dasuuqi ‘ala Asy-Syarh Al-Kabir IV/194)
“Persaksian wanita yang mengenakan cadar tidak diterima hingga ia membuka cadarnya. Supaya dapat dikenal dengan jelas identitas dan karakternya, setelah itu barulah ia boleh memberikan persaksian.” (Syarah Al-Kabir karangan Syaikh Ad-Dardiir IV/194)
Ibnu Qudamah mengatakan: “Saksi boleh melihat terdakwa supaya persaksiannya tidak salah alamat. Imam Ahmad berkata: Tidak boleh memberikan persaksian terhadap seorang terdakwa wanita hingga ia mengenali indentitasnya dengan pasti. Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459, Syarah Al-Kabir ‘Alal Muqni’ VII/348 dan Al-Hidayah ma’a Takmilah Fathul Qadir X/26.
4. Saat berobat
Seorang wanita juga diperbolehkan melepaskan cadarnya saat berobat jika memang bagian yang sakit terdapat di wajah. Namun perlu diingat, carilah sebisa mungkin dokter wanita, jikalau pun tidak ada, maka ia harus didampingi oleh mahramnya ketika berobat dengan dokter pria.
Baca juga:
- membangun rumah tangga dalam islam
- bahaya feminisme dalam islam
- konsep kesetaraan gender dalam perspektif islam
- hukum menolak rezeki dalam islam
- waktu terkabulnya doa
Ibnu Qudamah berkata:
“Seorang dokter dibolehkan melihat bagian tubuh wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu memang perlu dilihat. Diriwayatkan dari Utsman bahwa dibawa ke hadapannya seorang bocah yang didapati telah mencuri, beliau berkata: “Periksalah dalam sarungnya!” yakni bulu kemaluannya yang menunjukkan apakah ia sudah baligh atau belum.
Setelah diperiksa ternyata bulu kemaluannya belum tumbuh, beliaupun tidak memotong tangannya.” (Silakan lihat kitab Al-Mughni VII/459 dan kitab Ghadzaaul Albab I/97)
Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya kaum pria mengobati kaum wanita dengan batasan-batasan yang telah ditentukan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia berkata:
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tugas kami adalah memberi minum dan membantu pasukan, dan membawa pasukan yang tewas dan terluka ke Madinah.” (H.R Al-Bukhari VI/80 & X/136, lihat Fathu Bari. Diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari Anas V/196, Abu Dawud VII/205, lihat ‘Aunul Ma’bud, dan Imam At-Tirmidzi V/301-302, ia berkata: Hadits ini hasan shahih)
5. Saat ihram
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata: Seorang laki-laki datang lalu berkata: “Wahai Rasulullah, pakaian apa yang baginda perintahkan untuk kami ketika ihram?. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Janganlah kalian mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan“(H.R.Bukhari)
Demikian penjelasan bagaimana hukum lepas pasang cadar dan dalilnya.