Hukum Wanita Menjadi Imam Bagi Pria dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Di jaman yang serba modern ini, wanita semakin gencar meneriakkan emansipasi wanita. Emansipasi wanita dianggap sebagai keadilan bagi wanita di jaman yang modern ini. Banyak hal-hal yang digebrak dalam emansipasi wanita sebagai bentuk keadilan yang dianggap bagian dari hak asasi manusia.

Padahal Islam telah memberikan keistimewaan pada wanita dengan batas-batas tertentu sebagai bagian dari keistimewaan tersebut. Namun sayangnya kini banyak wanita yang justru melanggar syariat Islam dengan dalih emansiapasi, misalnya saja mengenai hak berpakaian.

Namun ada satu fenomena bentuk emansipasi yang sangat menampar Islam, yakni seorang wanita yang menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki dan perempuan. Wanita yang nekat ini bernama Amina Wadud. Ia adalah seorang mualaf yang lahir pada tanggal 25 September 1952 M. Bethesda, Maryland, Amerika. Tindakannya yang mengimami makmum campuran pada shalat Jumat di sebuah gereja katedral ini membuat kecemasan dan kecaman dari Mulim di seluruh dunia.

Baca juga :

Wanita yang merupakan seorang profesor studi Islam pada Department of Philosophy and Religious Studies di Virginia Commonwealth University ini bahkan mendapat kecaman dari Syekh Yusuf Qardhawi. Beliau mengatakan walau perempuan bisa menjadi imam shalat dari jamaah wanita bahkan keluarganya, tapi tidak boleh memimpin shalat dari jamaah gabungan dalam sebuah wawancara di stasiun televisi Aljazeera. Sebelumnya ia memulai aksi feminisnya ini pada Agustus 1994. Saat itu, ia menjadi khatib dan menyampaikan khotbah Jumat di Masjid Claremont, Cape Town, Afrika Selatan.

Para kaum feminis ini biasanya menggunakan hadits Rasul di bawah ini sebagai landasan pemikiran mereka.

«وَأَذِنَ لَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا»

Beliau (Nabi saw.) mengizinkannya untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. (HR Abu Dawud).

Padahal hadits ini terdapat kaum pria, yang oleh Abdurrahman, salah seorang perawi hadis tersebut, dinyatakan sebagai syaikh ‘ajûz (lelaki tua renta), yang sekaligus menjadi muazinnya.

Rasulullah membolehkan Ummu Waraqah menjadi imam shalat khusus untuk wanita dan keluarganya, yang mana laki-laki dalam hadits tersebut telah tua renta. Kaum feminis ini tidak mengindahkan hadits lainnya yang jelas-jelas melarang seorang wanita mengimami shalat laki-laki.

«لاَتَؤُمَنَّ المَرْأَةُ رَجُلاً»

Hendaknya tidak sekali-kali wanita menjadi imam bagi seorang lelaki. (HR Ibn Majah).

Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini? Apa hukumnya seorang wanita menjadi imam shalat wajib atau macam-macam shalat sunnah bagi laki-laki?

Baca juga :

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika perempuan menjadi imam untuk laki-laki dewasa, perempuan dan anak laki-laki, shalat perempuan dalam shalat berjamaah itu sah. Sedangkan shalat laki-laki dan anak laki-laki tidaklah sah dikarenakan Allah menjadikan laki-laki sebagai imam bagi perempuan, juga laki-laki adalah wali bagi perempuan.

Sehingga jika ada perempuan menjadi imam bagi laki-laki, hal itu tidak dibolehkan sama sekali. Begitu juga jika wanita menjadi imam untuk khuntsa musykil (orang yang punya kerancuan jenis kelamin ini, disebut ambigous genitalia, pen.), shalat dari khuntsa musykil tersebut tidaklah sah. Seandainya pula wanita itu menjadi imam untuk khuntsa musykil dan ia belum mengganti shalatnya yang tidak sah tadi, lalu terbukti ternyata orang yang punya kerancuan jenis kelamin tadi adalah wanita, tetap disukai jika orang yang punya kerancuan jenis kelamin mengulangi shalatnya. Jadi, tetap masih dianggap shalat orang tersebut tidaklah sah.” (Al-Umm, 2: 320)

Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّه…

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum pria) di atas sebagian yang lain (kaum wanita) dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…”. (An-Nisa: 34)

Baca juga :

Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:

“Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya.” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).

Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)

Rasulullah bersabda, “Saf (barisan dalam shalat berjamaah) terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan).”

Rasulullah bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (keledai).” (HR Muslim)

Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)

“Para sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah,” jelas pihak MUI seraya mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya Al-Mubarakfuri.

Dan berdasarkan kaidah fiqh: “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”

Di samping itu, MUI juga menilik pendapat para ulama seperti termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah).

Maka dari itu MUI memutuskan, “Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya wanita dan makmumnya laki-laki.” 

Baca juga :

Berdasarkan dalil-dalil di atas, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. “Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.”

Fatwa MUI ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.

Dari penjelasan dan fatwa di atas jelas bahwa hukum seorang wanita mengimami shalat laki-lakia adalah haram. Rasulullah bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita”. (Shahih, HR. Bukhari No. 4425)

Allah berfirman, “Dan janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Karena itu mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa: 32)

Demikianlah artikel tentang hukum wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki yang singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

fbWhatsappTwitterLinkedIn