Berbohong Demi Kebaikan dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Mungkin Anda pernah mendengar istilah white lie. Kebohongan yang satu ini dilakukan untuk mengejar kebaikan yang lebih besar.

Biasanya, kebohongan ini dilakukan untuk menghindari mudharat-mudharat seperti meledaknya emosi, terputusnya silaturrahmi, tindakan mencelakakan dari lawan bicara, hingga hilangnya nyawa.

Kebohongan kecil juga biasanya kita lakukan pada anak-anak. Saat anak-anak bertanya sesuatu yang kita rasa sedikit ekstrim atau belum konsumsi usianya, kita biasanya berbohong untuk menjawab mereka.

Maksud hati ingin menyayangi dan menjaganya dari hal-hal yang belum konsumsinya, suatu hari bisa menjadi jebakan bagi si kecil karena pemahaman dasarnya yang telah salah.

Persepsi Umum Mengenai Bohong Demi Kebaikan

Sebuah perbuatan pasti menuai pro dan kontra. Banyak orang yang sepakat bahwa berbohong bukan perbuatan baik, tapi bohong demi kebaikan adalah hal yang baik namun tak boleh sering-sering dilakukan.

Psikolog Klinis Dewasa dari PION, Rena Masri, berpendapat bahwa bohong demi kebaikan tetaplah sebuah kebohongan.

Kebohongan adalah suatu sifat yang harus dihindari karena membawa banyak kerugian. Tak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk banyak orang.

Rena menyatakan, lebih baik jujur dan menyampaikan dengan cara yang baik daripada berbohong.

Sekali berbohong, Anda akan terikat dengan dalil “Satu kebohongan menghasilkan kebohongan lainnya”. Sekali berbohong, Anda terlatih atau terpaksa berbohong lagi. Lama-lama Anda akan terbiasa berbohong. Ala bisa karena biasa, kan?

Bohong Demi Kebaikan dalam Islam

Bagaimanapun, dalam Islam, berbohong bukanlah suatu tindakan yang terpuji. Apalagi dalam kondisi seperti yang didetilkan dalam artikel Hukum Berbohong Dalam Candaan ini.

Tapi, jika Anda harus berbohong untuk manfaat yang lebih besar, Anda dapat melakukan dua hal berikut ini.

Pertama, Anda bisa gunakan kata yang ambigu/ tarwiyah, atau suatu kata yang lebih luas maknanya.

Syariatnya dapat Anda lihat dalam kisah Nabi Ibrahim dan Siti Sarah yang sedang berada di daerah seorang raja yang ingin memperistri Siti Sarah yang saat itu berstatus istri Nabi Ibrahim.

Dilansir dari Konsultasi Syariah, disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

Suatu ketika Nabi Ibrahim pernah bersama istrinya Sarah. Mereka berdua melewati daerah yang dipimpin oleh penguasa yang zhalim.

Ketika rakyatnya melihat istri Ibrahim, mereka lapor kepada raja, di sana ada lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik –sementara penguasa ini punya kebiasaan, merampas istri orang dan membunuh suaminya– Penguasa itu mengutus orang untuk menanyakannya. “Siapa wanita ini?” tanya prajurit. “Dia saudariku.” Jawab Ibrahim. Setelah menjawab ini, Ibrahim mendatangi istrinya dan mengatakan,

يا سارة ليس على وجه الأرض مؤمن غيري وغيرك، وإن هذا سألني فأخبرته أنك أختي فلا تكذبيني

“Wahai Sarah, tidak ada di muka bumi ini orang yang beriman selain aku dan dirimu. Orang tadi bertanya kepadaku, aku sampaikan bahwa kamu adalah saudariku. Karena itu, jangan engkau anggap aku berbohong…”

Kita bisa lihat bahwa penggunaan kata “Saudara” oleh Nabi Ibrahim, maknanya lebih luas. Selain seorang istri, Siti Sarah juga merupakan saudara perempuan sesama muslim (akhwatifillah) bagi Nabi Ibrahim.

Kedua, Anda terpaksa berbohong. Tapi, sebelum berbohong, pastikan bahwa kondisi Anda masuk ke dalam yang disebutkan hadits ini.

أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih).”

Lanjutan hadits ini adalah,

Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti Uqbah, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ليس الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا

Bukan seorang pendusta, orang yang berbohong untuk mendamaikan antar-sesama manusia. Dia menumbuhkan kebaikan atau mengatakan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini diperkuat pula dengan pendapat ulama yang didasari hadits riwayat Bukhari dan Muslim ini.

Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).

Dua kondisi pertama, peperangan dan perselisihan, adalah dua kondisi yang tidak boleh terjadi berkepanjangan dalam Islam, apalagi jika keduanya terjadi sesama muslim. Sebagai strategi, sebaiknya Anda pilih kebohongan yang paling dekat dengan kejujuran.

Mengenai tipe bohong yang terakhir, Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menyatakan:

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْكَذِبِ فِي حَقّ الْمَرْأَة وَالرَّجُل إِنَّمَا هُوَ فِيمَا لَا يُسْقِط حَقًّا عَلَيْهِ أَوْ عَلَيْهَا أَوْ أَخْذ مَا لَيْسَ لَهُ أَوْ لَهَا

Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bohong antar-suami istri adalah bohong yang tidak menggugurkan kewajiban atau mengambil sesuatu yang bukan haknya.” (Fathul Bari, 5:300)

Ada baiknya pula untuk tidak sering-sering berbohong (gombal) pada pasangan. Kejujuran adalah aspek yang sangat penting dalam pernikahan. Jika Anda rasa tak dapat memuji keindahan paras pasangan, pujilah Ia dengan karakternya yang lain, misal kesholehannya atau kebaikannya.

fbWhatsappTwitterLinkedIn