Cara Sukses Belajar Menurut Imam Syafi’i

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info
“Alaa laa tanalul ngilma illa bisittatin,
Saunbi kangan majmuungiha bi bayani
Dzukain, wa khirsin, wastibarin, wabulghotin, wairsyadziustadin wa thulizzamaani”.
Begitulah penggalan syair yang disadur dari kitab ta’limul muta’alim milik Syekh Azzarnuji. Kitab ini merupakan kitab yang sangat bagus dan memiliki kualitas untuk membantu kita agar termotivasi untuk selalu rajin belajar. Kitab ini banyak menjadi rujukan para santri atau murid yang sedang memeperkkaya ilmu islamnya.
Lalu bagaimana cara sukses belajar menurut Imam Syafi’i? Salah seorang imam besar dan ulama yang disegani oleh banyak ulama lainnya, simak selengkapnya dibawah ini.

1. Cerdas

Kecerdasan yang kita miliki merupakan Anugerah dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan kita harus cerdas untuk mampu menghafal ayat – ayat Al-Quran untuk waktu yang lama. Salah satu ulama yang terkenal akan kecerdasannya adalah Al-Imam Al-Bukhari, dimana ia mampu menghafal lebih dari 100 ribu hadits.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa Muhammad bin Hamdawaih berkata, “Aku mendengar Imam Bukhari berkata bahwa ia telah menghafalkan 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih.” Disebutkan hal ini dalam muqaddimah Fath Al-Bari.

Karena kuatnya hafalan Imam Al – Bukhari, beliapun diuji oleh ulama Baghdad. Ada sekitar 100 hadits yang diujikan dengan masing masing ulama memegang 10 hadits. Hadits itu diacak. Berikut pendapat orang Baghdad

Imam Bukhari ditanya tentang hadits-hadits tersebut oleh masing-masing ulama. Ketika ditanya, Imam Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak mengenal hadits tersebut.” Semua soal mengenai haditsa, beliau jawab seperti itu, “Saya tidak mengenal, saya tidak mengenal, dan seterusnya.” Hingga orang-orang menilai, Imam Bukhari ini ternyata sedikit hafalannya.

Setelah pengujian dari sepuluh ulama ini selesai dengan total ujian 100 hadits, Imam Bukhari lantas berkata pada penguji yang pertama, “Adapun hadits yang engkau sebutkan adalah seperti ini dan yang benarnya seperti ini.” Seterusnya seperti itu, hadits yang mereka ucapkan tadi diulang, lalu beliau menyebutkan benarnya bagaimana 10 ulama beliau jawab hingga total 100 hadits tadi selesai beliau sebut dan benarkan.

Beliau ketika itu mengembalikan sanad dan matan haditsnya sesuai dengan yang benar, padahal sebelumnya telah diacak dan dibolak-balik. Dari situlah orang-orang sangat mengakui kekuatan hafalan dari Imam Bukhari.

Tentang kisah di atas telah teruji shahih oleh Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi dalam tahqiq beliau terhadap kitab Al-Ba’its Al-Hatsits karya Ibnu Katsir.

Dari kisah diatas kita bisa simpulkan seberapa kuat hafalan Imam Bukhari hingga bisa membetulkan yang keliru. Selain itu, ada dua tipe ulama dalam menghafal. Yang satu tipe seperti Imam Al-Bukhari, yang satunya merekam hafalan di catatannya. Keduanya merupakan tipe yang bisa dikatakan unggul.

Oleh karena itu, ada baiknya ketika kita dianugerahi kecerdasan oleh Allah SWT, kita menggunakannya untuk tujuan mendapatkan ilmu dunia dan akhirat. Karena otak kita selalu memiliki ruang untuk belajar agama.

2. Memiliki Semangat

Salah satu cara sukses belajar menurut Imam Syafi’i adalah kita harus memiliki semangat dan tekad untuk bisa belajar sekalipun banyak rintangan yang menghadang. Hal ini sudah ditunjukan oleh salah satu Imam besar bernama Imam Nawawi.

Imam Nawawi bisa menghadiri 12 majelis untuk belajar dengan guru hanya dalam kurun waktu sehari. waktu ini belum termasuk waktu menulis beliau. Menurut catatan sejarah, Beliau punya hasil karya tulis yang begitu banyak yang telah masyhur di tengah-tengah kita seperti kitab Hadits Arba’in An-Nawawiyah , Riyadhus Sholihin, dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Dan hampir semua cabang ilmu dalam agama, Imam Nawawi punya tulisan tentang hal itu.

3. Memiliki Kesabaran

Selain memiliki semangat, kita juga harus memiliki emosi sabar yang tinggi. Karena tidak ada belajar yang langsung pintar. Semua membutuhkan proses, dan proses itulah yang akan kita kenang ketika kita sudah mendapatkan hasilnya nanti.

4. Memiliki modal

Modal disini dibutuhkan mengingat kita harus mempelajari ilmu dari buku, ataupun dengan melalui guru.

Kita bisa belajar dari para ulama semangat dalam mengoleksi buku. Diceritakan oleh Ibnu Hajar mengenai Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ad-Duror Al-Kaminah, “Ibnul Qayyim sangat semangat mengoleksi buku. Sampai-sampai koleksian bukunya tak terhitung. Anak-anak beliau sampai-sampai menjual buku-buku beliau setelah Ibnul Qayyim meninggal dunia. Itu butuh waktu yang lama. Itu selain dari buku yang anak-anaknya memilih untuk mereka sendiri.” (Dinukil dari ‘Uluw Al-Himmah, hlm. 189-190)

5. Belajar dari Guru

Kita butuh seorang guru untuk mampu memandu kita saat kita ingin mempelajari Al-Qur’an, fikih, akidah, akhlak. semua itu butuh panduan guru. Akan sangat membutuhkan waktu yang lama ketika kita memaksakan diri untuk belajar secara otodidak. Akan lebih baik kita memiliki banyak guru agar kita memiliki pandangan berbeda dan bisa memilih mana yang terbaik untuk kita.

6. Butuh Waktu Lama

Tidak ada pencapaian atau keberhasilan tanpa mengalami proses jatuh bangun. Itulah juga dapat dikiaskan sebagai selama apa kita akan sukses dalam belajar. Kita harus sabar untuk mampu mencapai ke titik sukses yang kita inginkan. Seperti dalam sebuah cerita dimana Imam Ibnul Jauzi masih membacakan kitab qira’ah ‘asharah pada gurunya Al-Baqilani padahal ketika itu usianya 80 tahun. Anaknya yang bernama Yusuf pun ikut membaca bersama beliau.

Imam Ibnu Hazm baru belajar serius ilmu agama ketika berusia 26 tahun.

Ada yang bertanya pada Ibnul Mubarak, “Sampai kapan engkau belajar?” Beliau menjawab, “Sampai mati insya Allah.”

Kemudian Ibnu Mu’adz pernah bertanya kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Ala’ , “Sampai kapan orang pantas untuk belajar?” Jawab beliau, “Sampai seseorang itu pantas untuk hidup.”

Ibnu ‘Aqil ketika berada di usia 80 tahun masih terus semangat belajar. Beliau pernah mengatakan,

“Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku. Aku ingin terus menggunakan lisanku untuk mudzakarah, penglihatanku untuk muthala’ah (menelaah). Aku tetap ingin terus berpikir di waktu rehatku sehingga ketika bangkit, aku sudah menuliskan apa yang aku ingin tulis. Aku terlihat lebih semangat ketika berusia 80 tahun dibanding ketika usiaku 20 tahun.” (Dinukil dari ‘Uluw Al-Himmah, hlm. 202)

Dari cerita diatas kita bisa simpulkan tiada waktu yang pasti untuk sukses dalam belajar, karena batasan seseorang untuk belajar adalah sampai seumur hidup kita. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

fbWhatsappTwitterLinkedIn