Maudu Lompoa, Tradisi Makassar untuk Merayakan Perayaan Kelahiran Nabi

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perjalanan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam akan selalu diceritakan dan dirayakan. Bermacam tradisi unik diselenggarakan untuk memeriahkan peristiwa bersejarah lahirnya sang Nabi.

Salah satunya di Makassar terdapat sebuah tradisi unik bernama Maudu Lompoa sebagai ungkapan kebahagiaan masyarakat disana atas hadirnya manusia paling mulia. Berkisah pada perjalanan Islam di sana, Maudu Lompoa hadir sebagai pengingat akan kelahiran cahaya kebenaran bernama Islam.

Dalam bahasa Makasar, Maudu diartikan sebagai maulid (kelahiran) dan Lompoa berarti besar. Jika digabung menjadi maulid besar. Maudu Lompoa merupakan tradisi tahunan yang terus menerus dilestarikan. Perayaan ini berpusat di sekitar Sungai Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Perayaan ini menjadi bukti akulturasi budaya yang dilakukan oleh ulama dahulu. Dimana agama Islam dan budaya lokal, bisa digabung menjadi perayaan yang indah.

Pertama kali, tradisi ini diperkenalkan oleh Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al’ Aidid. Beliau diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW ke-27. Selain itu, beliau juga merupakan cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh. Dalam misinya menyebarkan agama Islam, Sayyid Djalaluddin berusaha menarik penduduk dengan tradisi yang unik.

Kerajaan Gowa yang saat itu menjadi pusat penyebarannya, dipimpin oleh Sultan Alauddin. Berkat sikapnya, Sayyid Djalaluddin diangkat menjadi mufti di kerajaan Gowa. Tidak sampai disitu, beliau juga menikahi putri bangsawan I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin. Karena keperluan dakwah, Sayyid Djalaluddin harus meninggalkan istrinya. Beliau pergi dengan membawa sajadah dan ceret sebagai tempat wudhu. Beliau menyusuri sungai dengan membawa sajadah yang dimiliki.  

Tercatat ada 5 tempat yang dikunjungi oleh Sayyid Djalaluddin, yaitu sebelah utara pulau Tanakeke, sebelah utara sungai Bontolanra, Parappa, Sanrobone, dan Sungai Maccinibaji.

Ada kejadian ajaib ketika Sayyid Djalaluddin bertemu dua kesatria hebat. Di tengah sungai, dua kesatria itu menemui beliau. Dari jauh, dua kesatria itu melihat cahaya yang bersinar terang, maka dengan sekuat tenaga mereka mendayung perahunya. Setelah dekat dengan cahaya tersebut, kedua kesatria kaget karena yang ditemukan adalah Sayyid Djalaluddin yang berada di atas sajadah lengkap dengan ceret sebagai tempat wudhu.

Pada akhirnya, dua kesatria tersebut menjadikan Sayyid Djalaluddin sebagai guru mereka. Sayyid Djalaluddin menerimanya dengan tangan terbuka. Dan sejak saat itu, dimulailah persebaran dakwah baru Sayyid Djalaluddin di desa Cikoang, tempat kedua kesatria itu berasal. Sayyid Djalaluddin menjemput istrinya untuk bersama-sama menggerakkan agama Islam disana. Perjuangan kisah keislaman akan terukir disana.

Pada tanggal 10 Syafar 1025, Sayyid Djalaluddin melakukan Mandi Syafar sebagai bentuk penyucian akan datangnya bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. Mandi Syafar terus menerus dilakukan oleh penduduk setempat dan menjadi tradisi khas daerah Makasar. Mandi Syafar mengawali tradisi Maudu Lompoa yang terdiri dari beberapa acara. Setidaknya ada 6 proses dalam tradisi Maudu Lompoa sendiri.

  • Pertama, mandi di bulan Syafar, yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai je’ne-je’ne Sappara.
  • Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan ayam kampung yang nantinya akan dihidangkan pada puncak acara. Namun sebelum itu, ayam kampung harus dikurung selama 40 hari terlebih dahulu di tempat yang bersih dan diberi makanan terbaik seperti beras dengan kualitas tinggi.
  • Kemudian masyarakat membuat bakul beras dari daun lontar yang biasa disebut sebagai prosesi angnganang.
  • Selanjutnya dilakukan penjemuran padi dalam lingkaran pagar yang sudah ditentukan.
  • Setelah kering, padi tersebut ditumbuk pada lesung.
  • Dan yang terakhir, prosesi pengupasan kelapa utuh yang nantinya akan ditanam. Selain kegiatan tersebut, masyarakat juga mempersiapkan kapal kayu, aneka telur, kain sarung, kertas warna warni, serta beberapa bahan makanan yang nantinya akan disusun pada kapal yang telah dibuat.

Puncak perayaan tradisi ini dipusatkan di sungai Cikoang. Disana terdapat banyak kapal berjejer warna warni. Biasanya masyarakat Takalar menyebut kapal ini dengan sebutan julung-julung.

Hiasan menarik juga menyertai kapal ini. Kemudian alunan gendang akan serentak berbunyi di sepanjang jalan. Suara nyanyian sholawat Nabi tidak kalah nyaring terdengar. Kisah-kisah lembut sang Nabi akan terdengar dalam lantunan syair Arab. Pun semakin lengkap, dengan pertunjukan silat dari warga setempat.

Kapal yang dibuat dijadikan simbol transportasi pertama yang digunakan dalam penyebaran Islam disana. Dimana Sayyid Djalaluddin yang merupakan peletak dasar prinsip keislaman disana, menggunakan kapal untuk menuju sampai ke daerah tersebut.

Selain itu, kapal yang diisi muatan bahan pokok, seperti ubi, padi, sayur-sayuran, dan buah-buahan, menandakan rasa syukur masyarakat setempat atas karunia yang diberikan Allah swt. Masyarakat selalu berdoa’a, semoga kebahagian dan keberkahan selalu ada pada mereka karena kecintaan mereka pada pimpinan tertinggi dalam agama Islam.

Julung-julung yang sudah dihias sedemikian rupa, akan dijalankan dan dikumpulkan di satu titik. Hal ini merupakan penggambaran kisah atas bertemunya dua kesatria pada Sayyid Djalaluddin. Pada titik itulah dua kesatria ini memperoleh hidayah untuk memeluk agama Islam. Dengan masuknya dua kesatria ini, Islam berkembang pesat disana.

Penggambaran kisah seperti ini, secara garis besar bisa menguatkan keimanan. Dalam kisah tersebut, terdapat banyak hikmah yang tidak boleh dilupakan. Bagaimana pemerolehan hidayah dan bagaimana proses perjuangan Sayyid Djalaluddin sendiri dalam menyebarkan agama Islam, patut dijadikan teladan bagi generasi penerus.

Proses tersebut harus dilakukan berulang-ulang, sebagai tanda pengingat bahwa agama Islam yang telah dibawa oleh Sayyid Djalaluddin harus dilanjutkan dan dikembangkan.

Tidak sampai disitu, Maudu Lompoa yang dijadikan tradisi perayaan kelahiran Nabi, agaknya menargetkan kecintaan besar kepada baginda Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, kecintaan digambarkan dalam keceriaan dan kegembiraan saat berlangsungnya acara. Karena begitulah salah satu cara mencintai, dengan menargetkan kegembiraan dan kesenangan di setiap hati individu itu sendiri.

Rencana Sayyid Djalaluddin untuk mengakulturasikan budaya setempat dengan agama Islam terbilang berhasil. Dimana penyebaran ajaran Islam disana tidak menggunakan peperangan, melainkan cara-cara halus yang menanamkan kebahagiaan di setiap pemeluk agama itu sendiri.

Bukan hanya sosok religious, beliau juga sosok yang jenius dalam menuntun masyarakat disana. Kepandaiannya ini membawa banyak perubahan bagi masyarakat, terutama segi keimanan dan ketakwaan.

Makna sosial juga bisa kita temukan pada tradisi ini. Misalnya dalam pengangkatan perahu menuju sungai, yang membutuhkan banyak tenaga untuk melakukannya. Kerjasama dan gotong royong akan terlaksana dari prosesi tersebut. Saling bantu dan harmonisasi akan tercipta karena proses tolong menolong terwujud dalam sebuah tradisi tersebut. Dan dari sana, masyarakat bisa saling percaya terhadap sesama.

Agaknya tradisi ini bisa menjadi aset berharga, bukan hanya untuk masyrakat sekitar namun juga negara. Bagaimana setiap perayaan yang digelar dapat merekatkan hubungan, yang artinya indeks perpecahan antar warga setempat akan melandai pada data statistik negara.

Harapannya, ruh dari tradisi ini yang membangun kecintaan, kebahagiaan, serta kerukunan bisa menginspirasi semua orang. Dan semuanya bisa kembali pada kedamaian yang diidam-idamkan semua orang.  

fbWhatsappTwitterLinkedIn