Disadari atau tidak, ketika kita merasa telah mempelajari dan menguasai sesuatu, kita cenderung merasa paling pintar dan menilai orang lain tidak berilmu. Pun demikian ketika kita mempelajari dan memperdalam agama. Ketika kita merasa telah belajar dan menguasai ilmu agama, kita cenderung merasa paling benar dibanding dengan yang lainnya.
Dan lebih parahnya lagi memandang orang lain tidak atau kurang beriman. Merasa diri paling benar, paling suci, paling aman dari dosa, paling beriman atau bahkan paling berhak masuk surga sejatinya merupakan tipu daya setan yang membuat sesuatu yang sebenarnya salah menjadi tampak benar.
Allah SWT berfirman dalam surat An Najm ayat 32 yang artinya,
“Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih dalam perut ibumu.
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm : 32).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
“Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.” (HR. Muslim).
Merasa diri paling benar, paling suci, paling aman dari dosa, paling beriman atau bahkan paling berhak masuk surga adalah beberapa bentuk sikap sombong dalam Islam dan merupakan perbuatan yang sangat dicela oleh Allah SWT.
Karena itu, umat muslim sangat dianjurkan untuk lebih mengenal dirinya sendiri karena mengenal diri sendiri dalam Islam dapat menghindarkan kita dari berbagai penyakit hati menurut Islam seperti bersifat sombong, riya, ujub, takabur, dan lain sebagainya.
Dalam surat An Nisa’ ayat 49 Allah berfirman yang artinya,
“Apakah kami tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (QS. An Nisa : 49).
Sebagai umat muslim, kita harusnya malu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai manusia yang paling sempurna keimanannya sama sekali tidak pernah merasa diri paling benar atau merasa paling suci.
Bahkan karena keimanannya yang sempurna itulah beliau tidak pernah berhenti untuk beribadah kepada Allah SWT.
Sebagai manusia yang memiliki banyak kekurangan, ada baiknya umat muslim lebih dapat mengenal diri sendiri atau introspeksi diri.
Keutamaan introspeksi diri dalam Islam diantaranya adalah menyadari segala kekurangan yang dimiliki tanpa harus rajin dan sibuk merendahkan orang lain apalagi dibumbui dengan kata-kata kasar.
Karena bisa jadi orang lain yang direndahkan, dianggap salah, tidak suci, lebih berdosa, kurang beriman, dan dianggap tidak pantas masuk surga menurut “kriteria”-nya sejatinya jauh lebih baik dari dirinya.
Al-’Allamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata,
“Jika Allah Ta’ala membukakan untukmu pintu (memudahkan) shalat malam, jangan memandang rendah orang yang tertidur. Jika Allah membukakan untukmu pintu puasa (sunnah), janganlah memandang rendah orang yang tidak berpuasa.
Dan jika Allah membukakan untukmu pintu jihad, maka jangan memandang rendah orang lain yang tidak berjihad. Sebab, bisa saja orang yang tertidur, orang yang tidak berupasa (sunnah), dan orang yang tidak berjihad itu lebih dekat kepada Allah ketimbang dirimu.”
Beliau juga berkata,
“Sungguh, engkau ketiduran sepanajang malam lalu menyesal di waktu pagi, lebih baik daripada melewati malam dengan ibadah tapi merasa bangga di pagi hari. Itu karena orang yang sombong, amalannya tidak akan naik ke sisi Allah.” (Madarij As-Salikin : 1/177).
Kita harus selalu ingat bahwa ketika jari telunjuk kita arahkan kepada saudara kita yang kita anggap salah, tidak suci, lebih berdosa, kurang beriman, dan dianggap tidak pantas masuk surga sejatinya ada empat jari lain yang mengarah ke diri kita sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita rajin dan sibuk melihat dan mengurusi kekurangan orang lain hingga membuat kita lupa berkaca pada diri sendiri yang juga penuh dengan kekurangan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592, shahih secara mauquf).
Dari beberapa dalil di atas dapat disimpulkan bahwa kita tidak diperkenankan untuk bersikap merasa paling benar karena hal itu dapat mengarah pada kesombongan. Kesombongan dalam Islam sendiri merupakan salah satu penyebab munculnya penyakit hati dalam Islam. Di samping itu, perbuatan ini sangat dicela oleh Allah SWT.
Demikianlah ulasan singkat tentang hukum merasa paling benar. Semoga bermanfaat.