Islam telah mengharamkan ramalan atas nasib, masalah jodoh, rejeki, hoki dan juga ramalan bindang. Para penyihir telah menggunakan konstalasi bintang-bintang di langit sebagai dasar atas kebohongannya.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mempelajari ilmu dari bintang-bintang, berarti telah mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir. Semakin bertambah ilmunya, semakin dalam ia mempelajari sihir tersebut.” (QS. Abu Dawud).
Demikian juga riwayat Al-Bazzar dengan sanad yang bagus dari Imran bin Hushain, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Bukan termasuk golongan kita orang yang meramal atau minta diramalkan, orang yang berdukun atau minta didukunkan, orang yang menggunakan sihir (santet) atau mengambil faidah dari ilmu santet.”
Maka siapa saja yang mengaku mengetahui perihal ghaib bisa termasuk tukang nujum, atau yang sejenis itu. Karena Allah telah merahasiakan ilmu ghaib. Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah, tidak ada yang mengetahui keghaiban di langit dan di bumi melainkan Allah..”
Prakiraan Cuaca Bukan Ramalan Cuaca
Istilah yang benar barangkali bukan ramalan cuaca, melainkan prakiraan cuaca. Istilah “ramalan cuaca” adalah nama program siaran TVRI zaman dahulu. Para ulama di Hijaz dalam banyak kesempatan secara tegas menyebutkan bahwa prakiraan cuaca bukanlah bagian dari ramalan penyihir yang haram.
Karena prakiraan ini adalah hasil pengamatan tanda-tanda di atmosfer terkait dengan tekanan, suhu, arah angin, kelembaban dan sebagainya. Semua merupakan sebuah ilmu yang tidak ada kaitannya dengan alam ghaib.
Dan prakiraan cuaca ini sangat diperlukan untuk penerbangan dan hal lainnya. Jadi bukan mengada-ada atau bersifat klenik. Prakiraan cuaca ini terkadang meleset juga, terutama untuk negeri kita.
Barangkali karena satelite pemantau cuaca yang kita miliki sangat terbatas. Berbeda dengan beberapa negeri maju yang memang telah memiliki satelit pemantau cuara yang sudah sangat baik, sehingga akurasinya sudah sedemikian detail.
Jumlahnya pun tidak sedikit. Prakiraan cuaca didasarkan atas hasil pengamatan satelit buatan ini. Satelit mengawasi cuaca dan iklim Bumi, dan dapat melihat lebih banyak awan dan sistem awan, termasuk juga cahaya perkotaan, kebakaran, polusi, cahaya aurora, badai pasir ataudebu, tumpukan salju, pemetaan es, gelombang samudra, pembuangan energi dan lainnya.
Yang menarik, dengan satelit cuaca ini, semua gambar yang dikirim akan terlhat real time, sehingga memang wajar kalau bisa diperkirakan akan terjadi hujan di mana dalam berapa lama dan seterusnya. Karena pergerakan awan memang bisa terlihat dengan jelas.
Namun secanggih apa pun sebuah satelit pengamat cuaca, harus diakui bahwa karakteristik lokal setempat mempunyai peranan sangat penting pada pola cuaca lokal.
Jadi belum tentu apa yang terlihat di layar satelit itu menjadi kenyataan di atas tanah. Salah satu diantara sebab kesalah-pahaman dalam membaca adalah kurang bisa memahami istilah.
Terlebih istilah yang ambigu. Sebagian orang memahami seuatu istilah tidak sebagaimana konteksnya. Salah satu contohnya adalah ramalan.
Bisa kita nyatakan, kata ini termasuk ambigu. Bisa digunakan dalam banyak kalimat dengan konteks yang berbeda.
Seperti ramalan cuaca dan ramalan paranormal, jelas konteksnya berbeda. Karena masing-masing disimpulkan dari cara yang berbeda.
Terkait hukum ramalan cuaca, Imam Ibnu Utaimin memberikan beberapa catatan yang perlu digaris bawahi, Pertama, Rincian keterangan tentang turunnya hujan termasuk ilmu ghaib (informasi yang hanya diketahui oleh Allah). Allah berfirman:
:إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
“Sesungguhnya Allah, hanya miliknya informasi kapan kiamat, dia yang menurunkan hujan, dan dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Tidaklah satupun jiwa mengetahui apa yang akan dia lakukan besok, dan tidak ada satupun jiwa dimana dia akan mati..” (QS. Luqman: 34)
Untuk itu, siapa yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib, termasuk mengaku mengetahui kapan hujan turun, berapa jumlahnya, dst. maka dia telah melakukan perbuatan kekafiran, karena mendustakan firman Allah:
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah, tidak ada satupun di langit dan di bumi yang mengetahui hal ghaib, kecuali Allah. (QS. An-Naml: 65).
Kedua, Menggunakan Indikator lahiriyah, bukan termasuk menebak ilmu ghaib Imam Ibnu Utsaimin mengatakan:
وأما من أخبر بنزول مطر أو توقع نزول مطر فيl المستقبل بناءً على ما تقتضيه الآلات الدقيقة التي تقاس بها أحوال الجو فيعلم الخبيرون بذلك أن الجو مهيأ لسقوط الأمطار فإن هذا ليس من علم الغيب بل هو مستند إلى أمر محسوس والشيء المستند إلى أمر محسوس لا يقال إنه من علم الغيب
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridahiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya” [al-Jin/: 26-27].
Menyampaikan informasi tentang turunnya hujan atau perkiraan turunnya hujan pada beberapa waktu berikutnya, berdasarkan hasil penelitian dengan alat canggih, untuk memprediksi kondisi cuaca, sehingga ahli meteorologi bisa menyimpulkan bahwa cuaca mengarah pada turunnya hujan. Informasi semacam ini, tidak termasuk ilmu ghaib.
Namun prakiraan cuaca mengacu pada indikator lahiriyah. Semua kesimpulan yang mengacu pada indikator lahiriyah, tidak bisa disebut bahwa itu ilmu ghaib.