Salah satu amalan sunnah di bulan Dzulhijjah adalah puasa Arafah atau puasa di hari Arafah atau hari kesembilan bulan Dzulhijjah.
Jika puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun sebagaimana disebutkan dalam sejarah puasa ‘Asyura, maka keutamaan puasa Arafah adalah menghapus dosa selama dua tahun bagi siapapun yang menjalankannya.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab, “Puasa Arafah menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang…”
HR. Muslim
Puasa Arafah sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima.
Adapun bagi mereka yang berhaji tidaklah disunnahkan untuk berpuasa Arafah karena di hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berpuasa.
Bagaimanakah sejarah puasa Arafah?
Sejarah puasa Arafah tidak dapat dilepaskan dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih putranya Nabi Ismail ‘alahis salam melalui mimpi.
Nabi Ibrahim ‘alahis salam seringkali pergi keMakkah untuk menengok putranya, Nabi Ismail ‘alaihis salam yang tengahdiasingkan bersama ibunya Siti Hajar di tempat yang tandus.
Ketika Nabi Ismail ‘alaihis salam menginjak usia remaja, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bermimpi bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail ‘alaihis salam.
Mimpi yang hadir di tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah tersebut membuat Nabi Ibrahim bingung karena beliau sangat memahami bahwa mimpi seorang nabi merupakan salah satu cara turunnya wahyu Allah.
Artinya, beliau memang harus melaksanakan perintah Allah tersebut.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam terus memikirkan mimpi tersebut.
Sebagai seorang ayah tentu tidak ingin mengorbankan putranya yang telah dinantikan kelahirannya selama bertahun-tahun. Namun sebagai seorang Nabi, beliau harus melaksanakan perintah tersebut.
Kegamangan yang menyelimuti hati Nabi Ibrahim ‘alaihis salam akhirnya mengantarkan beliau pada keyakinan untuk mengurbankan puteranya Nabi Ismail ‘alaihis salam.
Keyakinan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk mematuhi perintah Allah terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hari keyakinan inilah yang disebut dengan hari Arafah.
Beliau kemudian pergi ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan perintah Allah tersebut kepada Nabi Ismail ‘alaihis salam.
Nabi Ismail ‘alaihis salam, sebagai seorang anak yang patuh dan berbakti kepada orang tuanya, meminta ayahnya untuk mematuhi perintah Allah tersebut.
Nabi Ismail ‘alaihis salam berkata,
“Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku Insya Allah sebagai seorang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak bergerak-gerak hingga menyusahkan ayah. Kedua, agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku melihatnya. Ketiga, tajamkanlah parangmu dan percepatlah pelaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa pedihku. Keempat dan yang terakhir, sampaikanlah salamku kepada ibuku, berikanlah kepadanya pakaianku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”
Dikutip dari 25 Kisah Para Nabi
Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memeluk puteranya sambil berkata,
“Bahagianya aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua, yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah.”
Dikutip dari 25 Kisah Para Nabi
Waktu penyembelihan tiba yakni tepat tanggal 10 Dzulhijjah. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sendiri yang melakukan penyembelihan terhadap Nabi Ismail ‘alaihis salam.
Namun, proses penyembelihan ini berulang kali mengalami kegagalan. Hingga Nabi Ibrahim ‘alaihi salam pun merasa telah gagal dalam melaksanakan perintah Allah.
Kemudian, Allah berfirman dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 104-106,
Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpimu itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesunggunya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”
QS. Ash-Shaaffaat : 104-106
Sebagai balasannya, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam untuk menyembelih seekor kambing yang telah tersedia di sampingnya. Beliau pun menyembelih kambing tersebut.
Kisah ini diceritakan dalam Al Qur’an surat Ash-Shaafaat ayat 100-113. Untuk mengabadikan keyakinan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mensyari’atkan puasa sunnah pada hari Arafah.
Pelaksanaan Puasa Arafah
Pelaksanaan puasa Arafah atau puasa di hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah di setiap negara akan berbeda satu sama lain karena sangat tergantung pada hasil rukyah di masing-masing negara.
Dengan kata lain, puasa Arafah atau puasa di hari Arafah tidak ditentukan oleh waktu wukuf para jemaah haji di padang Arafah. Karena keduanya merupakan dua hal yang berbeda.
Hal ini perlu dipahami mengingat masih ada yang melaksanakan puasa Arafah dengan mengacu pada waktu wukuf di padang Arafah.
Adapun untuk pelaksanaan wukuf saat ibadah haji dinilai sah jika berada dipadang Arafah. Hal ini didasarkan atas hadits berikut.
“Haji sah apabila melakukan wuquf di Arafah.” (HR. An-Nasai)
HR. An-Nasa’i
Oleh karena itu, mereka yang tengah berhaji dan melaksanakan wukuf di padang Arafah tidak disunnahkan mengerjakan puasa Arafah.
Kesimpulannya adalah puasa Arafah adalah puasa yang dikerjakan di hari Arafah dan bukan di waktu wukuf di padang Arafah.