Sejarah kiblat umat islam sebagai panduan arah shalat wajib merupakan arah yang dituju bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah shalat maupun ketika tawaf di Baitullah. Sejarah kiblat umat islam mengarah ke Kakbah, Mekah dan memiliki nilai historis. Masalah penentuan sejarah kiblat umat islam ini sempat menjadi persoalan di awal adanya Islam.
Kiblat di Awal Kemunculan Islam
Sejarah kiblat umat islam memiliki arti arah pertemuan dan berhubungan dengan tempat bersejarah islam. Pada awal kemunculan Islam, umat muslim bebas menghadap sejarah kiblat umat islam ke mana saja untuk melaksanakan shalat. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT di Alquran dalam surat Al Baqarah ayat 115. “Dan milik Allah timur dan barat. Ke manapun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha Luas, Maha Mengetahui“
Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke Madinah, posisi sejarah kiblat umat islam berubah ke arah Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa) di Yerusalem yang berhubungan dengan jenis tempat yang sah untuk melakukan shalat. Dalam buku ‘Di Tengah Pusaran Ka’bah’ yang ditulis Akhmad Siddiq Thabrani dijelaskan umat muslim menghadapi tantangan soal sejarah kiblat umat islam saat berada di Madinah.
Di wilayah itu, kaum muslim hidup berdampingan dengan pemeluk agama Yahudi dan Kristiani. Saat itu, kaum Yahudi juga menjadikan Baitul Maqdis sebagai sejarah kiblat umat islam mereka. Pada satu sisi, kaum Yahudi merasa senang karena mereka mendapat dukungan dan pembenaran dari muslim.
Namun di sisi lain, perubahan arah sejarah kiblat umat islam banyak tidak disukai orang muslim meskipun pada akhirnya mereka tetap melakukan karena hal itu adalah perintah Allah agar mendapat pahala yang paling besar dalam islam. Kondisi tersebut terjadi selama 16 hingga 17 bulan. Kaum muslim yang berada di Madinah rindu akan tanah kelahiran mereka di Mekah. Begitupun kerinduan terhadap Kakbah.
Melalui Firman dalam Alquran Surat Al-Baqarah Ayat 144
Di tengah kerinduan dan kegalauan kaumnya akan arah sejarah kiblat umat islam dan berhubungan dengan hukum tidur menghadap kiblat dalam islam, Rasulullah berdoa kepada Allah sejarah kiblat umat islam dapat berubah ke Kakbah yang menjadi sejarah kiblat umat islam Nabi Ibrahim. Allah mengabulkan doa Rasulullah SAW melalui firman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 144.
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke sejarah kiblat umat islam yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Majsjid al-Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan sejarah kiblat umat islam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan“
Saat menerima perintah itu, Rasulullah tengah mengerjakan shalat Dhuhur pada dua rakaat di masjid Bani Salamah. Begitu masuk rakaat ketiga dan keempat, arah sejarah kiblat umat islam berubah dengan menghadap Kakbah. Dari peristiwa itulah kini masjid tempat Rasulullah shalat tersebut dikenal dengan masjid Qiblatain (dua sejarah kiblat umat islam).
Hubungan dengan Kota Yerusalem
Kota Yerusalem yang ditemukan tahun 4.000 Sebelum Masehi (SM) merupakan daerah yang sangat penting bagi tiga agama Abrahamik, Islam, Kristen dan Yahudi. Di Kota Lama Yerusalem inilah terdapat satu wilayah yang dikenal dengan nama Temple Mount atau Haram al-Sharif (Tanah/Bukit Suci) yang kemudian menjadi area tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah.
Bukit Suci ini memiliki luas sekitar 35 hektar dan dikelilingi oleh tembok berbentuk persegi panjang di bagian timur wilayah Kota Lama Yerusalem yang termasuk kawasan Yerusalem Timur. Karena memiliki nilai yang sangat penting bagi agama Abrahamik, tak pelak wilayah ini menjadi wilayah yang paling diperebutkan. Wilayah ini juga dikenal oleh kaum Yahudi dengan nama Har haBáyit.
Jauh sebelum masjid Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah dibangun di wilayah Yerusalem, tepatnya pada 1000 SM, Raja Daud (Nabi Daud A.S) menaklukkan kota Yerusalem dari kekuasaan orang-orang Yebus. Setelah penaklukkan, Raja Daud menjadikan kota Yerusalem ini sebagai ibu kota dari Kerajaan Israel. Ketika Raja Daud wafat pada 970 SM, anaknya Salomo (Nabi Sulaiman A.S) meneruskan tahtanya.
Raja Salomo membangun Bait Suci Pertama (sebelumnya dikenal dengan Bait Solomo) di area Bukit Suci, tepatnya pada tahun 968 SM. Bait Suci Pertama ini terus berdiri kokoh selama 375 tahun. Kemudian, pada tahun 586 SM, Bait Suci Pertama ini dihancurkan oleh pasukan Babilonia.
Konstruksi Bait Suci Kedua mulai dilakukan oleh Raja Cyrus sekitar tahun 538 SM. Proses rekonstruksi Bait Suci Kedua ini memakan cukup banyak waktu dan baru selesai pada tahun 516 SM. Lalu, sekitar tahun 19 SM, Raja Herodes (Herod the Great) melakukan ekspansi besar-besaran. Kala itu, Raja Herodes memerintahkan para tukang batu untuk memotong permukaan batu di sisi timur dan selatan bukit, lalu melapisinya dengan platform buatan dan melakukan rekonstruksi kembali Bait Suci Kedua.
Akan tetapi, terjadi perang pertama yang melibatkan kaum Yahudi dan bangsa Romawi. Usai pemberontakan besar orang Yahudi terhadap pemerintahan Romawi di provinsi Iudaea, Bait Suci Kedua ini kemudian dihancurkan oleh tentara Romawi yang dipimpin Jendral Titus yang merupakan anak dari Kaisar Vespasian pada 70 M.
Pada tahun 530-an M, Kaisar Yustinianus membangun sebuah gereja di situs bekas Bait Suci ini. Gereja Kristen yang dinamai Church of Our Lady ini sengaja dibangun oleh Kaisar Yustinianus sebagai persembahan untuk Bunda Maria. Kemudian, di awal abad ke-7, Kaisar Sassania Khosrau II menghancurkan gereja ini dan hanya menyisakan reruntuhannya.
Didirikannya Masjid Al Aqsa
Tidak diketahui secara pasti, kapan Masjid Al-Aqsa didirikan di wilayah Bukit Suci ini. Mulanya, Masjid Al-Aqsa merupakan sebuah masjid kecil yang dibangun oleh Umar bin Khattab. Kemudian, masjid kecil ini dirombak dan dibesarkan bangunannya pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang kala itu dipimpin oleh Abd al-Malik. Proses rekonstruksi ini baru selesai di masa pemerintahan al-Walid yang merupakan anak dari Abd al-Malik.
Dalam ajaran Islam, dijelaskan bahwa Masjid Al-Aqsa ini merupakan salah satu destinasi dalam perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dari Masjid Al-Aqsa ini, Malaikat Jibril mengantar Nabi Muhammad SAW untuk melakukan perjalanan ke surga. Di dalam perjalanan ini, Rasulullah bertemu beberapa nabi pendahulunya dan pada akhirnya menerima perintah shalat lima waktu.
Masjid Al-Aqsa ini juga merupakan sejarah kiblat umat islam pertama untuk menunaikan shalat selama 16-17 bulan setelah perpindahan ke Madinah di tahun 624. Akan tetapi, setelah Rasulullah menerima petunjuk pada saat sedang melaksanakan shalat, Rasulullah mengubah arah sejarah kiblat umat islam ini menjadi menghadap Ka’bah.
Karena inilah, Bukit suci dianggap menjadi tanah suci ketiga bagi umat Muslim. Meskipun dalam Al-Qur’an sendiri tidak disebutkan kota Yerusalem secara gamblang, kota Yerusalem tempat Bukit Suci ini berada kerap disebut dalam hadist-hadist Rasulullah SAW. Beberapa akademisi juga menghubungkan kesucian Yerusalem ini dengan perkembangan dan perluasan dari suatu gaya sastra yang dikenal sebagai Al-Fadhail atau Sejarah Kota. Fadhail Yerusalem ini kemudian menginspirasi para Muslim, khususnya pada periode Bani Umayyah, untuk memperindah kesucian kota tersebut.
Berhubungan dengan Kewajiban Shalat Lima Waktu
Sejarah mencatat bahwa shalat lima waktu yang pertama kali diwajibkan pada Nabi dan beberapa sahabatnya yang sudah memeluk Islam itu diwajibkan pada tahun 11 kenabian Muhammad Saw. Pada waktu itu, shalat yang pertama kali dikerjakan Nabi adalah Dhuhur.
Sementara itu, wudhu sendiri diwajibkan sebelum kewajiban shalat lima waktu, bahkan jauh sebelum shalat lima waktu. Namun ada riwayat yang mengatakan bahwa wudhu disyariatkan pada tahun 10 kenabian.
Saat itu, kakbah merupakan sejarah kiblat umat islam untuk shalat. Sekitar tahun 14 kenabian, Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah yang waktu itu masih bernama Yatsrib. Artinya, tahun 14 kenabian ini berepatan dengan awal hijrah Nabi. Pada bulan Rajab tahun ke-2 hijriah, barulah Nabi dan umat Muslim mengalihkan sejarah kiblat umat islam shalat ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan.
Harapannya, umat Yahudi mau terketuk untuk memeluk Islam, karena umat Islam sendiri mengikuti sejarah kiblat umat islam mereka. Peralihan sejarah kiblat umat islam ke arah Baitul Maqdis itu, menurut Imam Thabari, merupakan wahyu langsung dari Allah, dan Nabi dibebaskan untuk memilih sejarah kiblat umat islam antara Kakbah atau Baitul Maqdis.
Akhirnya Nabi memilih Baitul Maqdis dengan alasan yang tadi disebutkan. Umat Yahudi sendiri, menurut Ibnu Asyur, sebenarnya tidak diwajibkan menghadap Baitul Maqdis, berbeda dengan umat Islam yang mana menghadap sejarah kiblat umat islam merupakan syarat sahnya shalat.
Karena umat Yahudi selalu mencemooh umat Islam pada waktu itu dengan berkata, “Loh kok katanya umat Islam itu memiliki ajarannya sendiri yang berebeda dengan agama kita umat Yahudi, tapi kenapa mereka shalatnya menghadap Baitul Maqdis?” Tidak rela umat Islam dicemoohkan demikian, akhirnya Allah menurunkan wahyu pada Nabi yang memerintahkan untuk menghadap Masjidil Haram kembali.
Berdasarkan Al Baqarah Ayat 114
Perlu diketahui, istilah Masjidil Haram dalam ayat 114 surah al-Baqarah merujuk pada Kakbah. Istilah Kakbah dalam masyarakat Arab Jahiliyah dikenal dengan nama Baitul Haram atau Haram Makkah. Jadi istilah Masjidil Haram yang merujuk ke Kakbah merupakan istilah islami. Menurut Imam Ibnu Hajar, waktu itu Nabi sedang shalat Zuhur sampai pada dua rakaat, kemudian perintah menghadap Kakbah turun. Akhirnya Nabi dan para sahabat berbalik arah dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram.
Dalam ayat 142 surah al-Baqarah, ada dua riwayat yang membicarakan siapa yang dimaksud sufaha terkait peralihan sejarah kiblat umat islam umat Islam. Pendapat pertama mengaakan bahwa sufaha yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum Yahudi Bani Israel. Alasannya, umat Muslim memang pernah menjadikan Baitul Maqdis sebagai sejarah kiblat umat islam ketika shalat. Hal itu terjadi selama kurang lebih satu tahun sekian bulan.
Sementara itu, Ibnu Asyur, penulis Tafsir at-Tahrir wat Tanwi, lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa sufaha yang dimaksud di atas adalah orang musyrik penduduk Mekah. Menurutnya, ayat 142 surah al-Baqarah ini masih berkaitan (munasabatul ayat) dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya, yaitu 140-141 surah yang sama, berbicara mengenai tentang agama Nabi Ibrahim dan sejarah kiblat umat islamnya.
Musyrik Quraisy mencemooh Nabi Muhammad dengan mengatakan demikian, “Katanya Muhammad itu mengikuti agamanya Nabi Ibrahim, tapi kenapa sejarah kiblat umat islamnya menghadap Baitul Maqdis, bukan Mekah?” Itu yang akan dikatakan sufaha. Hal ini terlihat dari sayaqulu yang menggunakan bentuk futur tense (kata kerja akan datang). Sufaha sendiri berarti bodoh dan dungu.
Hikmah perlahian sejarah kiblat umat islam sampai dua kali tersebut ditujukan untuk menguji keimanan umat Islam pada waktu itu. Mereka yang konsisten mengikuti Nabi akan selalu taat dan tidak curiga sedikit pun atas perlakuan Nabi yang kelihatannya inkonsisten. Selain itu, hal ini juga untuk memperlihatkan kepada Nabi bahwa hidayah itu mutlak milik Allah. Segala cara dan upaya apa pun yang dilakukan kepada umat Yahudi atau Nasrani untuk masuk agama Islam terlihat sia-sia bila Allah tidak menghendaki.
Sampai jumpa di artikel berikutnya.. Terima kasih.
Aceh dikenal sebagai daerah yang mendapat julukan "Serambi Mekkah" karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan…
Sejarah masuknya Islam ke Myanmar cukup kompleks dan menarik, dengan beberapa teori dan periode penting:…
Islam masuk ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-7 Masehi, menandai era baru yang gemilang di…
sejarah masuknya Islam di Afrika memiliki cerita yang menarik. Islam masuk ke Afrika dalam beberapa…
Masuknya Islam ke Nusantara merupakan proses yang berlangsung selama beberapa abad melalui berbagai saluran, termasuk…
Masuknya Islam ke Pulau Jawa adalah proses yang kompleks dan berlangsung selama beberapa abad. Islam…