Hukum Membatalkan Shalat Karena Ragu

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Ulama berpendapat mengenai kasus orang yang punya keinginan membatalkan shalat atau muncul keraguan untuk melanjutkan shalat, dalam apapun latar belakang penyebabnya. Pendapat pertama, shalatnya batal. ini adalah pendapat al-Qadhi Abu ya’la – ulama hambali – dan Imam as-Syafii.

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w.676 H) menyatakan :

وَإِنَّمَا يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ قَطْعِ الصَّلَاةِ وَإِبْطَالِهَا لِعُذْرٍ

“Hadis di atas menunjukkan akan bolehnya memutus dan membatalkan salat (wajib) karena adanya udzur (alasan syar’i).” [Syarah Shahih Muslim : 4/182].

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

إذَا دَخَلَ فِي صَلَاةٍ مَفْرُوضَةٍ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا حَرُمَ عَلَيْهِ قَطْعُهَا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوصُ وَبِهِ قَطَعَ الْأَصْحَابُ

“Apabila sseorang telah masuk dalam salat fardhu di awal waktu, haram baginya untuk membatalkannya tanpa ada alasan walaupun waktunya luas. Ini merupakan pendapat madzhab (Syafi’i) dan telah dinyatakan secara jelas serta telah dipastikan oleh ashab (para ulama syafi’iyyah).” [Al-Majmu’ : 2/315].

Pendapat pertama:

Dalam al-Mughni dinyatakan:

وَقَالَ الْقَاضِي: يَحْتَمِلُ أَنْ تَبْطُلَ, وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، لِأَنَّ اسْتِدَامَةَ النِّيَّةِ شَرْطٌ مَعَ التَّرَدُّدِ لَا يَكُونُ مُسْتَدِيمًا لَهَا، فَأَشْبَهَ مَا لَوْ نَوَى قَطْعَهَا

Al-Qadhi mengatakan, ‘Bisa jadi batal’, dan ini pendapat Imam as-Syafi’i. Karena mempertahankan niat merupakan syarat sah. Sementara keraguan, berarti niatnya tidak bertahan. Sehingga mirip seperti orang yang shalat lalu berniat untuk membatalkannya. (al-Mughni, 1/545).

Pendapat kedua:

Shalatnya batal jika ada keinginan kuat untuk membatalkannya. Buka sebatas ragu.

Karena sebatas ragu tidak dapat membatalkan niat yang pasti. Berbeda dengan keinginan yang kuat.

Pendapat ketiga:

Shalat tidak batal ini merupakan pendapat Ibnu hamid al-warraq-ulama hambali-.

Ibnu Qudamah mengatakan:

فَأَمَّا إنْ تَرَدَّدَ فِي قَطْعِهَا، فَقَالَ ابْنُ حَامِدٍ: لَا تَبْطُلُ، لِأَنَّهُ دَخَلَ فِيهَا بِنِيَّةٍ مُتَيَقَّنَةٍ فَلَا تَزُولُ بِالشَّكِّ وَالتَّرَدُّدِ، كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ

Untuk kasus ragu ingin membatalkan shalat, menurut Ibnu Hamid, “Shalat tidak batal. karena keraguan ini masuk setelah niat yang yakin, sehingga keyakinan ini tidak hilang dengan keraguan, sebagaimana ibadah lainnya.” (al-Mughni, 1/545)

Dan insyaaAllah pendapat ketiga ini lebih kuat, didukung dengan banyak dalil diantaranya:

1. Keterangan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang bercerita pengalaman beliau,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا

، حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرٍ سُوءٍ، قُلْنَا: وَمَا هَمَمْتَ بِهِ؟ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ

Aku pernah shalat tahajud bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu malam. Beliau berdirinya sangat lama, sampai saya punya keinginan buruk. Kami bertanya: “Apa yang kamu inginkan?”. Jawab Ibnu Mas’ud, “Saya berkeinginan untuk duduk, dan meninggalkan beliau.” (HR. Ahmad 3646 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).Ketika itu, Ibnu Mas’ud punya keinginan untuk membatalkan shalat, tapi tidak jadi. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukumi shalat beiau batal.

2. Keterangan dari Anas bin Malik yang menceritakan peristiwa menjelang wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika Nabi shallallahu Alaihi wa sallam sakit beliau tidak bisa keluar. Hingga ketika subuh hari senin beliau membuka gorden ke para sahabat ketika mereka sedang shalat.

Anas bercerita:

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ يُصَلِّى لَهُمْ فِى وَجَعِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الاِثْنَيْنِ وَهُمْ صُفُوفٌ فِى الصَّلاَةِ ، فَكَشَفَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – سِتْرَ الْحُجْرَةِ يَنْظُرُ إِلَيْنَا ، وَهْوَ قَائِمٌ كَأَنَّ وَجْهَهُ وَرَقَةُ مُصْحَفٍ ، ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ ، فَهَمَمْنَا أَنْ نَفْتَتِنَ مِنَ الْفَرَحِ بِرُؤْيَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –

Bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah mengimami ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit menjelang wafat beliau. Hingga pada hari Senin, para sahabat bersiap di shaf shalat, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka korden, dan melihat kami. Beliau berdiri seolah wajah beliau lembaran mushaf. Beliau tersenyum lebar. Kami berkeinginan untuk membatalkan shalat kami karena bahagia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam… (HR. Bukhari 680).

Yang menjadi dalil dari hadis diatas adalah pernyataan anas. Bahwa para sahabat hendak membatalkan shalat ketika melihat wajah nabi shallallahu alaihi wasallam.

Namun mereka tetap melanjutkan shalatnya. Hadis diatas menunjukkan bahwa sebatas keinginan untuk membatalkan shalat tidak membatalkan shalatnya.

Pembatalan atau penghentian ibadah shalat saat ada bencana datang itu terjadi pada jaman sahabat. Hal itu diabadikan dalam sebuah riwayat, yakni:

فبينا أنا على جرف نهر إذا رجل يصلي وإذا لجام دابته بيده فجعلت الدابة تنازعه وجعل يتبعها

Artinya: “Ketika kami di tepi sungai, ada seseorang (sahabat Abu Barzah r.a) melakukan shalat. Tali kekang hewan yang dikendarainya berada dalam genggaman. Tetapi tiba-tiba hewan itu menyentaknya sehingga ia pun terpaksa mengikutinya”, (HR. Bukhari).

Misalnya Imam An-Nawawi yang mengatakan bahwa dalam situasi udzur, seseorang boleh membatalkan salat yang sedang dikerjakannya. Menurutnya, bahwa hal tersebut sesuai dengan pandangan Imam As-Syafi’i, sebagaimana ungkapannya dalam kitab Al-Majmuk, yakni:

إذا دخل في الصلاة المكتوبة في أول وقتها أو غيره حرم قطعها بغير عذر وهذا هو نص الشافعي في الام وقطع به جماهير الاصحاب

Artinya: “Jika sudah masuk ke dalam shalat wajib baik di awal waktu maupun tidak di awal waktu, maka seseorang diharamkan untuk menghentikan shalatnya tanpa udzur. Ini teks dari Imam As-Syafi’i. Pendapat ini juga dipegang oleh kebanyakan ulama”.

fbWhatsappTwitterLinkedIn