Hukum Meninggalkan Shalat Karena Sakit dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Salah satu rukun Islam adalah shalat. Dalam Islam, terdapat shalat wajib atau shalat fardhu dan juga macam-macam shalat sunnat. Namun yang wajib dikerjakan dan tidak boleh ditinggalkan adalah shalat fardhu. Perintah shalat sendiri teleh banyak disebutkan dalam Al quran.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa “[Thaha/20:132]

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ (Al Baqoroh: 34)

أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوٓا۟ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ ٱلْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ ٱلنَّاسَ كَخَشْيَةِ ٱللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوا۟ رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا ٱلْقِتَالَ لَوْلَآ أَخَّرْتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ ۗ قُلْ مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya.

Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (An Nisa:77)

Baca juga:

Begitu pentingnya shalat, maka tidak satu pun Muslim yang diperbolehkan untuk meninggalkan shalat. Lalu bagaimana hukumnya jika seorang yang sakit meninggalkan shalat? Mengenai perkara ini, haruslah dilihat terlebih dahulu mengenai sakitnya.

Jika seseorang mengalami sakit yang membuatnya kehilangan kesadaran, seperti koma atau gila. Maka kewajiban shalat baginya telah gugur karena salah satu syarat sah shalat adalah memiliki akal.

Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, 25/257, “Jika orang tua ana saat sakit, hilang akalnya, tidak sadar sama sekali, maka shalat gugur baginya. Karena ketika itu dia bukan orang yang terkena kewajiban beban. Karena beban kewajiban shalat dikaitkan dengan akal, sementara dia telah hilang akal.

Adapun jika akal dan kesadarannya tidak hilang, akan tetapi dia meninggalkannya karena tidak tahu bahwa dirinya tetap diwajibkan untuk melaksanakannya sesuai kemampuannya, semoga Allah memaafkan dan menerima uzurnya karena ketidaktahuannya dan tidak adanya orang yang menjelaskan hukum syar’i hingga akhirnya dia meninggal, semoga Allah merahmati dan mengampuninya.

Dalam kedua kondisi tersebut, tidak boleh dilakukan shalat untuk orang tua anda. Karena shalat tidak boleh dilakukan untuk orang lain. Asalnya shalat tidak dapat diwakilkan.”

Namun jika ia masih dalam keadaan sadar atau memiliki akal, maka ia wajib mengerjakan shalat. Ia dibolehkan untuk menjamak shalatnya. Jika ia tidak shalat maka hukum meninggalkan shalat dengan sengaja baginya adalah dosa.

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ قَالَ (أَبُوْ كُرَيْبٍ) قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu : Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau Radhiyallahu ‘anhu menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya.” [HR Muslim no. 705]

Bahkan meskipun ia memiliki kesulitan dalam mengerjakan shalat, tapi Allah memberikan keringanan dengan membolehkan orang yang sakit untuk shalat dengan duduk atau bahkan berbaring.

Baca juga:

Allah berfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [at-Taghâbun/ 64:16].

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Imran Bin Husain Radhiyallahu ‘anhu:

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah” [HR al-Bukhari no. 1117]

Dari Ummu Qais Radhiyallahu ‘anha yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran” [HR Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319]

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar adalah, kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [al-Baqarah/ 2:185] Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa; demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri, maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk” (Syarhu al-Mumti’ 4/461)

Baca juga:

Bahkan jika ia tidak mampu bergerak sama sekali, maka ia dibolehkan untuk shalat hanya ddengan pandangan. Dari Jâbir Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِكَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau q pun mengambil dan melemparnya.

Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ`) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu” (HR al-Baihaqi dalam sunan al-Kubro 2/306 dan Syeikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shohihah no. 323 menyatakan: Yang pasti bahwa hadits ini dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shohih)

Umran bin Hushain radhiallahu anhu meriwayatkan, dia berkata, “Shalatlah sambil berdiri, jika tidak kuasa, shalat sambil duduk, jika tidak mampu, shalat sambil berbaring dan memberikan isyarat.”

Demikianlah hukum meningglakan shalat bagi orang yang sakit. Sungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang hingga Ia selalu meringankan segala kesulitan bagi hamba-hambaNya.

fbWhatsappTwitterLinkedIn