Hukum Shalat Idul Fitri Tidak Berjamaah dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Shalat Idul Fitri adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan ketika kita telah selesai berjuang menahan segala macam bentuk nafsu selama sebulan penuh. Adapun hukum shalat Idul Fitri dinilai berbeda pada beberapa ulama, ada yang mengatakan sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.

Namun terlepas dari semua hal tersebut, shalat Idul Fitri sangat dianjurkan bagi setiap Muslim yang telah baligh, bahkan wanita. Di dalam kitab Ash-Shahihain dan selainnya, diriwayatkan dari Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

“Kami diperintahkan –dalam riwayat lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami– untuk keluar pada hari id, baik budak wanita maupun wanita yang berada dalam pingitan, serta wanita yang sedang haid untuk mendatangi tempat dilaksanakannya shalat ‘Id oleh kaum muslimin.”

(HR. Bukhari No.1/93 dan Muslim No.890)

Baca juga :

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Kami diperintahkan untuk keluar. Para budak maupun wanita yang berada dalam pingitan pun juga diperintahkan demikian.”

Dalam riwayat At-Tirmidzi,

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para perawan, budak, wanita yang berada dalam pingitan, serta wanita haid. Adapun wanita haid, maka mereka memisahkan diri dari tempat shalat dan mereka menyaksikan dakwah kaum muslimin. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, salah seorang di antara para wanita tidak memiliki jilbab.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya.’”

Dalam riwayat An-Nasa’i,

“Hafsah binti Sirin berkata, ‘Ummu Athiyah tidak mengingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali perkataannya, ‘Demi ayahku,’ Aku berkata, ‘Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan demikian dan demikian?’ Ummu Athiyah berkata, ‘Ya, demi ayahku.’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah para budak, wanita yang dipingit, dan wanita yang sedang haid menghadiri shalat ‘id dan memenuhi panggilan kaum muslimin. Serta hendaklah wanita haid menjauhi tempat shalat.’”

(HR. Bukhari: 1/84)

Dari dalil tersebut, terlihat jelas bahwa setiap orang diperintahkan untuk mengerjakan shalat Idul Fitri di tanah lapang secara berjamaah. Namun bagaimana hukum shalat idul fitri tidak berjamaah?

Baca juga :

Imam Syafi’i dalam kitabnya, Al-Umm, mengatakan

وَلِلتَّطَوُّعِ وَجْهَانِ صَلَاةٌ جَمَاعَةً وَصَلَاةٌ مُنْفَرِدَةً وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ مُؤَكَّدَةٌ وَلَا أُجِيزُ تَرْكَهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا بِحَالٍ وَهُوَ صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ وَكُسُوفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالِاسْتِسْقَاءِ

Shalat sunnah terbagi dua, yakni yang dilaksanakan berjamaah dan yang sendiri-sendiri. Adapun shalat sunnah yang sangat dianjurkan berjamaah tidak diperkenankan untuk meninggalkannya bagi yang mampu melaksanakannya, yaitu shalat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan, serta shalat istisqa.

Abu Hasan Ali al-Bagdadi dalam kitab al-Iqna’ fil fiqh asy-Syafi’i mengatakan:

وَيُصلي العيدان فِي الْحَضَر وَالسّفر جمَاعَة وفرادى

Dan hendaklah melaksanakan shalat dua hari raya dalam keadaan hadir maupun bepergian, baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri.

Dari Ibnu Mas’ud,

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ: مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

Abdullah bin Mas’ud berkata “Barangsiapa yang luput dari shalat Id maka hendaklah ia shalat empat rakaat”

(HR. Thabrani)

Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani yang lebih dekat kepada madzhab Hanbali  mengatakan,

Baca juga :

فإن فاته جميع صلاة العيد استحب له قضاؤها وهو مخير في ذلك بين أن يصلي أربعا كصلاة الضحى بغير تكبير أو بتكبير كهيئتها، فيجمع أهله وأصحابه كل ذلك إليه، وله بذلك فضل كثير

“Bila luput seluruh rangkaian shalat Id, seseorang dianjurkan mengqadha shalat Id. Ia boleh memilih shalat empat rakaat seperti shalat Dhuha dengan beberapa takbir sunah (setelah takbiratul ihram) atau tanpa takbir sunah (setelah takbiratul ihram) seperti lazimnya shalat Dhuha.

Lalu ia mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan sahabatnya. Dengan demikian ia akan mendapatn keutamaan yang banyak,” (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Guniyah, [Tanpa keterangan tempat, Darul Kutub Al-Islamiyyah: tanpa catata tahun], juz II, halaman 128).

Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid mengatakan,

واختلفوا فيمن تفوته صلاة العيد مع الإمام فقال قوم: يصلي أربعا وبه قال أحمد والثوري وهو مروي عن ابن مسعود. وقال قوم: بل يقضيها على صفة صلاة الإمام ركعتين يكبر فيهما نحو تكبيره ويجهر كجهره وبه قال الشافعي وأبو ثور. وقال قوم: بل ركعتين فقط لا يجهر فيهما ولا يكبر تكبير العيد. وقال قوم: إن صلى الإمام في المصلى صلى ركعتين وإن صلى في غير المصلى صلى أربع ركعات. وقال قوم: لا قضاء عليه أصلا وهو قول مالك وأصحابه.

“Ulama berbeda pendapat perihal orang yang luput shalat Id bersama imam. Sebagian ulama mengatakan, orang itu melakukan shalat empat rekaat. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad dan Ats-Tsauri berdasarkan riwayat dari sahabat Ibnu Mas‘ud RA. Sebagian ulama mengatakan, ia harus mengqadha shalat dua rakaat dengan cara yang dilakukan imam, baca takbir dan baca surat dengan lantang (jahar) seperti yang dilakukan imam.

Pendapat ini dipegang oleh Imam As-Syafi’i dan Abu Tsaur. Ulama lain mengatakan, ia cukup shalat dua rekaat tanpa lantang (jahar) baca surat dan tanpa takbir sunah. Ulama lain mengatakan, jika imam shalat id di mushalla, maka ia shalat Id dua rekaat. Tetapi jika imam shalat di luar mushalla, maka ia shalat id empat rekaat.

Ada lagi ulama mengatakan, ia tidak perlu mengqadha shalat id sama sekali. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan pengikutnya,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 204).

Baca juga :

وحكى ابن المنذر عنه مثل قول الشافعي فمن قال أربعا شبهها بصلاة الجمعة وهو تشبيه ضعيف ومن قال ركعتين كما صلاهما الإمام فمصير إلى أن الأصل هو أن القضاء يجب أن يكون على صفة الأداء ومن منع القضاء فلأنه رأى أنها صلاة من شرطها الجماعة والإمام كالجمعة فلم يجب قضاؤها ركعتين ولا أربعا إذ ليست هي بدلا من شيء وهذان القولان هما اللذان يتردد فيهما النظر: أعني قول الشافعي وقول مالك. وأما سائر الأقاويل في ذلك فضعيف لا معنى له لأن صلاة الجمعة بدل من الظهر وهذه ليست بدلا من شيء فكيف يجب أن تقاس إحداهما على الأخرى في القضاء وعلى الحقيقة فليس من فاتته الجمعة فصلاته الظهر قضاء بل هي أداء لأنه إذا فاته البدل وجبت هي والله الموفق للصواب

“Ibnul Mundzir menghikayatkan seperti pandangan Imam As-Syafi’i. Pendapat yang menyatakan shalat id sendirian berjumlah empat rekaat karena menganalogikan shalat Id dengan shalat Jum’at didasarkan pada analogi yang lemah. Sedangkan ulama yang mengatakan bahwa shalat Id sendirian berjumlah dua rekaat seperti yang dikerjakan imam merujuk pada prinsip bahwa qadha wajib dilakukan sesuai dengan sifat atau cara yang dilakukan secara tunai (adâ’an).

Sementara ulama yang menyatakan bahwa shalat Id tidak perlu diqadha memandang bahwa pengerjaan shalat Id disyaratkan berjamaah dan bersama imam seperti shalat Jumat sehingga bila luput maka tidak ada ceritanya mengqadha dua maupun empat rekaat. Pasalnya, shalat id bukan gantian dari shalat lain (sebagaimana Jum’at dan zhuhur). Dua pandangan ini yang patut dipertimbangkan, yaitu pandangan Imam As-Syafi’i dan Imam Malik.

Sedangkan pandangan selain keduanya lemah sekali, tidak ada maknanya. Shalat Jum’at merupakan substitusi atau gantian dari shalat zhuhur. Sedangkan shalat Id bukan substitusi dari shalat manapun sehingga bisa dianalogikan antara keduanya (shalat Id dan shalat Jumat) perihal qadhanya?

Dan benar, orang yang luput shalat Jumat bukan melakukan shalat zhuhur dengan niat qadha, tetapi tunai (adâ’an) karena logikanya bila luput sesuatu harus diqadha sebagaimana adanya. Semoga Allah memberikan jalan menuju kebenaran,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 204).

Itulah hukum shalat idul fitri tidak berjamaah yang perlu diketahui. Semoga artikel ini semakin menambah wawasan dan keimanan kita semua. Aamiin.

fbWhatsappTwitterLinkedIn